14. Mirip Hamster Pelupa

2733 Kata
“Rish ….” Alsaki berbisik memanggil Girish yang duduk tepat di hadapannya. Saat ini keduanya kebetulan sedang berada di perpustakaan fakultas, mencari referensi untuk bahan seminar bersama yang akan mereka bawakan bulan depan.” “Oi?” sahut Girish tanpa mengangkat kepala dari buku tebal yang sedang dibacanya. “Coba liat sana!” Alsaki mengedik ke arah meja di sudut jendela yang hampir tertutup deretan rak buku. Girish baru mengangkat wajah. “Mana?” “Belakang lo!” Girish menoleh ke belakang dan mencari sesuatu yang Alsaki maksud, tetapi ia tidak melihat apa-apa. “Ada apa?” “Yang duduk di pojokan itu anak favorit kita bukan?” tanya Alsaki memastikan. Girish memicingkan mata untuk mengamati sosok gadis yang hanya terlihat punggungnya saja. “Ivory maksud lo?” “Yoi!” Alsaki mengangguk geli. “Bener dia bukan, sih?” “Kayaknya iya.” “Tumben banget dia muncul di perpustakaan,” gumam Alsaki heran. “Mulai bertobat mungkin,” sahut Girish asal. Ia kembali sibuk menekuni bacaannya. “Gue penasaran.” Wajah Alsaki seketika berubah jail seiring ia beranjak dari kursi. “Mau ke mana lo?” tanya Girish curiga. “Samperin dia,” balas Alsaki santai. “Mau ngapain?” “Mau memastikan aja dia lagi ngapain. Mau ikut?” Girish langsung menggeleng malas. “Makasih. Lo aja.” Alsaki meninggalkan mejanya dan melangkah menghampiri Ry. Ia memutari tempat duduk gadis itu, lalu mengambil tempat di depannya. Alsaki tersenyum beli melihat Ry sama sekali tidak menyadari kedatangannya. Mungkin gadis itu terlalu fokus dengan hal yang tengah dilakukan. Matanya terlihat terus terarah pada layar laptop, kedua tangannya terlihat kaku di atas meja, sementara telinganya dipasangi headphone. Alsaki duduk santai di depan Ry, kemudian melambai dekat-dekat wajah gadis itu. “Hai!” “Bapak?!” Sontak Ry melotot kaget. Cepat-cepat dilepasnya headphone dari telinga. “Serius benar kamu,” ejek Alsaki. “Bapak kok di sini?” tanya Ry yang terlihat salah tingkah. Alih-alih menjawab kebingungan Ry, Alsaki malah balas bertanya. “Sedang apa kamu di sini?” Ditanya hal yang sedang dilakukan, Ry langsung senewen. Namun, Ry segera menjawab meski jawabannya terdengar tidak yakin. “Beresin tugas, Pak.” Alsaki langsung bersiul kagum. “Tumben rajin sekali. Benar kata Girish, kamu mulai bertobat akhirnya.” Ry langsung meringis salah tingkah. “Makasih pujiannya, Pak.” “Kamu lagi buat apa? Coba saya lihat!” Alsaki berniat bangkit dan pindah ke sebelah Ry. “Jangan, Pak!” Segera saja Ry melarang dengan panik. Kalau bisa Ry mau menutup saja laptopnya, tetapi sayang tidak bisa. Video yang sedang ia edit bisa langsung raib kalau Ry mematikan paksa laptopnya. “Kenapa?” “Malu,” ujar Ry dengan kepala tertunduk. “Kenapa harus malu?” tanya Alsaki heran sambil mendarat cantik di sebelah Ry. Cepat-cepat Ry menarik laptopnya menjauh dari Alsaki. “Malu aja, Pak.” “Sini, kasih lihat saya!” ujar Alsaki memaksa. Diambilnya laptop Ry meski gadis itu terus berusaha menjauhkannya. Begitu berhasil mendapatkan laptop Ry dan melihat apa yang sedang gadis itu kerjakan, Alsaki langsung berdecak jengkel. “Astaga, benar-benar anak ini!” “Ng ….” Ry hanya bisa tertunduk dalam tanpa berani membalas tatapan jengkel Alsaki. Sebenarnya ia bukan sedang mengerjakan tugas, melainkan pekerjaan dari Iridescent. Ia sedang membantu Lio mengedit salah satu video prewedding yang harus diserahkan hari ini. Seharusnya itu bukan pekerjaan Ry, tetapi karena ada masalah dengan salah satu komputer di Iridescent, jadilah gadis itu menawarkan bantuan khusus untuk hari ini saja. “Kirain udah bertobat, nyatanya sama aja,” gerutu Alsaki gemas. Cepat-cepat ia melambai ke arah Girish saat kebetulan temannya itu menatap ke arahnya. “Rish, sini!” “Kenapa?” balas Girish malas. “Sini sebentar!” Meski malas, Girish datang juga. “Ada apa?” “Coba lihat baik-baik apa yang sedang dilakukan oleh mahasiswi kesayangan kita!” ujar Alsaki geregetan. Girish langsung membungkuk dan mengamati layar laptop Ry. Seketika keningnya berkerut. “Video?” Alsaki mengangguk membenarkan. “Dikira lagi bikin tugas, taunya ngedit video buat kerjaannya.” “Wow, teladan sekali!” sindir Girish pedas. “Emangnya salah, ya?” tanya Ry salah tingkah. “Andai pekerjaan kamu sudah selesai semua, jelas tidak salah,” ujar Girish ketus. “Masalahnya tugas kamu nunggak terus.” Alsaki mengangguk setuju. “Sampai saya harus ikutan sibuk kejar-kejar kamu terus.” “Saya juga.” Girish menimpali. “Maaf, deh.” Ry bergumam pelan dengan wajah serba salah. “Kenapa kamu mengerjakan pekerjaan kamu di sini?” tanya Girish heran. “Soalnya saya dimintain tolong dadakan, Pak. Harusnya ini bukan kerjaan saya. Terus ini harus cepet diberesin karena deadline-nya sore. Kalo pulang dulu enggak akan keburu,” jawab Ry terus terang. “Bisa selesai sore ini?” tanya Alsaki. “Bisa, Pak.” Ry mengangguk yakin. “Masih banyak?” tanya Alsaki lagi. “Lumayan, sih. Tapi pasti selesai.” “Yakin sekali,” sindir Alsaki. “Ini cepet, kok. Bener, deh.” Bagi Ry, mengedit foto dan video memang merupakan pekerjaan mudah. Ia sama sekali tidak pernah menemukan kesulitan berarti. Lain halnya kalau Ry diminta mengedit denah interior dan turunnya. Berjam-jam termangu tanpa kemajuan pun sering ia alami. “Andai kamu segesit ini kalau urusan mengerjakan tugas juga,” ujar Girish sinis. “Emang Ry enggak gesit, Pak?” tanya Ry polos. “Proposal kamu mana?” tanya Girish tajam menusuk. “Sudah sejauh apa?” Ry mengerjap bingung. “Proposal yang mana lagi?” “Proposal untuk TA,” sahut Girish ketus. “Bukannya udah ya, Pak?” balas gadis itu super polos. “Yang mana yang sudah?” balas Girish mulai jengkel. “Yang waktu itu Pak Saki ikut bantuin juga.” Sontak saja Alsaki tergelak kencang. “Itu sih judul doang, Ry! Yang Girish minta proposalnya.” Girish mengangguk mendukung ucapan Alsaki. “Tiga bab pertama.” Wajah Ry langsung berubah bodoh. “Oh, itu juga harus, Pak?” “Ya, iyalah, Ry!” desis Girish naik pitam. Ry meneguk liurnya susah payah, sementara wajahnya berubah pucat. “Kapan harus dikumpul, Pak?” Girish memelototi Ry seolah ingin menyedotnya ke perut, lalu menjawab ketus. “Tiga hari lagi.” “MATI LO!” Refleks Ry berseru. “Hei!” tegur Alsaki antara kaget dan geli. “Maaf, maaf, Pak!” Ry meringis malu. “Keceplosan saking syok.” “Kamu sudah buat sejauh mana?” tanya Girish tidak peduli. Melihat Ry hanya terdiam tanpa berani menjawab, Alsaki langsung menebak curiga. “Feeling gue bilang dia belum bikin sedikit juga.” Girish menatap tajam pada Ry. “Benar begitu, Ivory?” “Iya, sih.” Ry manggut-manggut kiku. “Bagus …!” desis Girish dengan perasaan campur aduk antara keki, jengkel, kesal, dan ingin murka. “Kalau begitu siap-siap saja selama tiga hari ini kamu akan terus melihat saya.” “Kalau perlu lo bawa pulang aja, Rish!” ujar Alsaki mengompori. “Jangan!” tolak Ry panik. “Tenang saja, saya tidak berminat bawa kamu pulang.” Girish mendengkus sinis. “Makan kamu banyak, saya bisa kewalahan mengurus kamu.” Alsaki terkekeh geli mendengar ucapannya temannya. “Ry, tiba-tiba saya jadi ingat sesuatu.” “Apa, Pak?” Ry langsung waspada melihat tatapan jail di mata Alsaki. “Kamu juga ada hutang sama saya,” ujar Alsaki dengan mata berkilat jenaka. Berbeda dengan Girish yang selalu serius, Alsaki lebih sering menanggapi segala sesuatu dengan santai, meski ia juga bisa kesal kalau sudah berurusan dengan Ry yang bebal. “Tugas?” tanya Ry ngeri. “Iya, dong!” Alsaki mengangguk senang. “Tugas yang mana lagi, Pak?” Ry terlihat sudah ingin menangis. “Gambar kerja.” “Kan udah, Pak!” protes Ry cepat. “Yang mana?” tantang Alsaki. “Yang minggu lalu.” Alsaki menggeleng tidak percaya melihat betapa tidak perhatiannya Ry pada tugas-tugas sendiri. “Itu kan baru denah, Ry. Tampak sama potongan belum.” “Duh! Apa lagi sih, itu?!” keluh Ry merana. Girish dan Alsaki hanya saling pandang dengan tatapan penuh arti. “Harus dikumpul kapan, Pak?” tanya Ry senewen. “Lusa.” “Proposal tiga hari lagi, denah dua hari lagi. Ry beneran mau mati aja deh kalo begini,” ujar gadis itu frustasi. “Mau dibantuin?” tanya Alsaki tiba-tiba. “Bantuin apa, Pak?” tanya Ry waspada. Alsaki menunjuk laptop Ry. “Edit video.” “Ini?” Ry mendelik kaget. “Hm.” “Enggak usah, Pak!” Ry menggeleng kencang. “Kok, nolak?” tanya Alsaki heran. “Kan ini kerjaan saya, Pak,” ujar Ry tidak enak hati. “Kan saya juga sudah pernah bantu kamu,” sahut Alsaki santai. “Lupa?” Ry langsung teringat bantuan Alsaki untuknya saat di Iridescent pekan lalu. “Iya juga, sih.” “Sini, kasih datanya sama saya.” Alsaki mengulurkan tangan santai. “Biar saya kerjakan video kamu, tapi kamu buat gambar kerja sekarang juga.” “Saya juga bersedia bantu,” imbuh Girish di luar dugaan. “Dengan syarat dia buat proposal?” tebak Alsaki geli. “Betul!” Girish mengangguk santai. “Bapak …?” keluh Ry dengan mata berkaca-kaca. Belum apa-apa kepalanya sudah pusing dan ia langsung dilanda mual juga mulas. “Mana bisa saya kerjakan dua-duanya?” “Harus bisa,” paksa Girish kejam. “Deadline-nya sama-sama mepet.” “Tapi kan banyak banget,” protes Ry. “Gampang, kok,” celetuk Alsaki. “Hari ini kamu buat proposal bab 1 sama buat potongan. Besok kamu buat bab 2 sama tampak. Tugas ke saya selesai. Lusa kamu tinggal bereskan bab 3. Mudah, kan?” “Terus kapan saya istrahatnya kalo gitu, Pak?” tanya Ry memelas. Mendengar pertanyaan Ry, kedua pria itu langsung menjawab bersamaan. “Kamu sudah terlalu banyak istirahat selama ini,” ujar Girish datar. “Bukannya selama ini kamu istirahat?” tanya Alsaki geli. Akhirnya, Ry hanya bisa pasrah. Terpaksa ia mengerjakan seperti yang disuruhkan. Duduk ditongkrongi oleh dua dosen tampan macam ini mungkin buat orang lain adalah sebuah kebanggaan, tetapi bagi Ry ini siksaan. Bergerak sedikit dipelototi. Bengong sedikit dimarahi. Bernapas saja rasanya sampai sulit. “Kenapa muka kamu pucat begitu?” tanya Alsaki saat menyadari betapa lesunya wajah Ry. “Hm?” gumam Ry tanpa semangat. Girish ikut melihat dan menyadari wajah Ry memang terlihat tidak sehat. “Sakit kamu?” “Kepala saya pusing, Pak. Badan juga gemetaran,” keluh Ry tidak berdaya. “Kenapa tiba-tiba begini?” tanya Alsaki heran. “Kamu sudah makan?” Sebenarnya ini bukan pertanyaan yang perlu Girish ajukan. Sudah sejak siang mereka di tempat ini dan sekarang langit di luar sudah gelap. Sudah jelas Ry pasti belum makan. “Eh?” Namun, Ry yang sudah linglung bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan semudah itu. “Ayo, pindah tempat!” Alsaki segera paham maksud Girish. Gadis dengan kantung penyimpanan ekstra besar itu pasti sudah kelaparan. Ry menuruti saja ajakan Alsaki tanpa bertanya sama sekali. “Kamu kuat jalan?” Girish bertanya setelah melihat langkah Ry yang terseok-seok. “Kalo saya enggak kuat jalan emang gimana, Pak?” tanya Ry lesu. “Saya carikan kursi roda buat kamu,” jawab Girish datar. “Ah, enggak mau!” tolak Ry kaget. “Saya jalan aja, Pak.” “Yakin kuat? Awas kalau jatuh, saya tinggal kamu,” ancam Girish kejam. Ketiganya melangkah beriringan meninggalkan gedung fakultas, lalu pergi bersama dengan mobil Girish karena hari ini Alsaki sedang menebeng. Tiba di tempat makan tujuan, Ry memilih duduk saja karena ia sudah lemas bukan kepalang. Berdiri sedikit saja sudah mau tumbang rasanya. “Diminum dulu.” Girish kembali setelah cukup lama memesan makanan bersama Alsaki. “Yah …, kirain mau dikasih makan. Ternyata cuma teh manis,” gumam Ry lesu. “Kadar gula kamu sedang turun drastis,” jawab Girish tenang. “Dikasih makan juga percuma, kamu akan terus kelaparan. Lebih baik minum yang manis dulu untuk membantu menaikkan kadar gula kamu, baru setelah itu makan.” “Kamu sepertinya benar-benar kerja keras, ya. Sampai semaput begini,” goda Alsaki jail. Kalau biasanya Ry langsung menjawab, sekarang dia diam saja. “Kenapa diam aja?” goda Alsaki lagi. “Biasa kamu cerewet.” “Enggak ada tenaga, Pak.” Akhirnya Ry menjawab meski suaranya terdengar lemah. “Nanti setelah makan juga cerewet lagi,” celetuk Girish. “Itu datang!” Ry langsung berseru kegirangan saat pelayan datang membawakan pesanan ke meja mereka. “Silakan di makan,” ujar Alsaki setelah semua hidangan pindah ke meja mereka. “Bapak makan apa?” Ry kebingungan melihat banyakan makanan di meja. “Ini.” Alsaki menjawab sambil menunjuk sepiring nasi goreng yang sudah ia pegang. Ry menoleh ke arah Girish. “Bapak?” “Ini.” Girish mengetuk semangkuk soto ayam yang masih mengepulkan asap. “Lainnya?” tanya Ry kebingungan. Masih ada sepiring mi goreng, semangkuk sop iga, sepuluh tusuk sate ayam, dan sepiring penuh nasi putih. “Buat kamu!” jawab Alsaki dan Girish kompak. “Banyak banget, Pak.” “Saya yakin kamu sanggup melahap semua yang tersaji di sini,” ujar Girish datar. “Ayo, makan!” desak Alsaki. Ry segera melahap hidangan untuknya dengan penuh nikmat. Setelah kira-kira setengah jalan, tenaganya mulai kembali dan ia bisa kembali bicara. “Habis makan saya boleh pulang, Pak?” “Tentu belum.” Alsaki menggeleng tegas. Semangat Ry yang tadi sudah sempat berkobar, kini langsung menciut. “Masih harus lanjutin lagi?” “Potongan udah beres?” sindir Alsaki. “Sedikit lagi.” “Bab satu?” Gantian Girish yang menyindir. “Baru dua paragraf.” “Sudah tahu jawabannya, kan?” ujar Alsaki geli. “Pak, Bapak-bapak sekalian enggak bosan kejar-kejar saya terus?” tanya Ry frustasi. Entah bagaimana caranya, kedua dosen itu kembali menjawab kompak. “Kami bosan lihat kamu enggak lulus-lulus.” Usai makan, mereka berencana mencari kedai kopi yang nyaman agar Ry bisa kembali melanjutkan pekerjaannya. “Rish, kenapa ke sini? Lo lupa parkir di mana?” tegur Alsaki saat Girish berjalan berlawanan arah dengan tempat mobil diparkir. “Ternyata Bapak mahasempurna bisa salah juga,” ujar Ry geli. “Saya bukan mau ke mobil,” jawab Girish datar. “Mau ke mana lo?” tanya Alsaki heran. “Seberang.” Alsaki mengikuti arah pandang Girish dan melihat sebuah minimarket di seberang mereka. “Jajan?” “Hm.” “Sejak kapan lo doyan jajan?” tanya Alsaki heran. “Gue enggak doyan.” “Terus?” Girish menjawab santai. “Buat anak yang masih dalam masa pertumbuhan.” “Bapak punya anak?!” Ry yang tadinya berjalan di belakang langsung mengejar dan menyejajari langkah Girish. Sontak Girish melotot mendengar pertanyaan Ry, sementara Alsaki tergelak kencang. “Maksud Girish itu buat kamu, Ry!” “Bapak mau jajanin saya?” tanya Ry dengan mata berbinar. “Hm.” Girish mengangguk kecil sambil berjalan memasuki minimarket. “Demi apa?!” “Demi kamu cepat lulus,” jawab Girish ketus, lalu mengangsurkan troli ke tangan Ry. “Pegang ini.” Ketiganya berjalan menyusuri lorong-lorong minimarket. Ry di belakang, sementara kedua dosennya di depan. Setiap beberapa langkah Girish akan berhenti melangkah dan menjejalkan sesuatu ke dalam troli. “Gue ikutan nyumbang juga, deh!” Alsaki mulai meniru kelakuan Girish. Dalam sekejap troli itu sudah penuh. “Pak, ini banyak banget.” Ry terlihat malu saat akhirnya meninggalkan minimarket dengan tiga kantung besar, masing-masing memegang satu. “Yakin banyak?” sindir Alsaki. “Saya yakin segini juga cepat habis,” gumam Girish. “Enggaklah, Pak!” bantah Ry tidak terima. “Emang saya makan sebanyak apa?” “Kamu enggak sadar kalau kamu seperti hamster?” tanya Girish gemas. “Hah?” Ry melongo disamakan dengan hamster. “Kamu sering lupa kalau sudah makan sampai kenyang. Sebentar saja sudah lapar lagi,” imbuh Alsaki. Meski demikian, Ry sama sekali tidak tersinggung. “Bapak-bapak sekalian, makasih ya. Kalian baik banget sama Ry. Mulutnya emang suka sadis sih, tapi Ry tau kalian baik banget. Perhatian banget sama Ry.” “Hei, kenapa nangis?” tanya Alsaki panik melihat Ry menangis di sisi mobil Girish. Ia takut mereka dikira macam-macam dengan gadis itu. “Terharu aja.” Ry menjawab sambil menyusut hidungnya. “Enggak pernah Ry diperhatiin sampai segininya. Begini kali ya rasanya punya kakak laki-laki.” “Haduh, punya adik kayak kamu saya bisa semaput, Ry!” Alsaki bergidik ngeri. Lain dengan jawaban Alsaki, Girish malah memberi tanggapan berbeda. “Kamu bisa anggap saya kakak kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN