11. Ajakan Maut

2287 Kata
“Kelas hari ini berakhir, sampai bertemu lagi minggu depan.” Girish membubarkan pertemuan Senin pagi di kelas Studi Mandiri. Namun, kata penutupnya tidak hanya sampai di sana. Ada tambahan khusus untuk satu mahasiswi spesialnya. “Ivory, jangan keluar dulu!” “Matilah awak!” gerutu Ry sepelan mungkin. “Nak apa lagi Bapak ni?” Meski kakinya rasanya ingin lari melesat meninggalkan kelas, apa daya Ry hanya bisa duduk diam di tempatnya menunggu kelas sepi. Ry tahu Girish tidak akan bicara sepatah kata juga sebelum semua mahasiswa lain meninggalkan kelas. “Setelah ini kamu ke kelas Saki, kan?” Akhirnya Girish bicara juga tepat setelah anak terakhir melangkah keluar. “Iya, Pak. Mau titip sesuatu?” Ry yang sebenarnya sudah punya firasat buruk memilih tetap berlagak polos. Alih-alih menjawab pertanyaan Ry, Girish lanjut pada pertanyaan berikutnya. “Nanti selesai kelas Saki ada apa lagi?” “Enggak ada, Pak.” Padahal dalam hati Ry sudah ingin menjawab ada sesuatu yang harus dikerjakan, tetapi apa daya gadis ini sangatlah jujur. “Kalau begitu selesai kelas Saki kita makan sama-sama,” ucap Girish lebih mirip perintah ketimbang ajakan. “Bertiga?” tanya Ry penuh harap. Bukan apa-apa, setidaknya kalau Alsaki ikut suasana tidak akan terlalu mencekam. Kalau hanya berdua Girish saja jujur Ry takut. Namun, harapan Ry langsung kandas begitu Girish menjawab. “Berdua saja.” “Eh?” Ini tanda bahaya. Perut Ry mulai dihinggapi rasa mulas. Namun, ia berusaha sebaik mungkin agar tetap terlihat tenang. "Dalam rangka apa, Pak?" "Tidak dalam rangka apa-apa. Ingin makan saja." "Mencurigakan …," gumam Ry sangat pelan. “Kamu ingat mobil saya yang mana?” “Ingat.” Ry langsung mengangguk cepat. “BMW X4M warna silver plat nomor B 1215 H,” “Andai ingatan kamu setajam itu untuk istilah dalam interior.” Alis Girish langsung terangkat, jujur saja ia terkejut Ry bisa mengingatnya dengan sangat rinci. Untuk urusan otomotif, mata dan ingatan Ry memang bisa diandalkan. Sebenarnya dulu pun pernah terpikir oleh Ry untuk mengambil jurusan teknik mesin, tetapi sayang ibunya menentang keras. Ry tersenyum sekilas mendengar pujian terselubung dari mulut Girish. “Saya permisi dulu, Pak.” “Jangan lupa tunggu saya di dekat mobil. Hari ini saya parkir di tempat teduh, kalau kamu sampai lebih dulu, bisa tunggu di kursi kayu dekat mobil saya.” “Baik, Pak.” Ry mengangguk pelan. “Kenapa kamu lesu begitu?” tanya Girish heran. Ry sama sekali tidak terlihat bersemangat diajak makan siang, padahal menurut Alsaki gadis itu selalu cerah ceria kalau berurusan dengan makanan. “Eh?” Ry melongo mendengar pertanyaan Girish. Biasanya dosen yang satu ini tidak pernah mengucapkan hal yang tidak ada kaitannya dengan urusan kuliah. Lantas, kenapa juga hari ini Girish mengurusi wajahnya yang lesu? “Bukannya kamu senang diajak makan?” tanya Girish lagi. “Biasanya emang senang, Pak.” Ry tersenyum sumbang. “Tapi enggak tau kenapa perasaan saya kali ini enggak enak. Kayaknya Bapak ajak saya makan ada embel-embelnya.” “Curigaan sekali kamu.” Girish mendengkus sebal. Girish sebenarnya tidak bisa terlalu menyalahkan Ry juga. Salahnya sendiri memiliki wajah kecut yang jarang senyum. Wajar kalau orang lain selalu merasa senewen berdekatan dengannya. *** Siang harinya, usai meninggalkan kelas Alsaki, Ry berjalan gontai menuju parkiran tempat mobil Girish berada. Sambil menunggu kedatangan Girish, Ry memeriksa ponselnya. Ada satu pesan dari Vio. Vio: Ry gue lagi di deket kampus lo. Mau makan bareng ga? Kalau biasanya Ry akan bahagia dan berbinar, kali ini tidak. Ia langsung mengetik pesan balasan dengan lesu. Ry: Ngga deh Vi. Makasih ya. Vio: Tumben amat lo nolak. Ry: Bukan nolak karena ga mau tapi Ry ngga bisa Vi. Vio: Karena? Ry: Mau diajak makan sama dosen Ry. Vio: WADIDAW Vio: Lo jadi laris manis gini Ry. Ry tersenyum miris. Andai dirinya memang berubah laku dan dikejar-kejar lelaki karena urusan cinta. Sayang dikejar-kejarnya Ry karena urusan kuliah. Ry: Apanya yang laris manis Vio. Ry: Ry itu dikejar2 urusan kuliah tau. Vio: Sekarang aja urusan kuliah, nanti siapa yang tau? Vio: Jangan lupa dandan yang cantik oke. Ry tidak sempat membalas lagi pesan Vio karena seseorang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Ketika mengangkat kepala, ia menemukan Alsaki sedang berdiri memandanginya. “Ngapain kamu di sini?" "Nungguin Pak Girish," jawab Ry lesu. "Mau ngapain?" "Pak Girish ngajak saya makan sama-sama." "Kamu bikin dosa apa sama Girish?" tanya Alsaki geli. "Tuh, kan!” Ry langsung mendesah senewen. “Bapak juga mikirnya sama, kan?" "Mikir apa?" "Enggak mungkin Pak Girish ajak saya makan tanpa tujuan khusus, kan?" "Oh, tentu!” Alsaki mengangguk sangat setuju. “Pasti dia mau nagih sesuatu dari kamu." Ry makin senewen mendengar ucapan Alsaki. "Pak, saya boleh minta tolong?" "Apa?" "Tolong bilangin Pak Girish saya mendadak sakit." Bukannya mengiakan karena iba, Alsaki malah menggeleng kejam. "Enggak bisa." "Yah, Pak … tolongin saya, ya? Plis?" mohon Ry sambil memelas. "Enggak bisa, Ry. Udah telat," ujar Alsaki sambil menunjuk ke belakang Ry. "Telat?" Sontak Ry menoleh ke belakang mengikuti arah yang Alsaki tunjuk. Di belakangnya berdirilah Girish yang sedang bersidekap dengan wajah galaknya dan Ry langsung berseru tertahan. "Bapak?!" "Kamu mau bilang sakit apa, hm?" tanya Girish kaku. Ry kembali menoleh pada Alsaki dan bertanya dengan nada protes. "Pak Saki kenapa enggak bilang ada Pak Girish?" Alsaki mengangkat bahunya. "Udah telat, Ry." "Kan bisa kasih tau pas tadi masih jauh." Ry mendumel kesal. "Bisa aja.” Alsaki mengangguk santai sambil tersenyum jail. “Tapi saya enggak mau." "Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Girish tidak sabar. "Kalian mau makan di mana?" tanya Alsaki ingin tahu. "Belum tahu.” Girish menggeleng cepat, lalu menatap Ry. “Kamu mau makan apa, Ivory?" "Enggak tau, Pak,” jawab Ry lesu. “Saya lagi enggak selera makan." "Makan all you can eat enggak selera juga?" goda Alsaki. Refleks Ry menjawab antusias. "Wah, kalo itu sih enggak nolak!" Reaksi Ry yang tiba-tiba berubah bersemangat membuat Alsaki tergelak kencang. “Bisa berubah sedrastis itu.” Girish menggeleng tidak percaya. Alsaki menepuk bahu Girish sambil masih terkekeh. "Kalo gitu gue ikut deh sama kalian. Boleh enggak?" Girish langsung mengiakan. "Boleh aja." Kehadiran Alsaki sangat menguntungkan bagi Girish. Setidaknya Alsaki lebih bisa menjinakkan Ry hingga berujung meredam sakit kepala Girish. "Pak Saki mau ikut juga?" tanya Ry dengan mata berbinar. Alsaki mengangguk cepat. "Sekalian saya traktir kamu, Ry. Kan kemarin presentasi kamu sukses." Ingat waktu Alsaki menjemput Ry ke Sentul untuk membawa gadis itu kembali ke kampus dan melakukan pra presentasi untuk pameran? Siang itu nyatanya Ry berhasil melakukan presentasi dengan lancar dan sukses. "Ah, Bapak emang baik!" seru Ry kesenangan. Kehadiran Alsaki bagai sebuah siraman kalbu yang menyejukkan hati Ry di tengah ketakutannya berhadapan dengan Girish. "Satu mobil aja kita?" tanya Alsaki pada Girish. "Mobil lo?" balas Girish. "Boleh. Yuk!" Girish tidak menyia-nyiakan waktu. Begitu tiba di restoran dan mereka bertiga sudah duduk, Girish langsung menodong Ry. "Ry, buka laptop kamu." "Buat apa, Pak?" tanya Ry curiga. "Kita sambil selesaikan pengajuan denah kamu," jawab Girish kaku. "Yah, Pak ….” Seketika Ry lemas dan rasanya ingin pingsan saja. Sudah empat jam kepalanya dipaksa bekerja keras mendengarkan kuliah, sekarang dalam kondisi perutnya keroncongan, tega-teganya Girish menyuruh Ry mengerjakan tugas ketika belum satu makanan juga masuk ke mulutnya. "Kenapa?" tanya Girish datar. "Enggak bisa tunggu makan beres dulu?" tawar Ry sedih. "Kenapa harus tunggu selesai? Kan bisa sambil makan," balas Girish kejam. "Kan makannya diwaktu, Pak. Cuma 90 menit, loh,” protes Ry tidak terima. “Rugi kalau kepotong buat bikin tugas. Ry mau sapu bersih dulu di sini." "Kamu ini …!" desis Girish jengkel. "Biarin, Rish,” bela Alsaki cepat. “Kasih dia tenaga sebelum lo siksa." "Ck!" Girish menggeleng tidak suka. "Nanti beres dari sini kita pindah seberang aja,” bujuk Alsaki. Ia tahu kafein sangat mampu menenangkan otak Girish yang melepuh. “Ngopilah kalian sambil beresin kerjaan." "Ide bagus, tuh!” sambut Ry senang, lalu lanjut memuji Alsaki lagi untuk kesekian kalinya siang itu. “Pak Saki selalu terbaik!" "Andai bisa ganti dosen, mungkin kamu akan pilih Saki buat jadi dosen Studi Mandiri kamu, Ivory," sindir Girish keki. "Oh, tentu!" jawab Ry polos. Namun, sedetik kemudian ia menyadari kesalahnya. Cepat-cepat Ry menggeleng panik. "Eh, salah! Maksud saya-" "Sudah, tidak perlu jelaskan,” potong Girish tajam. “Saya tahu maksud kamu." Ry yang masih tidak enak hati kembali meminta maaf. "Maaf, Pak. Jangan ma-" "Sudah makan saja.” Lagi-lagi Girish memotong ucapan Ry dan memberikan sindiran pedas. “Nanti kamu rugi waktunya terbuang buat minta maaf sama saya." Akhirnya, Ry bebas menggunakan waktu 90 menitnya yang berharga untuk membulatkan perut semaksimal yang ia mampu. "Saya heran lihat kamu makan, Ivory," ujar Girish setelah 90 menit berlalu. Saat ia sudah merasa kekenyangan, Ry masih terlihat biasa saja. "Gue juga.” Alsaki mengangguk setuju. “Bisa-bisanya kamu makan lebih banyak dari saya." "Karena saya ini setara kuli, Pak.” Ry mengepalkan kedua tangannya tinggi-tinggi. “Kerja bagai kuda. Harus banyak tenaga." Girish menggeleng heran. "Ke mana larinya semua makanan itu?" Ry tersenyum malu. "Sebagian tertampung di perut, tapi kebanyakan masuk jamban, Pak." "Lancar, ya?" Alsaki tertawa geli. "Lancar jaya, Pak.” Ry mengangguk tanpa malu. “Tiap hari pasti. Setidaknya tiga sampai empat kali gitulah." "Kamu burung?" celetuk Girish. "Eh?" Ry melongo mendengar tanggapan Girish sementara Alsaki tergelak kencang. "Sedikit-sedikit buang," lanjut Girish heran. Kembali Alsaki tergelak. Setelahnya ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, karena kalau dibiarkan Girish bisa berdebat tidak jelas dengan Ry. "Rish, mending pindah tempat sana!" "Lo ikut?" Alsaki tersenyum sedih. "Gue enggak bisa. Ada janjian bimbingan." "Terus gue balik ke kampus jalan kaki?" tanya Girish horor. "Astaga, lupa!” Alsaki menepuk jidatnya keras-keras. “Ya, udah lo bawa mobil gue aja." "Lo gimana?" "Gue jalan aja." Alsaki menjawab santai. "Kenapa Pak Saki enggak ikut aja ke seberang, terus bimbingannya pindah ke seberang juga? Boleh kan bimbingan di luar kampus?" usul Ry. Alsaki langsung menjentikkan jarinya. "Eh, tumben pinter!" Berkat ide Ry, Alsaki tidak jadi berpisah dengan mereka. Bimbingannya tetap berlanjut hanya pindah tempat saja ke kedai kopi, bukan di kampus. Demi kenyamanan, mereka juga memilih pisah meja. Ry dengan Girish, sementara Alsaki dengan anak bimbingannya. "Pak, gini oke enggak?" Ry menunjukkan pengantar pengajuan denah yang tengah disusunnya. Dalam pengantar itu, Ry perlu menjelaskan alasannya memilih gedung Advaith sebagai denah yang akan digunakan untuk proyek tugas akhirnya nanti. "Coba saya lihat!" Girish menarik laptop Ry dan memeriksa tulisan gadis itu. Hasilnya sudah jauh lebih baik setelah jam-jam berlalu. Namun, masih saja ada yang dirasa kurang tepat. "Perbaiki lagi bagian ini." Ry kembali menekuni laptopnya, tetapi kali ini ia mulai gelisah. Langit di luar sudah berubah gelap dan Ry tidak tahu sampai kapan Girish akan duduk bagai algojo di sebelahnya. Alsaki saja sudah pamit lebih dulu sekitar satu jam yang lalu. Girish juga sudah sempat meninggalkan Ry untuk mengambil mobilnya bersama Alsaki dan kembali lagi ke sini. Namun, sang dosen belum terlihat ada tanda-tanda akan menyuruh Ry pulang. Tidak tahan, akhirnya Ry bertanya juga. "Pak, kita bakal sampai jam berapa ini?" "Sampai kamu selesai," jawab Girish datar. Ia sendiri bukan diam saja sejak tadi. Girish juga melakukan pekerjaan dengan laptop miliknya. Kalau hanya diam saja, mungkin sudah ia banting Ry sampai remuk saking tidak sabar melihat lambatnya gadis itu bekerja. "Bapak enggak capek?" tanya Ry lebih seperti menyuarakan isi hatinya sendiri. "Capek." "Gimana kalau kita lanjut besok lagi?" usul Ry penuh harap. "Tidak bisa.” Girish menggeleng tegas. “Kalau hari ini pengajuan denah kamu tidak masuk, nama kamu tidak akan tercatat dalam pendaftaran peserta TA." "Hah?" Mata Ry terbelalak ngeri. "Hari ini batas akhirnya, Ivory. Makanya saya paksa kamu." Andai tidak memikirkan nasib Ry, Girish juga tidak akan sampai begini. Kalau Ry gagal mengikuti TA semester mendatang, Pak Kuskus pasti akan sangat kecewa. Mendengar kenyataan mengerikan itu, mau tidak mau semangat Ry terbakar. Sudah tanggung sampai sejauh ini, masa ia harus menyerah? Semester ini pun hanya tinggal 2,5 bulan lagi, masa ia harus mengulang satu semester penuh lagi? "Akhirnya beres juga!" desah Ry lega setelah Girish memeriksa pekerjaannya untuk kesekian kali dan memberikan anggukan puas. "Kalau mau, kamu itu sebenarnya bisa," ujar Girish disertai senyum samar. "Tapi sekarang saya lemes banget, Pak. Gemeteran. Kayak orang keracunan," keluh Ry dramatis. Girish menggeleng geli. Cepat-cepat ia membereskan barang bawaannya. "Ayo, pulang!" "Pak, saya boleh nebeng sampai kampus?” tanya Ry malu-malu. “Mau ambil si Boncel, Pak." “Boncel?” Girish mengernyit bingung. “Motor saya, Pak.” "Saya antar kamu pulang saja," putus Girish. "Eh, enggak usah, Pak!" tolak Ry sungkan. "Sekarang sudah terlalu malam, Ivory." Meski Girish kelihatannya kejam, sesungguhnya ia tidaklah setega itu. Girish tidak mungkin membiarkan seorang gadis berkeliaran sendiri di atas jam sembilan malam. "Ah, segini sih masih pagi, Pak!” ujar Ry santai. “Baru juga jam sepuluh. Saya biasa sampai tengah malam. Sampai subuh juga pernah." "Jangan dibiasakan. Kamu itu perempuan, Ivory,” tegur Girish. “Bahaya di jalanan selarut ini sendirian saja." Girish memperhatikan Ry tanpa maksud khusus. Ia hanya teringat dengan adik perempuannya di Solo. Girish sungguh berharap akan ada orang baik yang bersedia mempedulikan adiknya juga seperti yang ia lakukan pada Ry jika kebetulan menghadapi hal serupa. Sejujurnya Ry agak terharu dengan perhatian Girish. Sepanjang hidupnya, hampir tidak pernah ada yang mengkhawatirkan dirinya kalau pulang malam. Pembawaannya yang tomboi membuat orang kerap menganggapnya laki-laki dan imun terhadap bahaya. "Tapi gimana nasib si Boncel?" tanya Ry khawatir. "Besok kan kamu ke kampus lagi. Ambil saja besok." "Kalo enggak ada si Boncel, gimana besok pagi saya ke kampus, Pak?" "Kamu tidak ada kendaraan lain atau orang lain yang bisa mengantar?" "..." Ry menggeleng pelan. Janganlah harapkan orang lain, Ry pasti akan kecewa. Ia sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri sejak SMP. Ry memang selalu tinggal bersama keluarganya, tidak pernah berpisah, tetapi ia bagai tersisih dan tidak terlihat. "Kalau tidak ada, biar besok saya jemput. Kita berangkat sama-sama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN