12. Si Bungsu yang Tersisih

2639 Kata
“Pagi Nyonya Abimanyu yang cantik tiada tara dan selalu segar senantiasa sepanjang waktu!” Ry berseru kencang dan berlari menghampiri ibunya yang tengah menyiram tanaman di depan paviliun tempat gadis itu tinggal. Paviliun tempat Ry tinggal berada di bagian belakang rumah orang tuanya. Dulunya paviliun itu ditempati oleh adik dari ibunya. Setelah adik dari ibunya meninggalkan Jakarta, paviliun itu kosong. Saat SMA Ry memutuskan pindah ke paviliun agar dirinya bisa bebas dari omelan ibunya sepanjang waktu. Di keluarganya, Ry memang paling beda sendiri. Ibunya, Ivana Dianita, adalah sosok wanita ayu yang anggun. Kakaknya, Ivana Larasati, tumbuh seperti cetakan ibunya. Lihat saja wajah dan tingkah lakunya yang persis mewarisi sang ibu, sama seperti nama depan mereka yang sama. Kalau ayahnya, Abimanyu, merupakan sosok tenang yang tegas dan selalu mengerjakan segala sesuatunya dengan terstruktur. Hanya Ry seorang yang kacau balau. Oleh karena itu, Ry kerap dibedakan dan membuatnya merasa terkucil di rumah. Sebenarnya keluarga Ry tidak berniat mengucilkan si bontot, tetapi tanpa sadar perlakuan dan ucapan mereka membuat gadis itu merasa tersisihkan. Sejak kecil, Ry kerap dibandingkan dengan Laras yang sangat menonjol dalam segala bidang. Hal itu membuat Ry tertekan dan pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk melakukan segala kebalikan dari kakaknya. “Loh, Nia?” Ivana terkejut melihat putrinya ada di rumah. “Mama kira kamu enggak pulang.” “Ry pulang kok, Ma. Kalo enggak pulang Ry kan pasti kasih kabar.” “Habisnya motor kamu enggak ada.” “Si Boncel nginep di kampus, Ma.” “Mogok lagi?” tanya Ivana malas, lalu dimulailah ceramah yang berpotensi merambat ke segala arah. “Kan Mama bilang juga pakai mobil. Biarpun itu bekasnya Mbakmu, tetap masih lebih bagus dibanding motor kamu.” “Mamaku yang cantik, Ry itu enggak bisa mendua dari si Boncel. Lagian uang makan mobilnya Mbak Laras lebih mahal dari uang makan Ry sendiri, Ma. Ry enggak sanggup beli bensinnya. Bukannya naik di dalam, yang ada Ry malah kena dorong mobil.” Sesungguhnya jawab yang Ry beri adalah sebuah kesalahan besar. Ivana langsung menemukan celah lainnya untuk mengkritik hidup si putri bungsu. Ivana menatap putrinya dengan tatapan menyayangkan. “Andai kamu lulus kuliah sesuai waktu, sekarang pasti kamu sudah dapat pekerjaan yang pantas dan gaji kamu cukup untuk bayar bensin mobil, Nia.” “Iya, Mamaku tersayang. Maafin Ry yang enggak kompeten ini, ya.” Hati Ry sedikit banyak teriris mendengar ucapan Ivana, tetapi ia sudah kebal. Dan seorang Ry tidak pernah menunjukkan dirinya bersedih. Ia tetap menanggapi dengan senyum ceria. “Enggak kayak Mbak Laras yang selalu sempurna dan enggak pernah bikin malu.” “Setiap dikasih tahu jawabnya selalu begitu,” gerutu Ivana. Ry maju dan memeluk ibunya dari belakang, tidak lupa memberikan kecupan di pipi juga. “Maaf lagi ya, Mama.” Sebenarnya Ivana masih ingin mencecar lagi, tetapi jawaban Ry yang penuh sikap mengalah membuat sang ibu tidak punya lawan tanding lagi. Ry sendiri tahu hal itu, kata maaf selalu berhasil membuat ibunya diam. “Kemarin kamu pulang jam berapa?” tanya Ivana mengubah topik. “Lupa, Ma. Tapi enggak lebih dari jam 12, kok.” “Pulang sama siapa kamu?” Nada Ivana tidak terdengar khawatir. Sangat berbeda jika Laras yang pulang malam, Ivana pasti ketar-ketir. Sibuk menyuruh sang suami untuk menjemput putri sulung mereka. “Ry dianter sama dosen, Ma.” “Dosen?” “Iya.” “Ada urusan apa dosen kamu antar mahasiswinya pulang?” tanya Ivana curiga. “Enggak ada urusan apa-apa, Ma. Cuma karena udah malam aja.” “Dan kenapa kamu bisa ada sampai malam begitu bersama dosen kamu?” Ivana bukan berpikir Ry macam-macam dengan dosennya. Ia hanya heran karena sejak awal kuliah Ry tidak pernah dekat dengan dosen. Ia tahu anaknya selalu masuk kelas terlambat dan bubar secepat mungkin. “Dosen Ry bantuin Ry beresin pengajuan buat TA, Ma.” “Wah, baik sekali dosen kamu!” seru Ivana takjub. “Ma, ngobrolnya lanjut nanti lagi, ya. Ry mau siap-siap dulu.” “Mau ke kampus?” “Iya, Ma.” “Naik apa?” “Dijemput sama dosen Ry.” Seketika Ivana terlihat tertarik. “Yang kemarin antar kamu pulang?” “Iya.” “Dandan yang rapi, Nia,” titah Ivana. “Pinjam baju Mbakmu. Jangan bikin malu.” “Enggak mau ah, Ma!” tolak Ry cepat. “Jangan bantah! Ayo, ikut!” Segera saja Ivana menggamit lengan Ry, membawanya masuk ke rumah utama, lalu menuju kamar Laras di lantai atas. Ivana masuk dengan santai setelah mengetuk dan menemukan putri sulungnya tengah merias diri di depan cermin. “Laras?” “Ya, Ma?” “Pinjami adik kamu baju, ya?” “Tumben.” Gerakan tangan Laras memulas pipi langsung terhenti. “Ada acara, Dek?” “Ry cuma mau ngampus aja, Mbak,” jawab Ry malas. “Tapi dijemput sama dosennya. Boleh kan pinjam baju kamu?” tanya Ivana setengah memaksa. “Boleh, kok.” Laras mengangguk kecil. “Pilih aja, Dek.” “Sini, biar Mama yang pilihin!” Ivana tidak akan membiarkan Ry yang memilih pakaian. Ia harus ambil alih urusan ini. Segera saja Ivana menginspeksi lemari pakaian Laras, memilih-milih, lalu bersorak senang setelah menemukan sesuatu yang membuatnya jatuh hati. Sebuah gaun panjang berwarna peach yang terlihat cantik dan manis. “Nah, ini aja cocok!” Melihat pilihan ibunya Ry langsung melotot ngeri. “Ma, Ry cuma mau ke kampus loh, bukan mau datang ke kawinan. Masa iya harus pake baju begini?” “Ini baju biasa, Nia.” Ivana terlihat tidak terima karena pilihannya dibantah. “Betul kan, Ras?” Laras menoleh, lalu meringis melihat gaun di tangan Ivana. “Agak terlalu berlebihan kalau untuk kuliah biasa sih, Ma.” “Tuh, kan!” seru Ry senang karena dibela kakaknya. Laras bangkit dari kursi rias, lalu mendekati keduanya. “Laras bantu pilihin gimana?” “Boleh-boleh!” Ry langsung mengangguk kencang. Kalau kakaknya yang memilihkan, hasilnya pasti jauh lebih baik. “Kalau ini gimana, Dek?” Laras menunjukkan sebuah blus cantik berwarna putih dipadu dengan celana kain krem. “Ma, enggak boleh Ry pake baju Ry yang biasa aja?” tanya Ry memelas. “Enggak!” Ivana menggeleng tegas. “Ya, udah.” Ry mengangguk lesu. “Yang Mbak pilihin aja.” “Bagus!” Ivana mengangguk puas. “Sekalian tolong dandani adikmu ya, Ras. Biar rapi sedikit.” Setelah sang ibu meninggalkan kamar, Laras menatap ragu pada adiknya. “Adek mau didandani?” “Emang bisa nolak?” balas Ry pasrah. Laras tersenyum samar. Ia tahu adiknya tidak suka dan terpaksa. Sejujurnya Laras iba pada Ry, tetapi ia tidak bisa banyak membantu. Sebenarnya juga, Laras sering merasa tidak enak ketika orang lain membandingkannya dengan sang adik. Laras tidak bangga karena dirinya lebih dalam segala hal dibanding Ry. Ia hanya ingin jadi biasa-biasa saja, tidak pernah berusaha keras untuk jadi menonjol. “Mbak dandani tipis-tipis aja mau?” tanya Laras agar adiknya sedikit terhibur. “Terserah aja, Mbak,” sahut Ry tidak peduli. “Kuliah kamu gimana, Dek?” Mereka memang jarang memiliki waktu untuk berbincang bersama, tepatnya karena Ry selalu menghindar. “Mbak dengar katanya akhir-akhir ini kamu serius beresin ya?” “Iya, Mbak. Dipaksa harus lulus semester depan, paling lambat semester depannya lagi. Udah batas paling akhir katanya. Kalo enggak lulus juga bakal di DO atau kena pemutihan.” “Semoga lancar ya, Dek,” ujar Laras tulus. “Mbak yakin semester depan Adek selesai.” “Makasih, Mbak.” Terkadang Ry juga kerap merasa bersalah karena menyimpan iri pada kakaknya. Ry tahu kakaknya baik, hanya saja hatinya sering terluka karena perkataan orang tentang betapa berbedanya mereka. Setelah selesai mandi, berpakaian rapi, dan didandani, Ry meninggalkan kamar Laras. Begitu pintu terbuka, ia mendengar ibunya tengah bercakap-cakap dengan orang lain. “Terima kasih ya, Nak sudah berbaik hati membantu Nia menyelesaikan kuliahnya.” “Sama-sama, Bu. Tapi ini belum selesai. Masih panjang jalannya.” Ry mendelik ngeri. Itu suara Girish! “Terima kasih juga sudah repot-repot antar dan jemput, Nia.” “Itu sudah kewajiban saya sebagai dosennya, Bu.” Segera Ry mempercepat langkah untuk menemui Girish. Dosennya itu tengah duduk di meja makan berseberangan dengan ibunya. Secangkir teh terhidang manis di depan Girish. “Bapak kapan sampai?” tanya Ry kikuk. Girish melirik jam tangannya. “Sudah sekitar 20 menit.” “Mama kenapa enggak kasih tau Ry kalau Pak Girish udah sampai?” tanya Ry gusar. “Saya yang bilang tidak perlu buru-buru. Memang saya yang datang kepagian,” ujar Girish. Ivana mengangguk senang. “Lagian Mama mau ajak Nak Girish makan dulu.” “Bapak memangnya mau makan?” tanya Ry senewen, Ia takut ibunya akan membicarakan hal-hal yang tidak pada tempatnya. “Atau kita berangkat sekarang aja, Pak?” “Buru-buru sekali, Nia?” tegur Ivana tidak suka. “Nanti kesiangan, Ma.” “Kelas kamu masih lama, kan?” Bukannya membantu, Girish malah membuat Ry semakin terjebak. Ry meringis kecil. “Bapak memangnya enggak ada kelas?” “Hari ini saya kelas siang,” jawab Girish santai. Ry memejamkan matanya beberapa saat. “Jadi Bapak pagi-pagi khusus jemput saya?” “...” Girish tersenyum samar dan mengangguk kecil. “Yah, Bapak ….” Ry mendesah serba salah. “Tau gitu kan Ry bisa naik bus aja.” “Sudah, tidak apa-apa. Kamu makan dulu saja, Ivory.” Ry menatap heran pada Girish yang pagi ini mendadak jadi baik. Biasanya dosen ini judesnya ampun-ampunan. “Nanti aja di kampus, Pak.” “Makan dulu, Nia,” paksa Ivana. “Sekalian makan sama-sama. Mumpung Laras juga di sini. Kita jarang makan sama-sama. Sayang Papa kamu lagi di Pemalang.” “Kasian Pak Girish nungguin lama, Ma.” Ry masih mencoba usaha terakhirnya. “Nanti bosen.” Namun, lagi-lagi jawaban Girish mematahkan usaha Ry. “Saya tidak masalah.” “Ras, sini!” Ivana melambai memanggil Laras saat si sulung meninggalkan kamar. “Ada dosennya, Nia.” Laras mendekat perlahan, kemudian tersenyum pada Girish. “Nak, ini Laras, kakaknya Nia. Tahun ini usianya 27. Laras ini kerja di sebuah penerbitan sebagai editor.” Ivana memperkenalkan Laras pada Girish dengan penuh rasa bangga. Laras dan Girish saling berjabat tangan, sementara Ry menarik kursi dan duduk dengan lesu di sebelah dosennya. “Sepertinya usia kalian tidak beda jauh, ya?” Ivana bertanya sambil mengamati Girish dan Laras. “Nak Girish tahun ini usia berapa?” Ry mendelik tidak percaya mendengar pertanyaan ibunya yang kurang sopan itu. Namun, Girish menjawab dengan santai. “Saya 29, Bu.” “Benar, kan! Hanya beda dua tahun dengan Laras.” Ivana berseru senang. Matanya terlihat sangat berbinar. “Nak Girish sudah punya kekasih?” “Ma ….” Kali ini Ry tidak tahan untuk tidak menegur ibunya. Namun, kembali Girish memberi jawab. “Belum, Bu.” “Wah, anak sekarang memang malas berkencan sepertinya! Laras juga sudah dua tahun lebih memilih sendiri.” Siapa pun yang memiliki otak waras pasti paham maksud ucapan Ivana. Wanita itu secara tidak langsung, tetapi terang-terangan, tengah mempromosikan putri sulungnya pada Girish. Alih-alih berharap Girish akan mendekati Ry yang notabene adalah mahasiswinya, Ivana malah berharap sang dosen akan tertarik pada si sulung ketimbang si bungsu. Meski Ry juga tidak ada pikiran untuk mendekati Girish, tetapi bukankah hal ini menyakitkan? Sejak dulu selalu seperti itulah yang Ry rasakan. Segala sesuatu yang ada di sekitar Ry atau yang gadis itu inginkan, pada akhirnya selalu diberikan untuk Laras. Mulai dari barang, orang, bahkan kegiatan. Sepatu, tas, pakaian, dan mainan yang Ry suka, selalu akan dibelikan untuk Laras. Ry akan mendapatkannya setelah barang-barang itu jadi bekas dan tidak muat lagi Laras gunakan. Berbagai kegiatan dan les yang ingin Ry ikuti, selalu Laras yang akhirnya didaftarkan. Nantinya, Laras diberi tugas untuk mengajarkan pada Ry apa yang didapatnya di luar. Bahkan untuk urusan kendaraan pun demikian. Hanya si Boncel saja yang bukan barang lungsuran dari Laras. Ry membelinya dengan usaha sendiri, oleh karena itu ia sangat menyayangi motor tuanya. Bagi Ry, makan pagi hari itu rasanya bagai neraka bagi. Ia ingin cepat-cepat selesai dan meninggalkan rumah sesegera mungkin. “Pak, maaf …,” gumam Ry penuh rasa bersalah saat mereka sudah berada di dalam mobil. “Maaf kenapa?” tanya Girish heran. “Omongan Mama saya melantur ke mana-mana.” Girish tersenyum samar. “Santai saja, Ivory. Saya tidak terganggu dengan semua pertanyaan mama kamu.” Girish jujur dengan perkataannya. Bagi seorang pria yang jarang bertemu keluarganya karena berada di lain kota, bisa menikmati waktu bersama seperti tadi sungguh mengobati rindu. Meski bukan keluarga sendiri, hangatnya tetap terasa dan membuat Girish terhibur. Ia rindu dicereweti ibunya, diambilkan makan, dipaksa menambah, ditanya segala macam hal, seperti yang tadi Ivana lakukan untuknya. “Syukur deh …,” ujar Ry lega. “Kamu kenapa duduknya tidak mau diam begitu?” Girish menyadari kalau sebentar-sebentar Ry akan menarik-narik baju dan celana yang dikenakannya. “Eh?” “Pakaian kamu tidak nyaman?” tanya Girish lagi. Sontak Ry menunduk dan mengamati pakaiannya. “Mm, ini ….” “Itu bukan pakaian kamu, kan?” Ry mengerjap heran. “Kok, Bapak tau?” “Terlihat jelas. Mungkin itu pakaian kakak kamu,” tebak Girish. “Iya, Pak.” “Kamu dipaksa pakai itu?” “...” Ry terdiam. Tidak bisa menjawab pertanyaan Girish barusan. “Kenapa tidak menolak kalau tidak suka?” tanya Girish heran. Ry menggeleng sendu. “Percuma.” “Hm?” “Gapapa, Pak.” Kembali Ry menggeleng dan langsung memasang wajah ceria. “Lupain aja.” “Ivory, kalau ada hal yang kamu tidak suka atau membuat kamu tidak nyaman, kamu harus katakan. Tidak ada salahnya menunjukkan perasaan kamu yang sebenarnya. Jangan terus memperlihatkan seolah kamu baik-baik saja atau bahagia-bahagia saja. Orang tidak akan tahu yang kamu rasa kalau tidak kamu ungkapkan. Dan orang akan terus memaksa kamu kalau kamu tidak pernah menolak.” Ry termangu mendengar ucapan Girish. Dosennya yang agak irit bicara itu ternyata bisa berceloteh panjang lebar juga. Hal yang lebih ajaib lagi, Ry tidak sangka Girish memperhatikannya. Meski Girish sering terkesan cuek, ia sebenarnya adalah tipe orang yang diam-diam suka mengamati tingkah laku orang lain. Girish juga cukup peka mengamati keadaan dan perasaan orang lain. Saat di rumah Ry tadi, ia sadar betapa tidak nyamannya gadis itu dan sedikit banyak Girish bisa memahami alasannya. “Pak, saya turun di sini aja,” ujar Ry saat mobil Girish mulai mendekati gerbang kampus. “Makasih udah kasih saya tebengan ya.” Girish sama sekali tidak berniat menepikan mobilnya. “Kenapa harus turun di sini?” “Gapapa, Pak. Pengin aja.” “Turun sama-sama saja nanti,” tolak Girish. Ry langsung meringis. “Bapak enggak takut ada yang liat?” “Kenapa harus takut?” balas Girish cuek. “Memangnya saya melakukan hal yang salah?” “Enggak, sih.” Kembali Ry meringis. “Cuma takut jadi omongan.” “Omongan gimana?” “Ng … itu ….” Ry kerap mendengar kasak-kusuk mahasiswi lain saat berada di kelas. Mereka sering membicarakan gadis-gadis yang dekat dengan dosen. Biasanya tentu yang cantik-cantik menawan. Ry sendiri sudah pernah mendengar selentingan tentang dirinya. Ia dikatakan tidak tahu diri, berani-beraninya mendekati dosen tampan padahal dekil dan buruk rupa. “Apa?” “Beberapa kali saya dengar ada omongan enggak enak soal Bapak.” “Tentang kedekatan saya dengan beberapa mahasiswi di sini?” balas Girish santai. “Eh, Bapak tau?” gumam Ry terkejut. “Saya tidak tuli, Ivory.” Girish menjawab sambil tersenyum sumbang. “Tapi saya memilih tidak peduli, karena itu tidak benar. Terserah saja orang mau bicara apa soal saya.” Ry melongo mendengar jawaban Girish. “Kamu juga, kalau dengar gosip tidak enak menyangkut kamu, tapi itu tidak benar, abaikan saja. Tidak perlu merasa terganggu.” “Iya, Pak.” Ry manggut-manggut perlahan. “Ingat, Ry. Hidup kamu itu milik kamu, kamu yang jalani. Jangan biarkan orang lain yang ambil kendali dan acak-acak sesuka mereka.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN