“Mau kemana?! Aku hanya bercanda,” Maureen menolak, saat Anjas menariknya menuju mobil.
“Nggak sungguh, sumpah deh! Kenapa jadi beneran kayak gini sih?!” Keluhnya, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Anjas.
“Masuk,” ucapnya.
“Nggak, sebelum Bapak kasih tahu kita mau kemana?!”
“Bapak, bapak, kamu lupa nama aku? Biar aku kasih tau lagi,” Anjas berkacak pinggang.
“Aku Anjas Alfian, teman sebangku Maureen Jelita.” jelasnya, dengan menatap ke arah Maureen.
“Jangan panggil aku Bapak! Aku nggak suka.”
Maureen mengerutkan dahi, “Begini, kamu itu bukan teman sebangku lagi, situasinya udah berubah.” Maureen menoleh ke kanan dan kiri, seolah takut seseorang melihatnya.
“Kamu itu atasan aku! Pak Anjas Alfian, aku nggak mau dianggap kurang ajar lagi. Apalagi kalau sampai perawatan tua yang udah nggak perawan itu lihat bapak naik-naik tangan aku kayak tadi. Aku bisa kehilangan sumber mata pencaharian ku.” tuturnya.
“Pak Anjas mau tanggung jawab kalau aku nganggur? Pak Anjas mau ngerjain saya! Eh,, maksudnya ngasih saya kerjaan?!”
“Aku bisa! Tapi stop panggil aku Bapak! Kita nggak lagi di kantor!”
Keduanya masih bersikukuh dengan keinginan masing-masing.
“Tapi bukan muhrim loh, pegang-pegang kayak tadi. Bahaya banget di pegang Pak Anjas. Kerjaan bisa melayang.” Maureen mengusap kedua tangannya, seolah ingin menghilang bekas pegangan Anjas.
“Saya masih ada urusan sama Bos saya di sana!” Tunjuknya ke arah bar. “Saya belum gajian, jangan main tarik gitu aja dong! Uang saya bisa hilang karena Pak Anjas.”
Maureen mendengus pelan.
“Terimakasih untuk bantuannya, maaf sudah merepotkan. Udah sih gitu aja, bhayy!” Maureen melambaikan tangannya ke arah Anjas, segera berbalik arah menuju bar dimana ruang Bang Adi berada. Ia belum menerima uang gaji untuk malam ini, walaupun ada insiden tidak mengenakan, tapi Maureen tetap akan mengambil uang tersebut.
Maureen berjalan cepat, sesekali ia mengusap d**a yang terus bergemuruh kencang.
“Jantung murahan, gitu aja berdebar. Sialan!” umpatnya pada diri sendiri yang nyaris tidak bisa mengendalikan diri karena sentuhan Anjas tadi.
Dalam dirinya tiba-tiba bercinta, menumbuk gelenyar aneh yang membuat jantungnya memompa lebih kencang.
Maureen memang sudah sangat dewasa untuk menyadari perasaannya, tapi ia tetap ingin menyangkal, saat bersama Anjas jantungnya berirama lebih cepat.
Dulu, saat usianya masih belasan, ia mampu menutupi perasaannya dengan bersikap kasar pada lelaki itu, tapi saat usia semakin bertambah dan situasinya pun semakin berubah, kata-kata kasar yang kerap digunakan sebagai senjata pun tidak lagi berguna. Lelaki itu Bos di tempatnya bekerja, mengumpat hanya akan membahayakan dirinya dan sebagai imbalannya, Maureen akan kehilangan pekerjaan.
Sulit untuk bersembunyi, ketika ia kembali berhadapan dengan keinginan hati tapi situasi tidak mungkin mendukung.
“Bang Adi,” Maureen menyapa, sesaat setelah mengetuk beberapa kali ruang kerja Adi.
“Masuk, Ren.” Lelaki itu mempersilahkan Maureen masuk..
“Bang, aku belum gajian.” langsung pada intinya, tidak ingin berlama-lama di bar, karena masih takut kembali bertemu lelaki tua yang sangat terobsesi padanya.
“Iya. Duduk dulu, aku ambilkan uangnya.”
Adi mengambil dompet besar yang terlihat penuh berisi uang.
“Hari ini penjualan mu lumayan banyak, pertahankan.” Adi mengambil beberapa lembar uang kertas berwarna merah dari dalam dompet, lalu memberikannya pada Maureen.
“Kalau setiap hari penghasilanmu seperti ini, aku rasa nggak perlu lagi kerja jadi OB. Siang harinya bisa kamu manfaatkan untuk beristirahat dan fokus di tempat ini.”
Maureen menghela lemah. “Aku suka kerja di kantor, walaupun nggak jadi salah satu staf penting disana.”
“Kenapa? Apakah gajinya besar?”
Maureen terkekeh, “Kalau besar, ngapain aku kerja disini sampai larut malam?”
“Lalu, apa alasan yang membuatmu betah di sana?”
“Cowoknya cakep-cakep.” Maureen tertawa, sementara Adi hanya menatap dengan tatapan kesal.
“Nggak semuanya sih, hanya satu aja yang cakep. Bikin semangat kerja kalau lihat yang cakep mah,,”
Adi mendengus, “Cakep tapi nggak bikin kamu banyak duit, dan nggak jadiin kamu pacar, ya percuma aja!”
“Iya sih,” Maureen meringis pelan.
“Tapi setidaknya bisa berfantasi aja,,”
“Hah?! Apa maksudnya?!”
“Pasti deh mikirnya jorok!” Maureen menatap jahil.
“Maksudnya tuh bisa menghayal punya pacar kaya, bukan berfantasi jorok!”
“Dasar kamu ya! Udah saja pulang, mandi yang bersih! Kamu bau sampah banget!!” Adi menutup hidungnya.
“Darimana sih kamu?! Sampai bau sampah gini?!”
Maureen mencium tubuhnya sendiri, dan memang aroma tidak sedap begitu kencang terasa.
“Tadi ada misi dadakan.” balasnya.
“Misi menyelamatkan aset negara.”
“Aset negara? Apa?”
“Ini.” Maureen menunjuk ke arah bagian intim tubuhnya.
“Ya ampun!” Adi menggelengkan kepalanya, merasa takjub dengan sikap Maureen yang kadang terlihat sangat prihatin tapi juga sangat menyebalkan. Tapi Adi tahu, wanita itu adalah sosok yang sangat baik dan jujur, hanya nasibnya saja yang sedikit tidak beruntung.
Usai menerima uang hasil kerjanya hari ini, Maureen segera menyimpannya dalam sebuah dompet rahasia. Rencananya besok akan dimasukan kedalam rekening rahasia yang selama ini disembunyikan dari Ibu dan Kakaknya.
Maureen bergegas menuju si butut berada, walaupun harus menghabiskan dua sampai tiga jam lagi untuk melakukan hal-hal random tidak berguna hanya untuk menghindari bertemu dengan sang Kakak, tapi pulang dari tempat bekerja adalah momen yang paling dinanti-nanti. Tidak ada rencana yang berubah, ia hanya akan menghabis waktu di warung Bu Jum, menikmati semangkuk indomie dan es Milo di pinggir jalan. Satu set makanan pengusir lapar yang sangat ekonomis. Bukan karena terlalu cinta pada makanan siap saji itu, tapi karena Maureen ingin segera menambah uang di rekening secepatnya agar bisa mengambil alih rumah dan mengusir dua benali yang selama ini mengacaukan hidupnya.
“Kamu belum tanggung jawab,” tiba-tiba muncul sesosok lelaki, mencegat jalannya.
“Pak Anjas belum pulang? Ngapain disini?”
“Nungguin kamu.” balasnya, menatap sinis.
“Ngapain?”
“Kamu yang udah bikin acara aku berantakan, tiba-tiba muncul dan mengaku udah di booking, lalu mengotori pakaianku.”
Kening Maureen mengerut. “Pakaian yang mana? Kayaknya bersih aja deh.”
“Tapi bau!”
Maureen menganggukkan kepala, “Oh iya,, nggak sengaja nempel sama pakaian aku tadi.” Maureen yang semula sudah duduk di atas jok motor, segera turun dan menghampiri Anjas
“Buka bajunya,” jaraknya sangat dekat, Maureen pun hendak membuka jas mahal yang dikenakan lelaki itu.
“Buka bajunya,”
“Kamu mau apa?!” Anjas bersikap waspada, menutup tubuh dengan kedua tangannya.
“Ya ampun! Aku nggak bakal merkosa kamu! Aku cuman minta baju kamu aja, nanti aku cuci sebagai bentuk tanggung jawab aku.” jelasnya.
“Kamu malah kayak bujang ting-ting yang nggak pernah di grepe-grepe aja!” cibir Maureen.
“Sini, mana bajunya. Aku cucu nanti di laundry! Ya kali jas mahal aku kucek di kamar mandi.” Maureen mengulurkan tangannya ke arah Anjas.
Jika dengan memberikan jas akan membuat mereka kembali bertemu di luar jam kantor, Anjas pun akan dengan senang hati memberikannya dan tanpa pikir panjang lelaki itu melepaskan jas, lalu memberikan pada Maureen.
Untuk beberapa detik Maureen benar-benar terhipnotis dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Selain wangi, juga tercetak indah dibalik kemeja putih yang membentuk sempurna tubuhnya. Tidak ada lagi tubuh K3, kurus, kering, kerempeng, yang kerap di ejek Maureen dulu. Kini tubuh itu berevolusi sempurna dan memanjakan mata.
Maureen menghela lemah, memalingkan wajah walaupun masih ingin menatapnya lebih lama.
“Tiga hari lagi, aku kembalikan.”
“Oke.”
Maureen melipat jas tersebut, lantas memasukkannya ke dalam ransel dengan sangat hati-hati.
“Kamu mau kemana?” tanya Anjas lagi, seraya kembali menghalangi jalan Maureen.
“Mau makan.”
“Kamu nggak ngajak aku makan? Aku juga lapar!”