15. Sempurna Belum Tentu Bahagia

2211 Kata
“Nia!" Ivana mengetuk pintu paviliun Ry untuk membangunkan putri bungsunya itu. "Kirania!" Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada respon, Ivana mengetuk dengan lebih keras. "Ivory Kirania!" Masih juga tidak ada jawaban. Kembali Ivana mencoba, tetapi dengan nama berbeda. "Ry!" "Ya?" balas Ry dari dalam. Suaranya terdengar serak, khas orang yang baru bangun bahkan cenderung belum sadar sepenuhnya. "Benar-benar anak itu. Harus dipanggil 'Ry' dulu baru dengar," gerutu Ivana sebal. Kembali digedornya pintu Ry. "Bangun, Nia!" "Ada apa, Ma?” balas Ry malas. “Hari ini Ry enggak ada kuliah, kok!" Ry benar-benar masih belum rela berpisah dengan tempat tidur dan bantalnya yang nyaman meski agak berbau. Apalagi ini akhir pekan, satu-satunya hari Ry bisa bangun siang tanpa gangguan. "Kamu mungkin tidak ada kuliah, tapi dosen kamu ada di sini!” balas Ivana galak. "HAH?!" Mendengar kata ‘dosen’ disebut, alarm siaga Ry langsung menyala. Ia segera melonjak bangun dan berlari menuju pintu. Ketika tangannya hampir mencapai pintu, Ry segera sadar penampilannya yang mengerikan. "Cepat keluar!" Ivana terus saja menggedor pintu Ry tanpa ampun. Ry berhasil mengikat rambutnya dalam waktu sekejap sebelum membuka pintu. Di depan paviliunnya, berdirilah Nyonya Abimanyu yang terhormat bersama Girish. Ry langsung meringis salah tingkah. "Bapak? Ngapain ke sini, Pak?" "Nia, bertanya yang sopan," tegur Ivana. Segera saja Ry memasang senyum termanisnya, tetapi dalam versi tanpa unjuk gigi. Ia sadar dirinya belum gosok gigi. Kemudian, Ry kembali bertanya dengan tutur bahasa sopan yang terdengar dilebih-lebihkan. "Pak Girish yang baik hati, ada apa pagi-pagi berkunjung ke rumah saya?" "Saya mau lihat perkembangan proposal kamu.” Girish menjawab tanpa basa-basi. “Aduh!” Seketika Ry jadi lemas. "Nak Girish buru-buru?” sela Ivana. “Tidak, Bu.” “Kalau begitu biar Nia mandi dulu,” ujar Ivana. “Nak Girish sarapan dulu saja. Kebetulan Laras sedang sarapan juga.” Mendengar ucapan ibunya, mata Ry berkilat kecewa, tetapi gadis itu diam saja. Girish tersenyum sopan, tetapi menolak tawaran Ivana. “Saya tunggu Ivory saja, Bu.” “Ih, Nia kalau mandi suka lama!” keluh Ivana. “Biar saja Nak Girish makan dulu.” Girish tidak bodoh. Ia bisa membaca situasi dan maksud terselubung dari ajakan Ivana. Segera saja otaknya mencari akal. “Saya rencananya mau ajak Ivory jalan pagi sekalian cari sarapan di luar, Bu.” “Ya, sudah.” Ivana mengangguk kecewa. Setelahnya, ia berpaling pada Ry dan berujar galak. “Kamu dandan yang benar, jangan asal!” “Pakai baju santai saja tidak apa dan tidak perlu mandi dulu. Saya hanya ingin ajak Ivory jalan pagi, lalu cari sarapan dekat-dekat sini.” Entah mengapa Girish peduli dan berusaha membela Ry. Hanya saja rasanya ia tidak tega melihat Ry disisihkan di rumahnya sendiri. Di kampus gadis itu disisihkan dan dianggap remeh, ternyata di rumah pun demikian. “Kamu mau?” “Eh … ng ….” Ry bergumam bingung. “Jawab, Nia!” desak Ivana tidak sabar. “Iya, Pak.” Akhirnya Ry mengangguk. “Saya siap-siap dulu.” “Jangan lama-lama!” Ivana mewanti-wanti. “Santai saja.” Lagi-lagi Girish membela Ry. Ry bersiap secepat yang ia mampu. Bukan untuk menyenangkan ibunya, melainkan karena tidak enak membiarkan dosennya menunggu lama. Ry hanya menyikat gigi, mencuci muka dan ketiak, kemudian berganti pakaian. Tidak ada embel-embel repot berdandan cantik. “Bapak kenapa tiba-tiba ajak saya jalan pagi?” tanya Ry saat mereka berjalan bersisian menyusuri jalan-jalan di daerah rumah Ry. “Awalnya saya hanya niat memastikan kamu menyelesaikan proposal sampai bab tiga, tapi setelah lihat wajah kamu, mendadak berubah pikiran,” jawab Girish jujur. Refleks Ry memegang wajahnya. “Memangnya muka saya kenapa, Pak?” “Muka kamu seperti tertekan dan kelelahan.” Girish tidak menambahkan bagian tentang wajah Ry yang terlihat sedih karena merasa tersisih. “Saya paksa bereskan proposal dari sekarang juga percuma. Lebih baik kita cari penyegaran dulu.” Ry termangu. Tidak disangkanya Girish bisa baik dan perhatian juga padahal bicaranya nyaris selalu ketus. “Kamu mau jalan atau lari?” “Bebas, Pak.” “Jalan saja supaya tidak capek, ya,” usul Girish. “Takutnya kalau terlalu capek kamu malah mengantuk.” “Oke, Pak!” Cukup lama Girish mengajak Ry berputar-putar. Setelah merasa cukup, Girish memutuskan mengajak Ry makan. Meski sebenarnya ia belum lapar, Girish ingat alasan yang ia berikan pada Ivana tadi agar bisa menghindar dari desakan untuk sarapan bersama Laras. “Kamu mau sarapan apa?” “Bingung, Pak.” Ry menggeleng pasrah. “Ry biasanya enggak pernah pilih-pilih sarapan. Makan aja apa yang disediain di rumah. Lagian kalo ketauan jajan juga Mama bisa ngoceh panjang.” Meski Ry terlihat bagai sosok bebas yang suka seenaknya, sesungguhnya hidup gadis ini sangat teratur dan serba terikat. Ibunya jarang memberi Ry ruang gerak untuk melakukan segala sesuatu yang disukai. “Hari ini kan saya yang traktir.” “Iya, sih.” Ry manggut-manggut malu. Entah sudah berapa kali dirinya ditraktir terus oleh Girish juga Alsaki. Rasanya bagi kedua dosen itu, memberi Ry makan sudah seperti menyumbang pada korban bencana saja. “Jadi mau apa?” Ry celingukan melihat ke arah lapangan bola dekat rumahnya. “Bubur, mungkin?” “Kamu kenyang hanya makan bubur?” tanya Girish sangsi. Ry langsung meringis sambil menunjuk deretan gerobak penjual makanan di sekitar lapangan. “Bisa tambah nasi uduk, sih. Ketoprak juga ada.” Tanpa sadar Girish tersenyum tipis. “Kamu ini memang makannya selalu banyak.” Usai menikmati sarapan super banyak, Ry membawa Girish kembali ke rumah dan langsung menuju paviliunnya. “Masuk, Pak!” Girish berdiri sungkan di depan pintu paviliun Ry. “Memangnya tidak masalah saya masuk ke sini?” “Santai, Pak. Ini markas saya,” sahut Ry jumawa. “Biasa juga teman-teman saya suka ke sini, malah kadang nginep.” “Teman laki-laki?” “Enggaklah, Pak!” bantah Ry kaget. “Bisa dibom sama Mama kalo Ry berani bawa cowok nginep di sini.” “Tapi kan saya laki-laki.” “Bapak kan dosennya Ry, bukan temen. Lagian kan Bapak enggak bakal nginep.” “Jadi aman?” tanya Girish memastikan. “Tenang ….” Ry manggut-manggut santai. “Kalau gitu buka proposal kamu, saya mau periksa. Sambil saya periksa, kamu silakan mandi dulu.” “Siap, Pak!” sambut Ry patuh. Benar seperti ucapan Girish, setelah diajak berjalan pagi dan menikmati sarapan lezat, otak Ry rasanya memang jadi segar dan ia siap menyelesaikan proposalnya yang jatuh tempo hari ini. “Ternyata kamu bisa mengerjakannya dengan baik, Ivory.” Girish memberikan pujian dengan nada puas setelah memeriksa hasil pekerjaan Ry. Ry yang baru keluar dari kamar mandi langsung mengerjap kesenangan. “Yang bener, Pak?” Selama empat bulan lebih mengenal Girish secara intens, baru kali ini Ry mendengar sang dosen memberinya pujian. “Hm.” Girish mengangguk sambil tersenyum samar. Wajah bahagia Ry membuatnya ingin tertawa. Hanya dipuji seperti itu saja Ry sudah kesenangan. Betapa sederhananya pemikiran gadis ini. “Memang masih jauh dari sempurna, tapi ini sudah sangat baik. Hanya tinggal kamu lanjutkan saja.” “Kalo gitu sini Ry beresin!” seru Ry bersemangat. “Hari ini harus selesai, ya!” Girish memperingatkan tegas. “Oke! Siapa takut?” sahut Ry tenang. Di sela-sela Ry menyelesaikan proposalnya, sang ibu muncul dengan nampan di tangan. Tanpa permisi Ivana langsung masuk dan menghampiri Girish, duduk tepat di sebelah pria itu. “Nak Girish, lagi apa?” sapa Ivana. “Saya sedang menemani Ivory menyelesaikan proposalnya, Bu.” “Ini diminum dulu, ada camilan juga.” Ivana mendekatkan nampan berisi teh manis hangat dan penganan kecil buatannya. “Terima kasih, Bu.” Girish mengangguk sopan. “Nak Girish baik sekali,” puji Ivana kagum. “Padahal tidak usah ditemani, Nia kan sudah besar. Tante jadi tidak enak.” “Tidak apa, Bu. Sudah tugas saya memastikan semua mahasiswa saya menyelesaikan tugasnya dengan baik.” “Nak, panggil tante saja, jangan ibu,” pinta Ivana. “Baik, Tante.” “Duh, Nak Girish itu sempurna sekali, ya! Sudah tampan, cerdas, baik, penuh perhatian juga.” Tiba-tiba Ivana kembali memberikan pujian dengan tatapan penuh kekaguman. Namun, ucapannya selanjutnya menyiratkan sinyal bahaya. “Herannya kenapa masih memilih sendiri saja, Nak?” “Saya hanya masih ingin sendiri saja, Tante,” jawab Girish tenang. Sama sekali tidak menunjukkan tanda terganggu oleh ucapan Ivana yang menyerempet bahaya itu. “Tapi kalau teman punya, dong?” Ivana berusaha menggali informasi lebih dalam tentang Girish dari sumbernya langsung, karena mengharapkan Ry yang mencari tahu sama saja percuma. “Maksudnya bagaimana, Tante?” ujar Girish berlagak tidak paham. “Ya, teman main. Suka pergi-pergian, kan? Tidak hanya kampus dan rumah saja kesehariannya, kan?” Girish mengangguk sopan. “Sesekali saya pergi juga, Tante.” Ivana tersenyum lebar. Girish berhasil masuk dalam perangkapnya. “Kalau hari ini Nak Girish sudah ada rencana ke mana?” Seketika Girish sadar kalau Ivana berusaha menggiring pembicaraan pada topik yang diinginkannya. Kesiagaan Girish langsung meningkat. “Menemani Ivory saja sampai selesai.” “Kalau sudah selesai?” “Saya pulang.” “Bagaimana kalau nanti setelah selesai, Nak Girish pergi jalan-jalan dengan kakaknya Nia?” Benar saja dugaan Girish! “Jalan-jalan?” Girish sudah menebak kalau Ivana akan memintanya pergi jalan-jalan dengan putrinya. Hanya saja, yang cukup membuat Girish kaget adalah nama yang wanita itu sebut. Alih-alih nama Ry, malah nama kakaknya. Girish jadi ingat kejadian tadi pagi dan juga beberapa waktu lalu. Ivana selalu menyodorkannya pada Laras. “Biar ada hiburan saja.” Ivana mengangguk bersemangat. “Kebetulan kakaknya Nia juga tidak ke mana-mana.” Refleks Girish melirik ke arah Ry dan ia kembali menemukan tatapan kecewa di mata gadis itu. Girish yakin ucapan ibunya lagi-lagi membuat gadis itu merasa tersisih dan entah mengapa ia tidak suka. Tanpa sadar, kebohongan kembali mengalir dari mulut Girish seperti pagi tadi. “Sebenarnya kalau Ivory bisa menyelesaikan proposalnya dengan cepat, saya berencana mengajak Ivory pergi nonton, Tante.” “Oh, sudah ada rencana ….” Ivana bergumam kecewa. “Iya, Tante.” “Pergi bertiga saja bagaimana?” usul Ivana pantang menyerah. “Maaf sekali, Tante. Saya sudah terlanjur pesan dua tiket.” Girish terpaksa melanjutkan kebohongan yang sudah ia mulai. “Kalau pun tambah satu lagi, kursinya pasti terpisah.” Ivana manggut-manggut kecewa. “Kalau begitu ya sudah, Tante tinggal dulu.” “Bapak beneran mau ajak saya nonton?” tanya Ry tidak percaya saat ibunya sudah keluar. “Kamu mau enggak?” balas Girish santai. “Mau aja, sih. Cuma, kok, tumben amat Bapak baik?” Girish mengangkat bahunya. “Saya cuma kasih reward saja untuk usaha keras kamu.” Tidak mungkin Girish mengatakan alasan yang sebenarnya pada Ry, bukan? “Ah ….” Ry manggut-manggut paham. Semudah itu ia percaya saja pada ucapan Girish karena pada dasarnya Ry memang polos. “Cepat selesaikan!” Girish menjentikkan jari ke arah Ry. “Saya mau cari tiket dulu.” “Eh?” Sontak Ry melongo. Salah dengarkah dirinya tadi? “Kamu mau nonton apa?” Girish bertanya lagi. Sama sekali tidak mengindahkan kebingungan Ry. “Tadi bukannya Bapak bilang udah beli tiketnya?” tanya Ry bingung. “Kapan saya beli? Mau nonton apa juga saya belum tahu.” “Loh?” Wajah Ry semakin terlihat bodoh saja. “Saya saja baru kepikiran mau ajak kamu nonton.” “Loh?” Melihat wajah bodoh Ry yang terus melongo, Girish jadi ingin tertawa kencang. Namun, ditahannya sebaik mungkin. “Saya lebih baik pergi sama kamu daripada kakak kamu, Ivory.” “Kenapa gitu, Pak?” tanya Ry tidak habis pikir. “Jangan banyak tanya, Ivory! Selesaikan saja proposal kamu atau kita batal pergi,” ancam Girish galak. “Tapi saya penasaran,” rengek Ry pelan. “Nanti saya jawab penasaran kamu kalau sudah selesai.” Dipacu rasa penasaran yang menggunung, otak Ry berhasil dipacu untuk menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Menjelang sore, proposalnya selesai. Setelah Girish memeriksa dan memastikan proposal itu layak untuk diajukan, akhirnya Ry diboyong menuju bioskop. “Kenapa lihatin saya terus?” tanya Girish sambil mengemudi. Ia sadar kalau sekali-sekali Ry terus menoleh ke arahnya. “Penasaran,” gumam Ry pelan. “Soal?” “Yang tadi siang.” “Yang mana?” Girish berlagak lupa. “Kenapa Bapak menolak pergi sama kakak saya?” Ry sungguh penasaran soal ini, karena biasanya tidak ada laki-laki yang sanggup menolak kakaknya. Kalau sudah sekali melihat wajah Laras, makan mereka akan tergila-gila. Ditambah mendengar suaranya, mereka pasti jatuh cinta. Setelah kenal dengan Laras, mereka akan rela memberikan segalanya. “Karena saya tidak kenal,” jawab Girish santai. “Kan udah kenalan waktu itu.” “Kenal dalam arti akrab dan dekat,” sahut Girish. “Kan tujuan Mama suruh kalian pergi berdua biar saling kenal lebih mendalam dan jadi akrab.” Ry tidak bodoh. Ia tahu dengan jelas maksud ibunya. Bahkan sejak saat pertama Ivana terlihat menginginkan Girish untuk Laras. “Saya juga tahu, karena itu saya enggak mau,” ujar Girish tidak peduli. “Kenapa enggak mau, Pak?” “Enggak mau saja. Enggak ada alasan khusus.” “Padahal kakak saya itu kan cantik, Pak,” gumam Ry bingung. “Yang cantik tidak selalu sempurna,” balas Girish tenang. “Eh, tapi kakak saya tuh sempurna loh!” bantah Ry cepat. “Semua serba bisa. Pokoknya kualitas terbaik.” Lagi-lagi Girish memiliki jawaban untuk mematahkan ucapan Ry. “Yang sempurna tidak menjamin bisa buat bahagia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN