“Ry, maaf ya jadi minta bantuan kamu. Didit mendadak tumbang semalam.” Lio terlihat benar-benar merasa bersalah karena mengganggu waktu Ry, padahal gadis itu sedang dalam masa pengurangan jam kerja demi menyukseskan kelulusannya. Bukan berarti Ry tidak mendapat pekerjaan sama sekali, tetapi jumlahnya dibatasi terutama untuk tugas foto yang lokasinya jauh. Khusus sampai Ry lulus, Mia sudah meminta agar Lio memberinya pekerjaan di studio saja.
“Gapapa, Mas.” Ry menggeleng ceria. “Ry malah seneng banget bisa ke sini. Udah lama Ry enggak kebagian tugas luar begini.”
“Tapi kuliah kamu gimana?” tanya Lio sedikit cemas.
“Tenang, Mas.”
“Enggak terganggu?”
“Enggak, kok.” Ry membuat tanda ‘oke’ dengan menyatukan ibu jari dan telunjuknya. “Aman terkendali.”
“Yakin?” Lio masih terlihat ragu karena ia cukup mengenal gadis ini. Amannya Ry itu bisa saja sebuah bencana bagi orang lain.
“Yakin, Mas.”
Berhubung Ry terlihat begitu yakin, terpaksa Lio percaya juga. “Bagus kalau gitu, karena kalau sampai ganggu kuliah kamu, Nona bisa marah.”
“Tenang, Mas. Aman!” ulang Ry lagi. “Ry ke sana dulu, ya!”
Baru saja Ry meninggalkan Lio beberapa langkah, ia sudah dihadang oleh Tita. “Ry, kenapa ke sini?”
“Kerja, dong!” sahut Ry bangga.
“Enggak kuliah?”
“Hari ini enggak.”
“Enggak ada kuliah atau kamu bolos?” tanya Tita curiga.
“Hari ini enggak ada kelas, Ta.” Ry memutar bola matanya. Kenapa semua orang sepertinya sangat menaruh curiga soal perkuliahannya?
“Beneran?” cecar Tita sangsi.
“Ampun, Ta!” Ry menggeram lelah. “Enggak percaya amat sama Ry.”
Cepat-cepat Tita merangkul bahu Ry. “Bukan gitu, Ry. Takutnya kamu kena masalah.”
“Enggak akan, kok. Tenang aja.” Dan Ry mengulangi ucapan yang serupa seperti untuk Lio tadi dengan nada sama yakinnya.
“Padahal Tita udah cari backup fotografer lain loh buat bantu Iris.” Meski urusan intern Iridescent bukanlah bagian Tita, tetapi kalau menyangkut Ry ia siap siaga membantu.
“Enggak usah.” Ry membusungkan tubuh dan menepuknya dengan bangga. “Ada Ry di sini yang selalu bisa dan siap diandalkan.”
Urusan ragu-meragu itu akhirnya terlupakan karena kesibukan di lokasi pemotretan sudah dimulai. Di tengah-tengah keasyikan Ry mengabadikan momen dari sepasang calon pengantin yang tengah bergaya, tiba-tiba saja terdengar teriakan Tita. “Ry telepon kamu bunyi terus, nih!”
“Angkatin aja, Ta!” Ry balas berteriak.
“Oke!” Tita berteriak lagi. Segera saja ia menjawab panggilan yang masuk ke ponsel Ry. “Halo?”
“Ry, kamu enggak lupa apa yang harus dilakukan hari ini, kan?” Suara di seberang langsung mencecar tanpa basa-basi.
“Mm … maaf, ini siapa, ya?” Tita bertanya kebingungan.
“Dosen kamu. Kamu enggak simpan nomor saya memangnya? Dasar terlalu!” Suara sang dosen terdengar sebal.
“Maaf, Pak. Saya bukan Ry.” Cepat-cepat Tita memberitahu sebelum ia tambah dimarahi sambil mengintip nama yang tertera di layar. Tidak ada nama orang, hanya tulisan MDI 5 saja.
Si MDI 5 mendengkus. “Jangan bercanda kamu.”
“Saya beneran.”
“Terus kalau bukan Ry, kamu siapa?” tanya si MDI 5 dengan nada galak.
“Saya temannya, Pak.”
“Lalu Ry di mana?”
Refleks Tita melihat ke arah Ry. “Ada di sini, tapi lagi motret, Pak. Enggak bisa pegang hape.”
“Motret?” tebak si MDI 5.
“Iya.”
“Kerja maksudnya?” Kembali si MDI 5 bertanya untuk memastikan.
“Betul, Pak.”
“Di mana?”
“Ini di Sentul, Pak.”
“Astaga anak itu!” Si MDI 5 mendesah tidak percaya.
“Maaf, Pak. Ada pesan yang perlu disampaikan?” tanya Tita hati-hati.
“Tidak usah. Saya minta tolong kirimkan lokasi Ry saat ini saja, bisa?” pinta si MDI 5.
Tita yang polos dan tidak curigaan segera mengiakan permintaan si MDI 5. “Oh, boleh, Pak!”
“Terima kasih banyak, ya. Omong-omong saya bicara dengan siapa?”
“Saya Tita, Pak.”
“Terima kasih, Tita. Oh, satu lagi!” Cepat-cepat si MDI 5 berseru sebelum Tita keburu mengakhiri panggilan.
“Ya, Pak?”
“Tolong jangan bilang apa-apa sama Ry. Diam-diam saja.”
“Oke, Pak.” Tita mengangguk patuh. Lagi-lagi tanpa curiga sama sekali akan rencana lawan bicaranya saat ini. “Eh, maaf!”
“Ya?”
“Tadi di awal Bapak bilang Ry enggak lupa melakukan yang harus dilakukan hari ini, mau saya sampaikan, Pak?”
“Tidak usah. Nanti saya sampaikan sendiri saja.”
Akibat kesibukan di lokasi pemotretan, Ry yang dasarnya memang pelupa sampai tidak ingat untuk menanyakan soal telepon yang tidak bisa diterimanya. Hingga ketika sosok yang tadi menelepon itu datang, Ry jadi kaget setengah mati.
“Hai, Ivory!” Alsaki melambai santai pada Ry yang tengah beristirahat untuk minum.
Pftt! Dan menyemburlah air dari mulut Ry. Setelahnya gadis itu terbatuk-batuk. Masih sambil terbatuk-batuk Ry berdesis ngeri. “Bapak …?”
Alsaki terkekeh senang. “Kaget banget kamu.”
Ry mengerjap tidak percaya. “Bapak kok, bisa ada di sini?”
Alsaki mengangkat bahunya. “Surprise!”
“Bapak hari ini enggak kerja?”
“Tentu kerja.”
“Terus kenapa di sini?”
“Buat jemput mahasiswi yang hobi bolos biar cepat lulus.” Alsaki memberikan jawaban penuh sindiran.
“Kan hari ini enggak ada kuliah, Pak,” jawab Ry polos tanpa dosa.
Sebelum menjawab, Alsaki mengembuskan napas keras-keras. Sekarang ia yakin kalau Ry yang ingatannya memang buruk itu lupa dengan tugas penting hari ini. “Hari ini memang enggak ada kelas, Ry. Tapi hari ini ada simulasi presentasi pameran.”
“HAH?” Sontak saja Ry menjerit ngeri.
“Lupa kamu?” Alsaki mendengkus sinis.
“ASTAGA!” Jeritan Ry kembali terdengar. Kini ia sudah ingat sepenuhnya. Kelas MDI 5 hari ini memang ditiadakan, tetapi bukan berarti mereka libur. Justru ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar kelas biasa hari ini. Setiap kelompok harus melakukan pra presentasi untuk menilai kesiapan mereka menjelang pameran dua bulan mendatang.
“Lupa juga kalau kamu yang harus pimpin presentasi kelompok kamu,” sindir Alsaki lagi.
“Matilah!” desis Ry ingin menangis.
“Jangan mati dulu,” sahut Alsaki geli. “Lulus dulu, Ry.”
“Maksudnya kalau udah lulus baru mati?” tanya Ry kaget.
“...” Alsaki hanya menanggapi dengan senyum penuh arti.
“Bapak jahat!” protes Ry sebal.
Alsaki tergelak kencang. “Kamu yang ngomongnya sembarangan.”
“Pak, terus gimana, dong?” Ry mulai merengek senewen.
“Ya, ke kampus!” seru Alsaki gemas.
“Masih keburu?” tanya Ry panik.
“Bisa. Saya sudah minta kelompok kamu dikasih giliran terakhir.” Coba lihat! Kurang baik apa Alsaki sebagai dosen? Segala hal ia lakukan demi membantu kelulusan mahasiswinya yang paling abadi.
“Tapi Ry belum belajar,” keluh Ry senewen.
“Belajarlah sepanjang jalan ke kampus,” sahut Alsaki santai.
“Nanti Ry nyetirnya enggak konsen. Salah-salah motor Ry nyemplung ke rawa.”
“Kamu ikut mobil saya saja. Belajar yang tenang.”
“Si Boncel?”
“Boncel lagi!” gumam Alsaki gemas. “Titip saja.”
“Titip siapa?” Ry terlihat sangat tidak rela meninggalkan motor tua kesayangannya.
“Tita yang akan bantu urus katanya.”
“Tita?” Mata Ry melebar takjub. “Bapak kenal Tita?”
“Baru kenalan.” Alsaki mengangguk santai. “Omong-omong saya jadi ingat sesuatu.”
“Apa, Pak?”
“Kamu tidak simpan nomor saya, ya?” tanya Alsaki keki.
Cepat-cepat Ry menggeleng. “Simpan kok, Pak.”
“Tapi tadi Tita enggak tahu saya siapa waktu jawab telepon kamu.”
“Jadi tadi Bapak ngomong sama Tita?”
“Ck! Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab saya dulu!” desak Alsaki dongkol.
“Saya simpan kok, Pak. Sumpah!” ujar Ry bersungguh-sungguh. Ia sampai menaikkan kedua jarinya untuk meyakinkan Alsaki.
“Simpan dengan nama apa?” tanya Alsaki curiga.
Ry meringis salah tingkah. “MDI 5.”
“Dasar semprul kamu!” Spontan kata-kata itu loncat dari mulut Alsaki.
“Ih, Bapak enggak sopan!” protes Ry kaget.
Alsaki mendengkus malas. “Sama kamu enggak perlu sopan, Ry. Rugi.”
“Pak, jadi Bapak tadi ngomong sama Tita?” Ry kembali menanyakan hal yang membuatnya penasaran.
“Iya. Kalau enggak gimana caranya saya tahu kamu di sini,” balas Alsaki sinis.
“Tapi Tita enggak bilang apa-apa sama saya,” gumam Ry cemberut.
“Saya yang minta.”
“Tega.” Kata ini tepatnya Ry tujukan untuk Tita. Ia merasa seolah dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Bisa-bisanya Tita tidak mengatakan apa-apa perihal telepon dari dosennya.
“Udah jangan banyak ngeluh. Harusnya kamu bersyukur dapat dosen sebaik saya. Demi apa coba saya kejar-kejar mahasiswi sampai repot jemput jauh-jauh begini? Rasa-rasanya sepanjang karir saya sebagai dosen, kamu mahasiswi paling merepotkan, Ry.”
Alih-alih malu dan sadar diri, Ry malah tersenyum bangga. “Saya tersanjung loh, Pak.”
“Cepat masuk ke mobil!” sentak Alsaki gemas.
Meski ingin menangis, terpaksa Ry harus mengikuti dosennya. Duduk pasrah di dalam mobil Alsaki sambil menghafal presentasi yang harus dibawakannya untuk mewakili kelompok nanti.
“Sudah bisa?” Alsaki bertanya ketika tidak lagi mendengar gumaman dari mulut Ry yang komat-kamit sejak tadi.
“Belum dan kayaknya enggak akan bisa, Pak,” jawab Ry pesimis.
“Kamu ini belum apa-apa sudah menyerah duluan,” sahut Alsaki geregetan.
“Bukan menyerah, Pak,” bantah Ry lesu. “Masalahnya otak saya kayak asing banget sama semua kata-kata ini, jadi enggak ada yang bisa saya ingat.”
“Kamu sih main-main terus, Ry.”
“Saya enggak main-main, Pak. Kapasitas otak saya emang enggak sampai.” Lagi-lagi Ry membela dirinya. “Herannya kenapa juga mereka pilih saya buat bawain presentasi coba? Kan cari mati.”
“Mereka tunjuk kamu buat presentasi karena selama ini kamu nyaris enggak ikut mengerjakan apa-apa,” tandas Alsaki kejam. Lagi pula, dari kelima personil di kelompok Ry, memang tidak ada yang bisa diandalkan untuk memimpin presentasi juga. Sama saja kacaunya di mata Alsaki.
“Siapa yang bilang gitu, Pak?” Ry yang jarang merasa kesal tiba-tiba saja diserang jengkel.
“Tidak perlu ada yang bilang pun saya sudah langsung tahu, Ry.”
“Pak, kalau nanti presentasinya gagal gimana?” tanya Ry cemas.
“Kelompok kamu harus bekerja lebih keras lagi.”
“Kalau berhasil?”
“Kemungkinan berhasil di pameran nanti sudah terjamin.”
Otak pas-pasan Ry segera menemukan sebuah kesimpulan menarik. “Jadi kalau hari ini gagal sebenernya enggak apa-apa kan, ya?”
Alsaki langsung menoleh ke samping dan menatap kesal. “Kamu mau gagal?”
“Bukan mau, sih.” Ry cengar-cengir bodoh. “Tapi saya realistis aja gitu, Pak.”
“Kamu ini gampang sekali menyerah, Ry!” omel Alsaki. “Masa belum juga berjuang sudah pasrah saja mau gagal?”
“...” Ry terdiam. Kembali teringat pada kenyataan yang selama ini selalu terjadi padanya. Ia lelah berjuang karena pada akhirnya memang selalu gagal. Lebih baik gagal saja sekalian dari awal jadi tidak perlu sakit hati.
Alsaki sepertinya bisa menangkap rasa pesimis yang menyelimuti hati Ry. Ia segera menemukan sebuah ide untuk membangkitkan semangat gadis itu. “Sekarang begini saja … saya punya penawaran menarik untuk kamu.”
“Apa, Pak?” tanya Ry tanpa minat.
“Kamu tahu restoran all you can eat di ujung jalan kampus kita?”
“Tau, Pak.”
“Kalau kamu berhasil hari ini, saya traktir kamu makan di sana.” Alsaki berujar sambil tersenyum penuh arti.
“Kalau saya gagal?” tanya Ry ragu.
“Kamu yang traktir saya.”
“Ah, enggak mau!” tolak Ry cepat. Ini terlalu mengerikan.
Alsaki terlihat kecewa karena pancingannya tidak berhasil. “Kenapa?”
“Saya mana ada uang buat traktir Bapak,” ujar Ry pasrah.
Kenyataan itu Alsaki juga tahu. Kalau untuk menambah semangkuk bakso saja Ry tidak ada uang, apalagi untuk makan di restoran all you can eat yang harganya berlipat-lipat lebih mahal.
“Makanya kamu harus berhasil,” desak Alsaki.
“...” Ry terdiam. Ia benar-benar ragu. Tawaran Alsaki memang menggiurkan. Sudah lama ia mengidam-idamkan memenuhi perutnya di restoran itu, tetapi apa daya penghasilannya seret sejak dipaksa menyelesaikan kuliah.
“Gimana? Menarik, kan?” tanya Alsaki dengan nada membujuk.
Ry manggut-manggut kecil. “Layak dicoba, sih.”
“Bagus!” Alsaki mengangguk puas. “Sana belajar lagi!”
Sebagai seorang pengajar, sedikit banyak Alsaki bisa membaca kepribadian mahasiswanya. Untuk kasus Ry, sebenarnya gadis itu bukan sama sekali tidak punya kemampuan, hanya saja kurang motivasi. Andai Ry ingin, sebenarnya gadis itu bisa dan kemampuannya tidaklah buruk.
“Turun, Ry!” Alsaki menegur Ry yang terlihat begitu tekun mempelajari presentasinya demi memenangkan traktiran dari sang dosen.
Ry bukan tidak sadar kalau mobil berhenti, hanya saja ia tahu ini masih jauh dari kampus, makanya gadis itu diam saja. Pikirnya mungkin Alsaki hanya mampir untuk membeli sesuatu di minimarket. Namun, begitu ia mengangkat wajah dan melihat keluar, Ry menemukan mereka tengah berhenti di pelataran parkir sebuah butik. “Pak, ngapain ke sini?”
“Cari baju buat kamu.”
Alsaki langsung turun usai menjawab hingga Ry mau tidak mau ikut turun dan menyusul.
“Bapak mau beliin saya baju?” tanya Ry heran saat melihat Alsaki melihat-lihat deretan pakaian wanita.
“Kamu punya uang buat beli sendiri?” tanya Alsaki kejam.
“Enggak ada.” Ry menjawab demikian polosnya.
“Ya, tidak perlu tanya lagi kalau begitu.”
“Tapi kenapa Bapak mau beliin saya?” tanya Ry tidak habis pikir.
Alsaki berhenti melangkah, kemudian melirik sinis ke arah pantulan wajah Ry di cermin dekat mereka. “Karena baju kamu terlalu buruk buat dipakai presentasi. Daripada kamu bikin saya malu, lebih baik saya rombak dulu tampilan kamu.”
Ry memandangi penampilannya di cermin. Kaus oversize berwarna abu yang sudah belel, celana baggy berwana krem yang sudah mulai pudar, sepatu kets yang bagian solnya mulai menganga, dan tidak lupa tas serut kebanggaan Ry.
“Emang pakaian saya salah, Pak?” tanya Ry bingung.
“Enggak salah kalau buat dipakai kerja motret seperti tadi, tapi untuk presentasi jelas fatal,” jawab Alsaki jujur.
“Tapi, Pak. Saya jadi kebanyakan hutang sama Bapak,” ujar Ry sungkan.
“Saya catat kok, hutang-hutang kamu.”
“HAH?” Refleks Ry menjerit.
“Kenapa kaget?” tanya Alsaki geli. “Kamu kira semua traktiran saya gratis?”
“Kalau gitu kita pergi aja, Pak!” Ry cepat-cepat menyambar tangan Alsaki dan menariknya.
“Bercanda, Ry!” Alsaki balas mencengkeram pergelangan tangan Ry dan menarik gadis itu mendekat. “Sini balik! Saya tahu kamu enggak ada budget. Udah jangan pikirin hutang. Cukup bayar dengan kamu lulus semester depan dan saya enggak perlu berurusan lagi sama kamu.”