“Aku rasa kamu memiliki kesamaan denganku,” seorang wanita menghampiri, saat Maureen baru saja mengganti pakaian di kamar ganti.
Ia menoleh pada wanita yang tidak diketahui namanya itu, tapi dari seragam yang dikenakan bisa dipastikan keduanya bekerja di lokasi yang sama.
Maureen memang tidak memiliki banyak teman, bahkan mungkin tidak memiliki teman sama sekali. Datang hanya untuk bekerja, dan akan pulang setelah mendapat uang, tanpa memperdulikan sekitar. Termasuk pada wanita yang saat ini berdiri di sampingnya.
“Wanita yang datang ke tempat seperti ini untuk bekerja, pasti memiliki kesamaan,” balas Maureen, menoleh ke arahnya. “Sama-sama menggadaikan harga dirinya hanya karena uang. Benar bukan?” Maureen tersenyum.
“Benar. Apa kamu tidak tertarik dengan penghasilan lebih besar lagi dan dalam waktu singkat?”
Maureen menggeser tubuhnya, menatap lurus ke arah wanita itu.
“Menjual diri maksudmu?”
“Iya.” Jujurnya.
“Tidak.” Maureen menggelengkan kepalanya.
“Hidupku sudah terlanjur hancur, aku tidak ingin menambahnya lebih parah lagi. Aku sangat menghargai jalanmu, tapi aku tidak mau.”
“Oke,, tenang' saja, aku tidak akan memaksa. Aku hanya memberiku opsi untuk hidup lebih baik.”
“Aku sangat mengharapkan keputusanmu, untuk terjerumus dalam dunia lendir, tapi aku tidak ingin seperti itu.”
Wanita itu mengangguk. “Baiklah, tapi tawaranku masih berlaku sampai kapanpun, kalau mau segera hubungi aku. Oke.”
Maureen mengangguk. “Oke.”
“Dan satu lagi,” ia menahan langkah.
“Terimakasih untuk kejadian beberapa waktu lalu, aku senang akhirnya ada seseorang yang berani melawan Selly. Selama ini tidak ada yang melawan.”
Maureen tersenyum. “Aku akan melawan siapapun yang mengusik hidupku, tapi sebaliknya jika orang tersebut tidak mengganggu hidupku, aku tidak akan pernah mengusik. Aku tidak mencari musuh, aku hanya mencari uang.” jelasnya.
“Baiklah Maureen, sampai jumpa lagi.” Wanita yang tidak mengenakkan namanya itu melambaikan tangan dan pergi terlebih dahulu keluar, sementara Maureen harus menyelesaikan diri untuk bersolek.
Tawaran seperti tadi memang kerap datang silih berganti, tidak hanya dari sesama pekerja yang sudah lebih dulu terjun ke dunia lendir, tapi juga dari beberapa tamu yang menawarkan bayaran cukup mahal. Memang sangat menggiurkan, tapi Maureen masih mempertahankan diri untuk tidak tergoda, dan menyesal dikemudian hari.
“Mau pergi sama aku?”
seperti yang terjadi malam ini, saat seorang tamu datang dan langsung tertarik padanya.
“Kemana?” Maureen tidak bisa langsung menolak dengan tegas, minuman yang harus dijualnya masih lumayan banyak. Ia harus menjual habis, agar bisa mendapatkan uang lebih banyak malam ini.
“Kemana saja kamu mau, aku punya apartemen, mau ke hotel pun boleh. Kamu maunya kemana?” Satu tangannya menyentuh paha Maureen, mengusap lembut, berusaha menggoda.
“Aku nggak bisa ikut, tapi kalau mau beli banyak minuman tolong cari aku.” tolaknya dengan lembut, melepaskan tangan jahil yang ada di atas pahanya.
“Kenapa? Coba sebutkan berapa uang yang kamu mau? Aku bisa berikan.” Lelaki bertubuh sedikit gemuk dan diperkirakan sudah berusia lebih dari lima puluh tahun itu masih berusaha membujuk.
“Aku mau uang, seharga minuman ini. Beli semuanya, gimana?”
“Aku akan membelinya, dengan satu syarat.”
“Beli dulu, nanti aku pikirkan lagi. Gimana?” Tawar-menawar masih terjadi, Maureen harus membuat lelaki itu mau membeli minuman sebanyak mungkin, lalu setelahnya ia akan segera pergi untuk menghindar.
“Baiklah, aku akan membelinya. Berapa?”
“Dua puluh botol, gimana?” Maureen tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.
“Boleh. Tapi kamu harus memenuhi janjimu.”
“Janji apa? Aku nggak janji apapun.” Maureen tersenyum jahil. Ia memberikan nota untuk dua puluh botol minuman keras, setelahnya ia langsung pergi untuk memberikan barang bukti pada si bartender yang nantinya akan terhitung jumlah pemasukan pribadi.
Setelah memastikan lelaki tua itu membayar minuman yang dipesan, Maureen segera menghindar. Ia bersembunyi agar keberadaannya tidak ditemukan oleh lelaki tua itu.
Tapi lelaki yang sudah terlanjur di penuhi nafsu, dan juga merasa sudah tertipu olehnya, ia pun tidak tinggal diam lelaki itu berusaha mencari Maureen untuk menagih janji yang sebenarnya belum mencapai kata sepakat.
Lelaki tua itu terlihat marah, mencari Maureen ke seluruh penjuru bar. Merasa terancam dengan situasi yang membahayakan, Maureen terpaksa bersembunyi di belakang bar, tepatnya di area pembuangan sampah.
“Sialan tua bangka! Harusnya pulang jagain cucu, malah keluyuran aja di Bar. Mana sangean lagi!” umpatnya, sebab ia benar-benar harus bersembunyi di dekat bak sampah yang mungkin akan mengotori tubuh dan juga pakaiannya.
Cukup lama Maureen bersembunyi, bahkan lebih dari tiga puluh menit lamanya. Tapi beruntung jam kerjanya sudah hampir habis, ia hanya butuh sedikit lebih lama lagi untuk menghindar, setelahnya ia akan segera pulang. Tentu saja setelah mendapatkan bayaran hasil kerjanya tadi. Walaupun dibumbui dengan trik kebohongan, tapi Maureen tetap akan meminta hak nya.
Merasa situasi sudah aman, dan diyakini lelaki tua itu pergi, Maureen pun perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak sengaja cairan bau busuk menempel di pakaiannya, yang menimbulkan aroma tidak sedap. Maureen akan segera menemui bang Adi untuk mengambil uang, setelahnya ia akan mencuci pakaian dan membersihkan diri.
Dengan perlahan Maureen segera menuju ruang kerja Bang Adi, namun sayangnya saat jarak tinggal beberapa langkah lagi menuju ruang Bang Adi, ia melihat sosok yang begitu familiar. Lelaki itu pun langsung mengenalnya, ia berteriak ke arahnya sambil menunjuk, lengkap dengan ekspresi kesal.
Tidak ingin terjebak oleh permainannya sendiri, Maureen pun segera berlari tanpa bertemu dengan bang Adi terlebih dulu. Ia harus segera melarikan diri.
Yang dituju adalah area parkir, dimana si butut berada. Butut adalah sebutan untuk motornya, yang selalu menemani Maureen kemanapun ia pergi.
Maureen kembali apes, sebab tidak membawa serta kunci si butut. Kunci yang diletakkan di dalam tas masih tertinggal di loker khusus pegawai, sementara saat ini ia tengah berada di area parkir.
Samar-samar Maureen juga masih mendengar lelaki itu memanggil namanya. Ia kebingungan sendiri, dan panik.
Tapi untungnya, dalam situasi yang sangat membingungkan itu Maureen melihat sosok yang begitu familiar, baru saja hendak masuk kedalam mobilnya. Entah ada keperluan apa lelaki itu berkeliaran di area bar.
Alasan apapun yang membuatnya ada di tempat itu tidaklah penting, yang paling utama adalah mencari seseorang yang bisa membantunya atau lebih tepatnya dipaksa untuk membantunya.
Maureen segera berlari ke arahnya, dan tanpa basa-basi ia segera bergelayut manja di salah satu tangannya.
“Ayo, kita masuk ke mobil.” ucapnya dengan nada manja.
Anjas terkejut bukan main saat ada seorang wanita tiba-tiba bergelayut manja di lengannya, terlebih saat wanita itu adalah Maureen.
“Ayo,, ke mobil. Aku nggak tahan lagi nih!” Ucapnya lagi dengan nada menggoda.
Alih-alih setuju, Anjas justru menatap bingung ke arahnya.
“Ayo,,, aku nggak kuat nih!” Lanjutnya, dengan mengedipkan satu mata, memberikan kode. Tapi sepertinya lelaki itu tidak juga peka.
“Hei kamu! Urusan kita belum selesai, kamu sudah berjanji padaku tadi!” Terdengar suara menggelegar dari arah belakang.
Memejamkan mata sebentar sebelum akhirnya ia menoleh ke arah lelaki itu.
“Maaf sekali, Pak. Saya sudah dibungu dia, kami mau langsung pergi. Iya, kan tuan?” Maureen kembali menoleh ke arah Anjas. Tapi ekspresi lelaki itu masih datar, tidak ada tanda-tanda ingin menyelamatkannya dari situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi Maureen.
“Aku lebih dulu, dan kamu sudah berjanji.” rupanya lelaki tua itu masih bersikeras.
“Tapi,,,, tapi dia sudah lebih banyak membahayar, iya kan?” Lagi-lagi Maureen berusaha melibatkan Anjas dalam situasi itu, sayangnya lelaki itu masih diam tanpa ekspresi menatap ke arahnya.
“Bohong! Nggak usah kebanyakan alasan, kamu sudah janji sama saya, ayo!” Lelaki itu mendekat, dan hendak menyeret Maureen ikut bersamanya.
“Dia sudah sama saya,” akhirnya suara itu terdengar, walau samar.
“Saya sudah membayarnya lebih mahal.” lanjutnya.
Anjas menggeser Maureen ke belakang tubuhnya.
“Siapa yang lebih mahal membayar, dialah yang dapat. Bukan begitu?”
Walaupun terlihat kesal karena merasa dibohongi dan kalah, akhirnya lelaki tua itu pun pergi dengan mengucapkan kata-kata kasar yang masih bisa didengar oleh Maureen, ataupun Anjas
“Ya ampun nyaris saja, terimakasih untuk kerjasamanya, Pak. Maaf merepotkan.”
Maureen menghela, setelah memastikan lelaki tua itu pergi menggunakan mobilnya. Setidaknya malam ini ia masih selamat, untuk hari esok ia akan kembali memikirkan cara lain untuk melarikan diri dari orang-orang bernafsu kuda seperti itu.
“Mau kemana kamu?” tanya Anjas, sesaat setelah Maureen hendak pergi meninggalkannya.
“Mau ke sana. Terimakasih untuk bantuannya, kalau nggak ada Pak Anjas, saya sudah pasti di gondol lelaki tua itu.” Maureen menundukkan kepalanya, mengucapkan terimakasih berulang kali.
“Saya duluan ya, pak. Permisi.”
“Kamu ikut saya,” Anjas menahan satu tangan Maureen, “Bukannya kamu sudah saya bayar?”
“Hah? Kapan?”
“Barusan kamu bilang begitu, saya dengar dengan jelas. Jadi Sekarang kamu ikut saya!”