11. Putus Asa

1206 Kata
“Ren, belom balik?” Maureen menoleh saat mendengar suara Alifa, temannya itu datang menghampiri dengan ransel di punggung. “Gue cariin taunya malah bengong disini.” Alifa ikut duduk di samping Maureen. “Ayo, balik!” ajaknya. Maureen hanya menghela lemah, kembali menatap langit yang sedikit mendung, tidak cerah seperti biasanya. “Boleh nggak sih nginep disini?” tanyanya. “Males banget pulang.” lanjutnya. “Kenapa? Ribut lagi sama Abang dan Ibu lo?” Maureen menggumam pelan. “Wajah gue udah babak belur kayak gini, nggak mungkin bisa pulang kalau masih mau kerja di Bar. Pengunjung nggak akan mau beli minuman dari wanita yang nggak cantik.” jelasnya. “Lo masih kerja disana?” “Masih. Dimana lagi kerja bisa dapat gaji ratusan ribu dalam satu malam, kecuali di tempat itu.” “Kenapa nggak ngontrak aja sih?! Hidup lo akan jauh lebih aman kalau memilih pisah dari mereka.” Maureen tersenyum samar “Gue ingin surat rumah itu kembali ke tangan gue, kalau gue pergi mereka akan dengan leluasa menjual rumah itu, sekarang aja udah di gedein utun surat rumah.” Salah satu alasan mengapa Maureen begitu bersikeras bertahan di tengah penyiksaan yang dialaminya, karena surat rumah itu masih ada di pegadaian. Rumah yang menjadi satu-satunya warisan dari mendiang ibu, tapi justru di salah gunakan oleh ibu dan Kakak tirinya. “Gue masih harus bayar jaminan surat itu diperpanjang, takutnya pihak pegadaian melelang atau menjualnya pada orang lain. Kalau gue memilih kost, atau sewa rumah kontrak, uangnya nggak akan kekumpul dan bakal lebih lama lagi.” Maureen menghela, menatap jauh kedepan. “Gue pengen surat itu balik ke tangan gue, dengan begitu bisa mengusir mereka dengan mudah.” “Lo bisa tinggal di rumah gue untuk sementara waktu, daripada balik ke sana tapi wajah dan tubuh lo babak-belur terus.” Maureen menoleh dan tersenyum ke arah Alifa, ia merasa begitu beruntung memiliki teman seperti Alifa. “Alasan kedua, kenapa gue nggak mau kost atau tinggal di tempat lain, termasuk rumah lo, karena gue nggak mau melibatkan orang lain dalam penderitaan hidup gue. Abang gue nggak akan segan-segan melakukan kekerasan pada siapapun yang berusaha menolong gue, dan gue nggak mau itu terjadi sama siapapun, termasuk lo Alifa.” jelasnya, berharap alifa atau siapapun yang ingin membantunya bisa mengetahui konsekuensi apa yang akan diterima. “Serba salah banget sih, Ren.” Alifa menatap sedih ke arah Maureen. “Lahir ke dunia ini pun, merupakan salah satu kesalahan yang gue lakukan. Kalau aja dulu gue nggak jawab iya, saat malaikat bertanya, mungkin gue nggak akan se menderita ini.” “Jangan gitu ih.. “ Alifa memeluk merangkul pundak Maureen. “Lo belum tahu ada apa di depan sana yang lagi nungguin lo, mungkin kehidupan yang lebih baik, atau CEO muda yang akan jadi jodoh lo.” Maureen terkekeh. “Salah satu kandidat jodoh gue yang bebari jadi CEO adalah Anjas, dan apesnya gue udah nolak dia mentah-mentah dulu. Yang ada dia ilfil sama gue, apalagi sekarang gue bukan lagi tipe ideal untuknya.” Maureen tersenyum getir. “Jangan putus asa gitu dong, lo harus jadi Maureen si bar-bar yang gue kenal. Jangan mental kerupuk kayak gini dong ah!!” “Hari ini boleh jadi kerupuk melempem nggak?” keluh maureen “Capek banget ngadepin kegilaan dunia ini sendiri,” Maureen menarik nafas dan membuangnya lewat mulut. “Mau nyerah aja rasanya, tapi si wewe gombel itu belom ngerasain pembalasan gue, setidaknya dia harus lihat gue hidup normal sukur-sukur jadi kaya!” “Gue sumpahin lo jadi orang kaya raya, cantik dan rendah hati.” Maureen tertawa. “Amin!!” Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, jam pulang kantor sudah berakhir sejak dua jam lalu, tapi Maureen masih betah berada di atap gedung. Bukan karena nyaman berlama-lama di kantor Adiguna, tapi karena maureen sengaja menghindari pertemuan dengan kakaknya, Rizal. Tidak ingin wajahnya kembali babak-belur dan uang yang dimilikinya raib dirampas Rizal, ia lebih memilih menghabiskan waktu lebih lama di kantor. Sebelum berangkat ke lokasi tempat kerja yang kedua, Maureen menyempat diri untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Beruntung situasi kantor sudah sangat sepi, ia pun bisa menggunakan kamar mandi dengan leluasa. Maureen memang menaruh beberapa pakaian di dalam ransel yang selalu dibawanya kemana-mana, selain untuk keperluan pekerjaan, juga karena ia kerap menghindari pulang di jam-jam rawan. Sebisa mungkin ia harus mencari waktu yang tepat agar tidak bertemu dengan rizal, jika ingin selamat. Merasa lebih segar karena sudah membersihkan diri, ia lantas segera menuju lift. Beberapa ruangan kantor masih terlihat ada kehidupan, mungkin ada karyawan yang masih lembut disana. Namun bisa dipastikan Mbak Wulan sudah pulang sejak tadi bersama Siska, jadi Maureen bisa menggunakan lift dengan leluasa. Membawa ransel berukuran cukup besar, Maureen berdiri di depan lift dan saat pintu terbuk, lantas kedua kalinya melangkah, tiba-tiba saja ia kembali menghentikan langkah setelah melihat siapa yang ada di dalam sana. Maureen melihat Anjas dan beberapa staf kantor lainnya ada di sana, termasuk Wulan. Sial! Wanita itu ternyata belum pulang. Langkahnya kembali mundur, mengurungkan niat untuk menggunakan lift dan akan memilih tangga darurat saja. Tapi sesaat sebelum pintu lift kembali tertutup, Anjas menekan tombol, menahan pintu agar tetap terbuka. “Masuk,” ucapnya. “Masih cukup untuk satu orang lagi.” lanjutnya. Maureen menggelengkan kepalanya, “Terimakasih, Pak. Saya pakai,” “Cepat masuk, tangan saya sakit pegang tombol ini terus.” “Oh iya.” akhirnya Maureen pun masuk kedalam lift. “Maaf Mbak, lain kali saya pake tangga, hari ini kaki saya sakit banget.” Maureen menoleh dengan senyum jahil ke arah Wulan. “Silahkan, Pak Anjas yang nyuruh kamu, bukan saya.” jawabnya judes. “Wajah kamu kenapa? Habis di pukulin orang?” tanya Wulan dengan nada mengejek. “Yaa begitulah Mbak kalau jadi preman. Lecet dikit nggak apa-apa, kan? Malah makin cantik jadinya, nggak harus pakai blush on.” “Tapi, kenapa dengan wajahmu, Ren?” di dalam lift juga ada Pak Budi, yang menatap heran ke arah wajah Maureen. “Sedikit insiden, Pak. Di palakin preman,” jawaban yang berbeda-beda, yang sengaja di ucapkannya. “Memangnya ketemu dimana? Kok bisa apes banget kena palak preman.” “Rumah saya kawasan rawan copet, preman dan banyak lagi. Disana bahaya banget, nggak kaget kalau kena palak.” “Pantes aja, kamu tinggal di kawasan rawan kejahatan seperti itu. Wajah kamu sudah mewakili.” Maureen menatap sebal ke arah Wulan. Wanita itu memang kerap menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan, setelah gebetan Mbak Wulan ketahuan menyukai Maureen. Masalah pribadi yang kerap dijadikan alasan untuk menindas. Memang sangat kekanak-kanakan, mengingat usia Wulan yang sudah lebih dari dewasa. “Mbak Wulan nggak tahun aja, wajah kayak gini disukai ugal-ugalan oleh seseorang.” “Masa sih?!” Wulan jelas tidak percaya dengan ucapan Maureen. “Serius! Aku nggak bohong.” Wulan hanya tersenyum mengejek. “Paling juga si ujang tukang sampah depan, iya kan?” “Bukan,” “Siapa dong?” Maureen tersenyum jahil. “Mas Abid, gebetan Mbak Wulan.” Maureen tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah kesal Wulan. Ia berhasil membuat wanita itu semakin kesal padanya. Padahal lelaki yang dimaksud Maureen bukan Abid si lelaki tali beha, tapi sosok lelaki yang saat ini ada di depannya. Sosok yang tengah menatap ke arah Maureen, melalui pantulan pintu besi yang ada di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN