13. Lucu-lucu Menyebalkan

2268 Kata
“Ry, makan dulu sini!” Lio berteriak memanggil Ry agar berkumpul bersama anak-anak Iridescent yang lain di ruang istirahat studio mereka. “Bentar, Mas!” balas Ry yang tetap diam di tempatnya. Gadis itu tengah menyisihkan diri di ruang foto, jauh dari anak-anak lain. Mendengar anak yang biasanya paling semangat urusan makan tahu-tahu menolak, Lio jadi cemas. Segera saja ia mendatangi gadis itu. “Kamu lagi apa, Ry?” “Eh?” Ry yang tidak menyadari kedatangan Lio sontak terkejut. “Kenapa enggak santai dulu? Masih belum mulai, kok.” “Ry kayaknya akhir-akhir ini jarang pegang kamera jadi tangan rada kaku. Ini mau latihan aja.” Gadis itu menjawab sambil tetap fokus dengan kamera di tangannya. “Nanti aja, Ry. Ayo, makan dulu!” Lio menarik lengan baju Ry dan memaksanya ikut. “Sini, Ry!” Tita langsung menyambut kedatangan Ry. Tita langsung menepuk kursi kosong di sebelahnya, lalu memberikan kotak makanan pada Ry. “Nih, dimakan dulu!” Ry menerimanya tanpa semangat. “Makasih, Ta.” Sebagai sahabat yang baik, Tita langsung menyadari keanehan Ry. Dipegangnya kening gadis itu. “Ry, kamu oke?” “Hm?” Ry menoleh bingung. “Oke gimana maksudnya?” “Aku perhatiin kamu kayak agak beda dari biasanya,” ujar Tita khawatir. “Bedanya?” tanya Ry tidak mengerti. “Gimana jelasinnya, ya?” gumam Tita kebingungan. “Pokoknya beda aja, Ry.” “Ry gapapa kok, Ta.” Segera saja Ry memasang senyum selebar mungkin untuk menenangkan Tita. “Tita kan tau Ry selalu baik-baik aja.” Meski wajah Ry terlihat ceria, sorot matanya tidak demikian. Tita menyadari itu. “Kamu yakin?” “Yakin.” Ry mengangguk kencang-kencang sambil cengar-cengir. “Tapi beneran beda loh,” ujar Tita gusar. “Mungkin Ry kecapekan aja, Ta.” “Tugas kuliah, ya?” tebak Tita iba. Ry mengangguk membenarkan. Sekarang hari-harinya benar-benar penuh oleh Girish dan Alsaki. Kalau bukan ketemu langsung, mereka akan menghantuinya lewat ponsel. “Ry kayak dikejar-kejar tukang tagih utang, Ta. Enggak pernah tenang. Sebentar Pak Girish, sebentar Pak Saki. Dua-duanya kayak kompakan mau bikin Ry kena tipes kayaknya.” “Hush! Enggak boleh ngomong gitu, Ry,” tegur Tita kaget. “Mereka pasti tujuannya baik, mau bantu kamu cepet lulus.” “Iya Ry juga tau, tapi kan ngadepinnya siksaan banget, Ta,” keluh Ry senewen. “Permisi … apa Ry ada di sini?” Terdengar suara lelaki bertanya. Di tengah percakapannya dengan Tita, sayup-sayup Ry mendengar suara dari luar. “Tuh, Ta! Ry aja sekarang mulai sering berhalusinasi.” “Berhalusinasi gimana?” Tita menatap Ry cemas. “Ry tuh jadi suka tiba-tiba dengar suara mereka di mana aja kapan aja.” Tita mengerjap kaget. “Sekarang kamu dengar suara mereka?” “Iya, Ry denger suara Pak Saki.” Ry mengangguk cemas. “Sekarang Ry malah bisa cium bau parfumnya.” “Masa, sih?” Kalau benar ini terjadi, tingkat stres Ry berarti sudah parah dan Tita tentu cemas. “Hai, Ry!” Tiba-tiba saja suara tadi kembali terdengar. Bahkan sekarang ada penampakannya. “Sekarang Ry bahkan bisa liat orangnya,” desis Ry ngeri. Cepat-cepat ia memegangi lengan Tita. “Aduh! Kayaknya Ry udah kronis, Ta. Gimana, dong?” “Apanya yang kronis, Ry?” tanya Alsaki setengah bingung setengah geli setengah jengkel. “Bayangannya sekarang bisa nanya,” ujar Ry gemetaran. “Ta, apa Ry udah jadi gila?” “Ry, kamu enggak lagi halusinasi. Ini dosen kamu beneran ada di sini,” ujar Tita sambil bertatapan dengan Alsaki. “HAH?!” jerit Ry keras-keras. Segala benda yang ada dalam pangkuannya terlempar liar. “Awas!” Alsaki dengan sigap menyambar kotak makan yang hampir melayang. “Astaga, kamu! Bisa tumpah semua makanannya!” “Pak Saki?” Ry berdiri cepat, lalu memegangi lengan kemeja Alsaki. “Ini beneran Pak Saki?!” Alsaki menggeleng geli. Melihat ekspresi kocak Ry selalu membuatnya terhibur. “Kenapa kamu excited sekali lihat saya?” “Ry bukan excited tapi ketakutan, Pak,” gerutu Ry ingin menangis. “Kenapa Bapak ada di mana-mana?” “Karena kamu sering sekali menghilang setiap saya lengah sedikit saja,” sindir Alsaki. “Maksud Bapak?” “Saya yakin kamu lupa apa yang harus dilakukan hari ini …,” ujar Alsaki sambil memicingkan mata. “Memangnya apa yang harus dilakuin hari ini, Pak?” tanya Ry polos. Alsaki menggeleng sambil mengembuskan napas lelah. “Mengurus kamu rasanya saya jadi terlihat seperti bukan dosen tapi lebih mirip pengasuh, Ry. Kenapa bisa ada mahasiswi yang tidak tahu apa-apa sama sekali.” “Ry, kamu ada hutang tugas apa hari ini?” Tita yang sejak tadi ikut mendengarkan langsung bertanya khawatir. Refleks Ry menatap Alsaki, terlihat sekali ia minta pencerahan. Namun, Alsaki langsung menolaknya dengan kejam. “Coba ingat-ingat!” Ry mencobanya, tetapi kemudian menggeleng sedih. “Ry enggak bisa ingat.” “Di grup kelompok kamu tidak ada pembicaraan apa-apa?” tanya Alsaki jengkel. Ia harus berusaha menyabarkan diri setiap kali berhadapan dengan gadis satu ini. “Saya enggak pernah buka, Pak,” aku Ry apa adanya. “Pantas saja!” desis Alsaki geram. “Sana lihat!” Cepat-cepat Ry melakukan perintah Alsaki dan muncullah barisan pentol-pentol merah yang tidak terhitung banyaknya begitu aplikasi pesan terbuka. Tita yang duduk di sebelah Ry langsung melotot takjub. “Itu notif sampai ratusan begitu, Ry.” “Ry enggak pernah buka, Ta. Notifnya Ry block.” “Parah kamu!” sentak Alsaki. Ry hanya menengadah menatap Alsaki, kemudian meringis malu. “Sudah menemukan apa hutang kamu?” tanya Alsaki setelah menit-menit berlalu. “Pengumpulan gambar kerja?” balas Ry ragu-ragu. “Sudah kamu kerjakan?” tanya Alsaki galak. Ry menggeleng pasrah. “Saya kira mereka yang kerjakan.” “Masing-masing orang dapat bagian, Ry. Gimana caranya kamu serahin semua sama teman kelompok kamu?!” desis Alsaki jengkel. Kalau orang lain tahu usaha yang Alsaki lakukan untuk membantu Ry lulus, kemungkinan besar pria itu akan ditertawakan habis-habisan. Sosok easy going seperti Alsaki sama sekali tidak cocok untuk jadi penagih hutang seperti ini. “Maaf, Pak.” Ry kembali mengeluarkan jurus andalannya. “Sekarang cepat buat!” hardik Alsaki. Jurus Ry nyatanya terbukti ampuh. Di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, jurus maaf selalu berhasil meredam rentetan kekesalan orang. Andai Ry terus membantah dan menanggapi pasti urusan jadi panjang. “Ry ada kerjaan, Pak,” ujar Ry memelas. Alsaki menggeram jengkel. “Berapa lama lagi?” “Mulai juga belum, Pak.” “Lama?” Ry langsung menoleh ke samping. “Ta?” “Bisa sampai malam,” jawab Tita cepat. “Foto apa hari ini?” tanya Alsaki lagi. Kembali Ry menoleh pada Tita dengan tatapan meminta pertolongan. “Ta?” “Ry!” sentak Alsaki geregetan. “Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa dalam segala hal?!” “Cuma foto untuk pre sweet, Pak.” Lagi-lagi Tita yang menjawab. “Tapi kliennya kembar, jadi mungkin bakal lama.” “Biar saya saja yang kerjakan pekerjaan Ry,” putus Alsaki. Setelahnya ia menatap tajam pada Ry. “Dan kamu …, kerjakan tugas kamu!” “Pak … enggak boleh kalau saya tetap kerja aja?” tawar Ry. “Lalu tugas kamu?” tanya Alsaki ketus. Ry langsung meringis. “Bapak yang kerjain mungkin?” “Semprul kamu!” sembur Alsaki. “Ih, Bapak ngomong gitu lagi!” protes Ry kaget. “Ry, kamu keterlaluan, deh!” tegur Tita. “Tuh, teman kamu saja tahu kalau kamu keterlaluan!” ujar Alsaki dongkol. “Mana ada mahasiswa menyuruh dosennya mengerjakan tugas!” Ry menunduk, kemudian bergumam pelan. “Tapi mana ada juga dosen yang mengerjakan pekerjaan mahasiswinya?” Alsaki mendelik jengkel mendengar bisik halus gerutuan Ry. “Saya terpaksa Ry. Daripada kamu tidak lulus di kelas saya dan akhirnya menjatuhkan kredibilitas saya sebagai dosen.” “Ry, mau Tita bantu?” Tiba-tiba saja Tita menawarkan diri. Ry mengerjap bahagia. “Tita bisa bikin gambar kerja?” Tita langsung menggeleng polos. Jelas saja dia tidak bisa. Tahu pun rasanya tidak. Ry yang sudah penuh harap jadi tertunduk lesu. “Jadi bantu apa?” “Tita bantu reminder semua tugas Ry. Jadi Ry enggak akan keteteran lagi.” “Idenya bagus juga.” Alsaki segera mengangguk setuju. “Mungkin layak dicoba.” Namun, bukannya menerima usulan itu, Ry malah menggeleng sedih. “Ry enggak mau nyusahin Tita.” “Tapi kamu nyusahin saya,” balas Alsaki dongkol. “Aku enggak repot, kok.” Tita menggeleng cepat. Ia benar-benar iba melihat Ry terjepit seperti ini. “Sama aja kayak ngatur jadwal di Luminous.” Ry menggeleng tidak setuju. “Tetep aja repot. Bikin kerjaan Tita nambah.” Alsaki mendengkus sinis. “Kerjaan saya juga jadi bertambah gara-gara kamu.” “Bapak enggak ikhlas ya bantuin saya?” Wajah Ry tiba-tiba berubah sangat sedih. Ia sadar dirinya sudah menyusahkan banyak orang. Namun, ia sendiri nyaris putus asa menyelesaikan kuliahnya. “Menurut kamu saya harus ikhlas?” balas Alsaki kejam. “Ya, udah. Saya enggak usah lulus juga gapapa, Pak. Ulang aja semester depan.” Ry menjawab putus asa. “JANGAN!” seru Tita kencang. “ENGGAK BISA!” Alsaki juga berseru berbarengan dengan Tita. “Gimana pun caranya kamu harus lulus.” Ry meringis serba salah. “Bapak supportif banget.” “Ini demi kebaikan saya juga. Semakin lama bersama kamu, semakin bahaya buat kesehatan mental saya,” jawab Alsaki lelah. Baru pernah rasanya ia menghadapi mahasiswi yang sedemikian sulit dipacu. “Sekarang cepat kerjakan tugas kamu. Jangan berpikir untuk pulang sebelum selesai.” Alsaki sendiri langsung bersiap untuk menggantikan pekerjaan Ry. Kalau orang kampus tahu, ini pasti akan terlihat sangat konyol. Mungkin orang akan mengira Alsaki mulai tidak waras. “Kalau malam baru selesai gimana, Pak?” tanya Ry gusar. Ia teringat dengan kejadian ketika ditongkrongi mengerjakan tugas oleh Girish. Akankah hari ini ia akan bernasib sama juga? “Sampai subuh juga saya temani.” Dan jawaban Alsaki sudah cukup menjelaskan semua. Untuk hari ini, dunia Ry rasanya terbalik dan jungkir balik. Ia duduk diam berjam-jam memangku laptop di studio Iridescent sambil sesekali mengamati Alsaki yang menggantikan pekerjaannya memotret. Sungguh gila! Mereka terus berada di sana hingga larut malam. Sampai satu per satu orang pergi meninggalkan studio dan Ry belum kunjung selesai. Lio jelas sudah pulang sejak sore. Anak-anak Iridescent yang lain pun sudah menghilang. Hanya tinggal Tita yang tersisa selain Ry dan Alsaki. Ia bertahan di sana untuk menemani Ry tentunya. “Selesai?” tanya Alsaki ketika melihat Ry melamun. “Menurut Ry sih selesai, Pak. Enggak tau menurut Bapak.” Alsaki mengambil laptop di pangkuan Ry, lalu memeriksanya. Sebentar saja keningnya langsung berkerut-kerut. “Skalanya mana? Elevasi belum ada. Pintu-pintu belum ada bukaannya ke arah mana.” “Ry, masih lama?” tanya Tita tidak enak hati. “Sepertinya masih.” Alsaki yang langsung menjawab. “Gimana ya, Tita udah harus pulang,” ujar Tita serba salah. Malam sudah larut. Gin sudah menunggu di luar. “Pulang aja gapapa, Ta,” sahut Ry. “Nanti Ry gimana?” tanya Tita khawatir. “Gampang, Ta,” jawab Ry santai. “Kan Ry bawa si Boncel.” Tita mengembuskan napas berat. “Tapi ini udah malam, Ry.” “Nanti Ry saya antar,” ujar Alsaki. “Enggak usah, Pak!” tolak Ry kaget. “Enggak usah cerewet kamu,” omel Alsaki sambil mengangsurkan kembali laptop gadis itu. “Beresin aja ini!” “Tita tinggal gapapa?” ujar Tita gelisah. “Sudah pulang saja, Ta.” Lagi-lagi Alsaki ikut bicara. “Kamu ada yang antar, kan?” Tita mengangguk cepat. “Tita dijemput kok, Pak.” “Hati-hati.” Alsaki melambai pada Tita. “Perhatian amat, Pak,” goda Ry setelah Tita meninggalkan mereka. “Salah?” balas Alsaki dengan nada menantang. Ry mengangkat bahunya santai. “Sekadar informasi. Tita lagi banyak yang kerubutin, Pak.” “Maksud kamu?” tanya Alsaki curiga. “Bapak terpesona sama daya tarik Tita yang mutlak, kan?” Ry bertanya sambil mengedip-ngedipkan matanya. “Tita emang gitu sejak lama, Pak. Selalu berhasil bikin laki-laki klepek-klepek.” “Ry, fokus saja sama kerjaan kamu!” omel Alsaki jengkel. “Malah bahas yang enggak-enggak.” Ry kembali memaksa otaknya yang pas-pasan untuk berkonsentrasi, sementara Alsaki di sebelahnya mulai terkantuk-kantuk. Sekitar satu jam kemudian, desahan lega akhirnya terdengar. “Pak, selesai!” “Bagus. Ayo, pulang!” sambut Alsaki sama leganya. Ia juga sudah penat dan ingin segera pulang. Sudah lama dirinya tidak melakukan pekerjaan fotografi padahal dulu itu hobinya. “Bapak beneran mau anter Ry?” tanya Ry ragu saat mereka sudah berada di luar bangunan. “Cepat masuk!” Alsaki mengedik ke arah mobilnya. Begitu duduk di dalam mobil, Ry seolah melayang. Perpaduan antara kursi yang empuk, angin yang sejuk, dan musik yang menenangkan membuat Ry terbuai. “Pak, Ry ngantuk banget,” bisik gadis itu lirih. “Kalo Ry ketiduran tolong jangan buang Ry di pinggir jalan ya.” “Kalau saya lempar gimana?” balas Alsaki iseng. Namun, tidak ada balasan. Segera Alsaki menoleh ke sampin dan mendapati Ry sudah terpejam. Napasnya pun terdengar teratur. “Ry?” panggil Alsaki sambil menggoyangkan tangan di depan wajah gadis itu. Tetap tidak ada reaksi. Seketika Alsaki terkekeh. “Udah tidur aja ini anak.” Melihat wajah polos Ry yang kelelahan membuat semua kejengkelan Alsaki pada gadis itu sejak siang menguap perlahan. Sejujurnya, Alsaki tidak benar-benar kesal pada Ry. Lebih pada rasa gemas dan tidak percaya ada makhluk seajaib gadis itu. “Kamu itu kacau banget, Ry. Tapi anehnya saya enggak bisa marah sama kamu,” gumam Alsaki pelan. “Kamu itu lucu-lucu nyebelin. Bikin saya betah dekat kamu biar pun rasanya pengin sambil jitak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN