9. Urusan Hidup Mati

2212 Kata
Alsaki baru saja menutup pintu mobilnya setelah mengambil botol minum yang tertinggal. Perhatiannya sontak tersedot pada satu titik. Di kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalinya tengah makan dengan lahap di salah satu warung tenda depan kampus. Meski jarak mereka cukup jauh, Alsaki yakin ia tidak salah mengenali, karena hanya ada satu mahasiswi yang berkeliaran ke mana-mana dengan tas serut hadiah pembalut wanita. Alsaki yang tadinya hendak menuju foodcourt, membatalkan niat dan malah berjalan ke arah warung tenda di depan sana. Perlahan ia menghampiri sosok itu, lalu duduk dengan santai di hadapannya. “Enak?” tanya Alsaki dengan nada menyindir. Ry mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk bersemangat. “Hm … enak banget!” Alsaki memajukan tubuh, lalu menunjuk isi mangkuk Ry. “Mana yang paling enak?” “Hm?” “Bakso kecil, urat, telur, keju, apa cincang?” tanya Alsaki lagi. “Semuanya terbaik, Pak!" Ry mengacungkan jempolnya sambil terus mengunyah penuh nikmat. Sama sekali tidak menyadari nada sindiran dalam setiap pertanyaan Alsaki. “Tambah kerupuk makin enak, ya?” Alsaki mengedik ke arah plastik pembungkus kerupuk yang sudah kosong. Hanya jejak remahnya yang memberitahu kalau awalnya ada kerupuk gurih nan garing di dalam sana. “Banget!” Ry manggut-manggut kencang. Pipinya terlihat penuh senantiasa. Menggilas potongan demi potongan daging kenyal yang lezat. Alsaki memainkan botol sambal di atas meja. “Sambal berapa sendok?” Ry segera mengangkat jari telunjuk dan tengah. “Dua aja.” Melihat betapa lahapnya Ry menyantap makanan, Alsaki cukup terpana. Ke mana perginya semua makanan itu? Hampir bersih tanpa jejak selain perut Ry yang suka membuncit setelah kekenyangan. “Nambah?” tanya Alsaki setelah mangkuk Ry licin mengkilap. “Maunya, sih." Ry mengaku tanpa malu. "Tapi sayang duit saya enggak cukup lagi.” “Dibayarin mau?” “Ah, jangan!" Ry menggeleng kencang, tetapi ucapan berikutnya sangat tidak sesuai. "Nanti jadi tambah enak, Pak.” Alsaki tersenyum geli melihat kepolosan Ry. “Yakin?” “Hm?” Ry mulai terlihat goyah. “Coba bayangin," pancing Alsaki jail. "Bakso kenyal-kenyal ini, dengan kuahnya yang hangat pedas, ditambah kacang tepung makin mantap, loh!” “Duh!" Ry mengerang tidak tahan. "Iya banget, tuh, Pak!” “Tambah, yuk!” bujuk Alsaki. Entah mengapa ia senang juga melihat Ry yang makan dengan lahap tanpa malu-malu itu. Niat awal ingin mengganggu, akhirnya malah jadi tidak tega melihat gadis itu tampaknya benar belum kenyang. “Ah, bolehlah!" sambut Ry pasrah. "Mana bisa Ry menolak godaan seindah ini.” Beberapa saat kemudian, semangkuk bakso yang masih penuh kembali terhidang dan Ry menyantapnya selahap tadi. Bahkan kelezatannya bertambah mengingat ini gratis. “Udah kenyang?” tanya Alsaki setelah melihat Ry menjilat tetes terakhir kuah di pinggir mangkuk. “Ah, kenyang banget!" Ry mengangguk puas. "Enak banget! Makasih banyak ya, Pak.” “Mulut kamu celemotan, Ry.” “Ops!” Cepat-cepat Ry menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Refleks Alsaki mendelik. "Pakai tisu, dong!" Ry hanya meringis dan mengambil tisu seperti titah dosennya. “Mau apa lagi?” “Eh?” Ry mengerjap kaget. “Mau yang segar-segar?” “Ah, jangan gitu, Pak!” Kalau Ry pikir-pikir, dosennya ini sudah cukup sering memberinya traktiran. Ia jadi sungkan juga. “Kenapa?” Alsaki tersenyum geli. “Kan jadi malu.” “Es jeruk mau?” pancing Alsaki. “Duh, seger banget pastinya!” desah Ry yang memang mudah tergoda. Alsaki langsung tergelak kencang. “Selera kamu gampang ketebak banget!” Hanya beberapa detik setelahnya, segelas es jeruk hadir di hadapan Ry. “Loh, kok langsung datang?” “Udah saya pesan tadi.” Alsaki tersenyum sombong. Ry mengerjap bahagia. “Bapak baik banget, sih.” “Saya memang baik, Ry.” “Ngomong-ngomong Bapak ngapain temenin saya makan?” tanya Ry heran. “Itu juga yang mau saya tanya, Ry,” balas Alsaki asal. “Hm?” Mata Ry membulat. “Kamu ngapain makan di sini, Ry?” “Habisnya saya harus makan di mana, Pak?” “Harusnya kamu makan di tempat teman-teman kamu lagi kumpul, Ry," sindir Alsaki pedas. Inilah tujuan utamanya mendatangi Ry. Menyindir gadis itu karena mangkir dari tugas. Namun, Alsaki tidak tega langsung menyemprot Ry dengan omelan melihat betapa kelaparannya gadis itu tadi. Andai itu Girish, mungkin ceritanya akan berbeda. “Teman-teman yang mana ya, Pak?” tanya Ry lugu. Alsaki menggeleng gemas. “Kamu enggak tahu teman kamu yang mana?” “Teman yang mana dulu, Pak? Teman saya banyak banget. Saya kan supel dan ramah, di mana-mana berteman.” “Teman seperjuangan kamu di kelompok MDI 5, Ry!” desis Alsaki gemas. “Oh, itu ….“ Ry manggut-manggut paham. “Iya yang itu!" Alsaki menekankan kata 'itu' sedemikian rupa, lalu menyindir tajam. "Kenapa kamu asyik-asyik makan segerobak di sini sementara Riki, Ikim, Damar, dan Tio sudah nyaris lumer di dekat toilet pria sebelah library?” “Mereka ngapain di deket toilet, Pak?” tanya Ry bingung. “Mana saya tahu, Ry!" sahut Alsaki jengkel. Seketika ia merasa lelah. Hari ini sebenarnya cukup buruk bagi Alsaki. Sejak pagi, di tiap kelas yang ia ajar, ada saja anak bermasalah yang membuat Alsaki sakit kepala. Sejujurnya, Alsaki baru lumayan merasa terhibur saat mengerjai Ry di warung tenda ini. "Kamu dan seisi kelompok kamu isinya aneh semua. Kacaunya juga enggak kira-kira. Dosa apa saya kebagian anak-anak macam kalian semester ini.” “Bapak ngerasa sial ya ngajar saya?” tanya Ry sedih. Alsaki mengembuskan napas keras. Ia segera menggeleng untuk mengusir suasana hatinya yang sedang kurang baik. Bukan porsi Ry untuk mendengar keluhan Alsaki soal pekerjaannya yang terkadang melelahkan.“Ry, mana dandanan kamu yang rapi itu?” “Eh?” Ry sontak tersipu. “Kenapa kamu acak-acakan lagi hari ini?” tanya Alsaki tanpa basa-basi. “Kok, jadi bahas tampilan saya, Pak?” gumam Ry malu. “Karena saya capek sekali hari ini, Ry.” Tanpa sadar pengakuan itu meluncur, tetapi Alsaki segera menyesalinya. “Terus apa hubungannya antara Bapak yang capek sama dandanan saya?” “Kan saya udah bilang, dandan yang rapi buat menghibur mata saya. Jadi, setidaknya biar saya kesal sama kelakuan kamu yang ajaib, penampilan kamu masih enak dilihat. Kalau begini … saya tambah tertekan.” Alsaki memasang senyum lebar di akhir penjelasan agar Ry tidak sampai menangkap suasana hatinya yang sedang buruk. “Jadi saya harus ngapain dong, Pak?” tanya Ry dengan rasa bersalah. “Ke toilet pria dekat library sana!” usir Alsaki kejam. “Ih, ngapain?!” tanya Ru kaget. “Pakai nanya!" sentak Alsaki. "Ya, jelas buat gabung sama teman-teman kelompok kamu, Ry!” “Yah, Pak ….” Ry mendesah senewen. “Kenapa?” tanya Alsaki curiga. “Saya harus buru-buru pergi.” “Ke mana?” “Ada kerjaan.” Sejujurnya pekerjaan ini lain dari biasa. Bukan urusan Iridescent, melainkan perkara menyelamatkan kewarasan Vio setelah memergoki suaminya tidur bersama pria lain. “Penting mana antara kuliah kamu dan kerjaan?” tanya Alsaki tajam. “Sejujurnya sih penting kerjaan, Pak.” Ry mengaku disertai ringisan serba salah. “Jadi kamu enggak mau selesaikan kuliah?” tantang Alsaki. “Itu juga mau biar kata sebenernya terpaksa," aku Ry jujur. Andai bisa, ia ingin putus kuliah saja. Namun, bising pertanyaan yang tertuju padanya setiap kali berada di rumah membuat Ry muak. “Kalau gitu untuk saat ini kuliah lebih penting,” putus Alsaki. “Kenapa gitu, Pak?" sahut Ry tidak terima. "Kan kalau enggak kerja Ry enggak punya uang buat bayar kuliah.” “Kamu lupa kalau ini kesempatan terakhir kamu selesaikan kuliah?" tanya Alsaki dengan nada mengancam. "Kalau kamu gagal lagi, kamu bakal di DO atau kena pemutihan.” “JANGAN!” jerit Ry histeris. Tidak peduli kalau dirinya jadi tontonan penikmat bakso yang lain. Bahkan ada yang sampai tersedak saking kaget mendengar jeritan gadis itu. Alsaki tersenyum jahat. “Makanya sana samperin teman-teman kamu!” Segera saja Ry melejit meninggalkan warung bakso, menuju lokasi yang Alsaki beritahu. Meski perutnya buncit kekenyangan, Ry terpaksa berjalan cepat-cepat. Dirinya saat ini berada dalam dilema, dipelototi Vio atau diomeli Alsaki. Terancam tidak lulus mata kuliah Alsaki atau terancam dikarate Vio. Keduanya sama-sama membuat Ry tercekik. Hari ini Ry, Tita, dan Mia sudah berjanji akan membantu Vio pindahan ke apartemennya. Gadis itu sudah tidak sanggup tinggal di rumahnya lagi dan bertemu terus dengan sang suami. “Eh, Kakak ngapain ke sini?” tanya Ikim yang pertama menyadari kehadiran Ry. “Mesti berapa kali gue kasih tau jangan panggil gue kakak?” balas Ry gemas. Ia paling risih dipanggil kakak, rasanya tua dan sangat tidak cocok dengan pembawaannya yang kekanakan. “Abis panggil nama enggak enak, ah!" celetuk Riki. "Situ udah tua.” “Sikat juga lo!” desis Ry keki. “Lo ngapain ke sini?" tanya Damar sedikit sinis. "Katanya enggak bisa ikutan hari ini.” “Gue ditangkep sama Pak Saki pas mau pergi.” “Jadi dipaksa ke sini?” tanya Damar lagi. “Yoi! Disuruh ikut berkubang bareng kalian.” Keempat pemuda itu tidak ada yang menanggapi lagi. “Lagi pada bikin apa, sih?" Ry merangsek di tengah yang lain. "Sini gue bantuin.” “Yang katanya mau bantuin tapi apa yang dikerjain aja enggak tau," sindir Damar yang memang selalu sinis. “Ya tinggal kasih tau aja, sih! Gitu aja susah!” balas Ry kesal. Ry jengkel setengah mati menghabiskan waktu berjam-jam bersama para pemuda berotak kosong yang tidak jauh berbeda dengannya. Motor kelompok mereka sesungguhnya hanya Tio seorang dan yang lain hanya tim berisik. Ketika waktu beranjak semakin sore, Ry memutuskan kabur meski pekerjaan mereka sama sekali jauh dari kata rampung. Ia takut digorok Vio kalau terlambat lebih lama lagi. Ketika akhirnya tiba di apartemen baru Vio dan melihat suasana masih lengang, Ry cukup lega. Setidaknya bukan dia saja yang terlambat. Segera Ry berlari masuk karena kebetulan pintunya memang terbuka. "VIO!" Ry menjerit heboh sambil mencari keberadaan sang pemilik. "Buset! Ngapain teriak-teriak sih!" Balasan segera terdengar dari arah kamar. Suara Vio menuntun Ry menemukan keberadaan gadis itu. Jangan heran kenapa seseorang yang sudah menikah masih disebut gadis. Tentunya karena belum terjamah. "Vio, maapin Ry ya!" Ry menerjang masuk ke kamar Vio dan menemukan Tita juga sudah ada di dalam. "Ry telat banget ya? Maap jadi enggak bantuin Vio pindahan." "Masih bisa bantuin beberes kok," sahut Vio tenang, lalu segera mengedik ke arah tumpukan koper yang belum terjamah. Ry menelan liurnya, kemudian tertunduk lesu. "Yah …, kurang lama datengnya. Kirain udah beres." "Asem!" Vio mendelik galak. "Ternyata sengaja dilama-lamain." "Kidding, ah!" Ry tergelak kencang. "Sini, Ry bantuin." "Eh, kok lo bisa masuk?" Vio terlihat heran. "Kan pintunya kebuka," sahut Ry polos. "Hah?" Vio mendelik horor dan saling pandang dengan Tita. Tita meringis sambil bergumam pelan. "Pasti si Gin enggak tutup pintu." "Parah dia!" seru Vio dongkol. "Enggak tau apa barang-barang gue mahal semua." "Sini aku tutupin dulu deh." Buru-buru Tita berlari keluar sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah menutup pintu depan, Tita kembali ke kamar sambil menerima telepon dari Mia. "Mbak Mia jadi dateng?" tanya Vio saat Tita sudah selesai bicara. "Ini baru ngabarin. Katanya lagi otewe. Bawain makanan buat kita," jawab Tita. "Asyik!" Ry langsung berjingkrak kesenangan. "Baru juga dateng, udah mikirin makan aja!" sembur Vio galak. "Makan kan kebutuhan hidup, Vio." Ry sudah lupa dengan gulungan bakso yang tadi memenuhi perutnya akibat otaknya diajak berpikir keras bersama kelompoknya. "Tanpa lelaki Ry masih sanggup bertahan, tapi tanpa makanan Ry tak bisa hidup." "Itu siapa lagi yang buka pintu?" Vio terlihat waspada saat mendengar suara-suara dari luar kamar. "Mungkin Gin balik." Tita langsung keluar untuk memeriksa keadaan. "Gimana dia bisa masuk? Kan tadi udah ditutup pintunya?" gumam Vio heran. "GIRLS! AYO, MAKAN DULU!" Terdengar suara menggelegar dari luar. "Wah, Mbak Mia udah dateng!" Ry langsung mengenali suara Mia dan itu pertanda makanan datang. "Bener-bener ini anak. Soal makan aja paling gesit." Vio menggeleng heran. Ry tidak peduli dengan hal-hal lain. Fokusnya saat ini hanya menikmati makanan yang Mia bawa. Namun, kebahagiaannya menyantap makanan lezat dari Mia terganggu begitu melihat sebaris pesan dari dosennya. MDI 5: Ry kamu hilang ke mana lagi? Ry tahu itu pesan dari Alsaki. Ia sengaja menamai kontak dosennya itu dengan nama mata kuliah yang diajar. Cepat-cepat ia menjawab dengan berlagak polos. Ry: Hilang gimana maksudnya ya Pak? MDI 5: Saya lihat teman-teman kamu pindah ke emperan minimarket sebelah kampus, tapi kamu enggak ada. Ry menggeram kesal. "Kenapa juga mereka mesti ngemper, sih? Kenapa enggak ngumpet aja biar enggak keliatan." Ry: Ry kan takut kumpul sama cowok malem2 Pak MDI 5: Masalahnya mereka bukan lagi nongkrong tapi lagi bikin tugas Ry. MDI 5: Dan kamu malah menghilang lagi. Ry: Tapi tadi saya udah ke sana Pak. MDI 5: Kamu kumpul sama mereka atau enggak bukan masalah. Pertanyaannya, apa tugas kalian sudah selesai? Ry tertunduk lesu. "Apanya yang selesai? Ada kemajuan aja enggak." Ry: Belum MDI 5: Kalau begitu kenapa kamu kabur? Ry: Kan saya udah bilang ada pekerjaan penting Pak. Ry: Dan ini menyangkut hidup mati MDI 5: Hari ini saya biarkan MDI 5: Tapi lain kali jangan berani kabur lagi. MDI 5: Lulus tidaknya kamu di kelas saya juga urusan hidup dan mati Ry. "Ya, Tuhan … gini-gini amat, sih idup Ry," keluh Ry hampir menangis. Baru pernah seumur hidupnya Ry merasakan dikejar-kejar oleh lawan jenis. Dikunjungi, ditraktir, dikirimi pesan malam-malam. Namun, semua itu bukan urusan percintaan, melainkan perkara tagih-menagih tugas antara dosen dan mahasiswinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN