Badai Di Langit Jingga 11

1699 Kata
"Abang." Panggilan itu membuat Badai mengalihkan atensinya. Pelangi, rasanya baru kemarin Badai melihat adiknya berulang tahun. Baru kemarin Badai melihat wajah menekuk Pelangi saat tidak dia belikan barang kesukaannya. Baru kemarin Badai melihat Pelangi jatuh dari motor saat pertama kali belajar. Baru kemarin Badai melihat Pelangi menangis meminta maaf atas kesalahannya. Badai tidak menyangka jika Pelangi akan tumbuh begitu cepat. Coba saja jika Langit ada disini, mungkin sekarang Badai benar-benar akan kelimpungan untuk mengasuh dua bocah nakal itu. Ingatan tentang Langit tidak akan pernah Badai lupakan. Tubuh kecil itu tertutup koran dengan darah berceceran. Warga setempat mengatakan kecelakaan itu begitu hebat sampai menyebabkan pengendaranya meninggal di tempat. Sekarang Badai hanya memiliki satu adik lagi dan dia benar-benar tidak ingin kehilangan lagi. "Kenapa?" Pelangi masuk ke dalam lalu duduk di hadapan Badai. Dagunya di topang pada tangannya menatap sang Kakak dengan penuh tanya. Percakapannya dengan Jingga membuat Pelangi menerka-nerka sebenarnya hubungan kedua orang dewasa ini bagaimana. Pelangi tidak sengaja melihat ada tatapan luka di bola mata Jingga. Sampai membuatnya berpikir jika sang Kakak pernah memperlakukan Jingga tidak baik. Walaupun dia sudah tahu dari versi Jingga. Dan sekarang mari kita cari tahu dari versi Badai. "Abang pernah nyakitin Kak Jingga?" Badai menghentikan membacanya. Keningnya mengerut mendengar pertanyaan dari sang Adik. Apa Pelangi berbincang dengan Jingga? Perbincangan apa sampai membuat Pelangi menanyakan hal semacam ini? Badai akui jika adiknya ini akan slalu penasaran terhadap sesuatu yang menurutnya perlu di telusuri. Alasan kenapa Badai slalu mengawasi Pelangi karena keingintahuannya yang kuat. Pelangi memiliki pertemanan yang luas. Memiliki adik yang sosial butterfly membuat Badai harus benar-benar memberikan arahan yang baik. Tidak mudah mengasuh Pelangi semenjak peristiwa beberapa tahun yang lalu. "Kok pertanyaan Lo begitu?" "Gua abis ngobrol bareng Kak Jingga." Benar saja, tidak mungkin Pelangi bertanya seperti itu. "Terus?" "Yah gua denger sedikit cerita dari Kak Jingga kalau dia di jual sama Keluarganya. Yah siapa tahu Abang lakuin hal yang nggak baik sama Kak Jingga." "Untuk masalah Jingga yang di jual sama Keluarganya itu emang bener. Tapi kalau buat nyakitin Jingga yah kali, malah gua yang di sakiti sama dia." Baiklah sepertinya cerita Badai dan Jingga membuat Pelangi penasaran. Jadi ungkapan Jingga tentang dia membully Badai itu benar. Dia membenarkan letak duduknya lalu menatap sang Kakak dengan pandangan meminta kejelasan. Tidak ada satu hal yang di rahasiakan oleh keduanya. Semenjak sang Ayah menikah lagi Pelangi hidup di antara Ayah dan Kakaknya. Jika ibarat kata hidup Pelangi lebih banyak di habiskan dengan sang Kakak di banding Ayah mereka. Baru beberapa tahun ini Pelangi bisa berdamai dengan Ayahnya berbeda dengan Badai yang lebih menutup semakin rapat pintu hatinya untuk Ayah mereka. Pelangi hanya berusaha ikhlas saat mendengar penjelasan Ayahnya. Tujuannya berbaikan dengan sang Ayah memang ada sesuatu yang mesti dilakukan. Badai tidak melarangnya, Badai slalu memberikan haknya untuk memilih. Jika memang itu keputusannya, lakukan tapi dengan konsekuensi yang bisa dia terima. "Abang di sakiti sama Kak Jingga karena apa?" "Sosial kita jauh beda dan gua nggak sempurna." Benar, Jingga pun mengatakan hal yang sama. Mata Pelangi membulat kaget. "Woah ... gua ... serius Bang?" "Iya. Bisa di bilang Permata Jingga itu perempuan sempurna yang banyak orang impikan." "Tapi percuma sempurna kalau dia nyakitin orang!" Seru Pelangi tidak suka. Sejujurnya saat Jingga mengatakan dia pernah membully Badai, Pelangi sudah merasa tidak memiliki respect. Namun karena Pelangi penasaran, dia menahannya. Dan sekarang dia bisa menyerukan apapun tentang ketidaksukaan nya pada sang Kakak. "Dia punya alasan. Terlahir dari Keluarga kaya raya buat hidup dia nggak kaya anak seusianya." "Yah bodo amat sih gua. Mau di anak keturunan Raja sekalipun kalau sifatnya suka nyakitin orang buat apa." "Jingga memang ada keturunan Raja." "Hah?" Pelangi benar-benar terkejut mendengar fakta itu. Jika memang Jingga keturunan Raja harusnya dia tahu aturan. Bukankah di kerajaan memiliki protokol Istana yang mesti di ikuti? Pelangi pernah menonton serial tentang Kerajaan dan itu semua membuatnya mual. Bagaimana bisa mereka hidup di atur? Bahkan untuk bergaul saja mesti di tentukan. f**k! Jika Pelangi ada di posisi itu lebih baik dia diasingkan saja ke Negara tetangga. Jiwa bebasnya mana pernah mau di kekang. Di atur oleh Kakaknya saja terkadang membuatnya lupa diri. "Raja Iblis maksud gua haha." jawab Badai dengan tawanya. "Abang serius dulu bisa nggak sih?!" Kesal Pelangi. "Emang bener kan. Waktu itu gua ketemu Jingga pas SMA jadi wajar kalau Sosial kita nggak setara dan mana ada orang sempurna mau sama orang cacat." "Lo nggak cacat yah Bang! Lo dulu kecelakaan sampai kaki Lo mesti di istirahatkan. Lagian Lo nya aja bego punya bokap Kaya nggak mau di manfaatkan. Coba kalau Lo sebut nama Ayah pasti semua orang bakalan segan sama elo. Mungkin juga Kak Jingga dulu mikir dua kali buat hina elo." "Udahlah namanya juga masa lalu, nggak usah di ributkan lagi Rain." "Siapa sih Bang Keluarganya Kak Jingga?" Badai tidak langsung menyahut. Matanya menerawang jauh tentang Keluarga Jingga. Memang benar ucapan Adiknya jika dia menyebutkan nama Sang Ayah pasti semua orang akan berpikir dua kali berurusan dengannya. Namun Badai bukan orang yang slalu berpangku tangan pada Ayahnya. Semenjak meninggalnya sang Ibu, Badai memupuk kebencian pada Sang Ayah. Rasa ikhlas, sakit hati dan untuk memaafkan itu belum bisa di lakukan olehnya. Bayang-bayangan itu masih terus menghantui pikirnya. Badai tahu ada banyak ke salah pahaman yang terjadi namun dia tetap enggan mendengar penjelasannya. Sakit hati yang di tinggalkan Ayahnya membuat dia menghilang dari lingkungan Keluarga besarnya. Bahkan Badai slalu mengatakan pada Pelangi untuk tidak membawa-bawa namanya dalam urusan Keluarga. "Keluarga Raharja." "APA?" teriak Pelangi terkejut. Badai tahu kemungkinan terbesar jika Pelangi mengetahui Jingga dari Keluarga itu dia pasti akan kebingungan. Tunggu saja, sebentar lagi Pelangi pasti akan berkomentar. Badai tidak pernah menutupi apapun tentang Keluarganya. Karena jika Pelangi tahu dia bisa waspada terhadap orang sekitarnya. Tanpa di sadari memang Pelangi slalu di kelilingi bahaya atas perbuatan yang Badai lakukan di belakang layar. "Abang ... oke gua tahu keputusan yang Lo ambil ini pasti punya tujuan entah baik atau buruk. Gua nggak tahu kenapa bisa Lo berhubungan sama Keluarga yang udah buat kita kehilangan Ibu. Gua juga nggak tahu tujuan Lo apa, bener nggaknya Lo cinta sama Kak Jingga cuman hati Lo yang bisa memutuskan. Tapi ... gua, gimana yah gua nggak mau Lo balas dendam. Sakit kehilangan seseorang yang kita cintai itu emang nggak akan pernah bisa di lupain tapi kalau Lo ngelakuin hal yang sama buat nyakitin, gua nggak setuju Bang. Gua emang benci sama Keluarga Raharja tapi gua nggak ada niat sama sekali buat bikin celaka Keluarga mereka. Sekarang gua malah jadi takut kalau pandangan gua ke Kak Jingga itu beda gara-gara dia dari keluarga Raharja. Jangan bikin gua mandang Kak Jingga sebelah mata Bang." Pelangi merasa kalut. Jujur saja peristiwa tentang kematian Ibunya akan slalu membekas di ingatannya. Tapi Pelangi tidak pernah berniat untuk membalas dendam tentang kematian Sang Ibu karena dia sudah memaafkan Ayahnya. Benar, kematian Ibunya tentu saja ada campur tangan dari Ayahnya. Maka dari itu alasan kenapa Badai sangat membenci Ayahnya. Pelangi sekarang sedang berusaha untuk mencoba memaafkan. Bergurunya dia pada Xavier ternyata membuahkan hasil karena pandangannya semakin luas. Bergaul dengan Xavier berdampak positif padanya walaupun mereka sering bertengkar tapi Xavier tetap teman Badai yang merangkap melindunginya. Badai mengangguk, "Jangan pernah biarkan pandangan Lo berubah sama Jingga. Dia cuman korban dari keegoisan Orang tuanya." "Tapi Lo sendiri yang bikin gua mandang Kak Jingga beda! Harusnya gua nggak tahu tentang masalah kalian. Nyesel gua sumpah." "Itulah alasan kenapa gua slalu bilang sama Lo, nanti akan ada saatnya gua kirim Lo itu karena Jingga itu bukan orang sembarangan." Pelangi mendengus. Dia mendorong kursi lalu bangkit meninggalkan Badai di ruang kerjanya. Pintu di banting dengan kasar membuat Jingga yang berpapasan dengan Pelangi terkejut. Pelangi memandang Jingga sebentar sebelum pergi dengan mata penuh kekesalan. Jingga meremas tangannya, apa ada kesalahan yang di perbuatanya? Xavier yang baru keluar dari Ruang sebelah menyaksikannya. Dia mendekat ke arah Jingga, menatap punggung Pelangi yang semakin hilang di telan tikungan. "Nggak apa-apa, Rainbow kalau udah sama Abangnya pasti marah-marah." Jingga terkejut, dia bergeser beberapa langkah dari Xavier. Tidak bermaksud menyinggung, hanya karena terkejut, dia refleks menjauh. Sudah menjadi kebiasaan, karena ketakutannya membuat dia memiliki refleks yang baik. Jingga slalu waspada pada orang-orang baru yang ditemuinya, takut jika orang-orang itu suruhan Keluarganya. Meninggalnya sang Ibu saat itu tentu semakin membuat keadaannya kacau. Jingga memang membenci Orang Tuanya namun di tinggalkan oleh salah satunya tetap membuatnya terluka. "Memangnya Rainbow dan Badai slalu bertengkar?" "Sering. Rainbow yang punya jiwa sosial Butterfly tentu aja buat dia frustasi karena Badai slalu banyak melarang. Rainbow itu bisa di bilang anak pinter tau, cuman karena emang punya Abang posesif bakatnya jarang kena asah." "Rainbow kuliah?" "Iya, semester akhir." "Jurusan apa?" "Hubungan Internasional. Tapi yah gitu, Rainbow anaknya serba bisa. Awalnya dia milih pengen masuk jurusan Seni tapi nggak tahu gara-gara apa tiba-tiba masuk HI." "Apa Lukisan di beberapa ruangan itu punya Rainbow?" "Iya. Lo liat?" Kepala Jingga mengangguk. "Beberapa lukisan Rainbow pernah di tawar sama beberapa orang tapi nggak dia lepas." "Kenapa?" "Abangnya ngelarang." Kening Jingga mengerut. Jingga memang tidak terlalu kenal dengan Rainbow tapi mendengar cerita Xavier sepertinya memang adik dari Badai itu memiliki banyak bakat. Sayangnya larangan dari Badai membuat Rainbow sulit bergerak. Jingga tidak tahu alasan kenapa Badai banyak melarang. Cerita tentang Badai yang protektif dan Posesif ternyata bukan kepadanya saja namun Rainbow pun mengalami hal serupa. Jingga belum sepenuhnya mengenal Badai yang sekarang, jadi sepertinya nanti lambat-laun akan mengetahuinya. "Badai orangnya emang posesif yah?" Pertanyaan itu membuat Xavier berpikir. Untuk orang yang kenal Badai dekat tentu saja tahu bagaimana seluk beluk kehidupannya. Tapi yang bertanya itu orang penting di kehidupan Badai. Sepertinya Xavier lebih baik menjauh, biarkan Badai yang menjawab semuanya. "Untuk pertanyaan Lo itu kayanya lebih baik langsung tanyain sama orangnya deh atau nggak yah Lo sebagai kekasih Badai rasain aja bener atau nggaknya." Pipi Jingga bersemu. Kekasih? Kata itu seketika membuat senyum malu Jingga hilang. Bahkan tidak ada kata hubungan di antaranya dengan Badai. Lantas bagaimana bisa di katakan kekasih? Jingga mengigit bibir bawahnya, sepertinya dia memang harus berbicara lagi dengan Badai. Dulu mungkin hubungan mereka begitu dekat tapi semakin berjalannya waktu sepertinya memang mereka harus kembali untuk membahasnya. Walaupun saat perpisahan terjadi keduanya memiliki sebuah janji satu sama lain. Jika keduanya sudah mengungkapkan tentang perasaannya masing-masing kalau mereka saling mencintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN