“Loh, kok lo di sini?” Alsaki terlihat heran saat menemukan Girish di apartemen temannya itu. Alsaki tadinya hanya berniat mampir untuk mengembalikan barang yang ia pinjam dari Girish, tetapi ternyata sang pemilik malah sudah kembali. Keduanya memang saling tahu kode akses apartemen masing-masing, hingga bisa keluar masuk dengan bebas. “Gue kira lagi pergi.”
“Udah balik.”
“Cepet banget lo udah balik.” Berdasarkan prediksi Alsaki, harusnya Girish paling cepat akan kembali menjelang malam. Itu pun tanpa jaminan urusannya sudah selesai.
“Udah selesai ya gue balik.” Girish menjawab santai. “Ngapain lama-lama?”
“Selesai beneran atau selesai berakhir kacau?” ejek Alsaki. Sejak kemarin ia sudah membayangkan betapa sialnya hari Girish pergi berdua dengan Ry. Dalam benaknya terbayang aneka kekonyolan yang akan Ry lakukan dan berujung membuat Girish naik darah.
“Selesai beneran.” Ada nada bangga dalam suara Girish. Bukan apa-apa, masalahnya bagi mereka berdua, jika bisa membuat Ry menyelesaikan urusan kuliah dengan lancar sudah seperti sebuah kesuksesan besar rasanya. “Lo ngapain ke sini?”
“Mau balikin raket lo.” Alsaki menunjukkan tas raket yang ia pegang, lalu meletakkannya di tempat Girish menyimpan peralatan olahraga.
“Lo enggak ke mana-mana?” tanya Girish heran. Seingatnya, kemarin Alsaki mengatakan kalau dirinya akan pergi bersama sang kekasih untuk menikmati tanggalan merah.
Alsaki mengangguk kecil. “Tadinya emang mau jalan sama Echa, tapi males.”
“Kenapa lagi lo?” tanya Girish curiga. “Udah mulai bosen?”
“Sebenernya Echa masih asyik, sih,” ujar Alsaki sambil mengembuskan napas perlahan. “Yang bikin males itu bokapnya. Tiap gue jemput, selalu pasang muka hansip.”
Girish terkekeh mendengar keluhan Alsaki. “Muka lo player banget, sih.”
“Player apanya?” bantah Alsaki dengan nada tersinggung. “Gue baik loh!”
Girish manggut-manggut mengiakan. “Lo emang baik.”
“Ramah juga.”
“Kelewat ramah malah.” Kembali Girish manggut-manggut. “Kebanyakan tebar senyum lo, makanya jadi mencurigakan.”
“Daripada kecut kayak lo.”
Girish mendengkus pelan. “Gue kan enggak lagi deketin siapa-siapa. Buat apa tebar pesona?”
“Enggak bosen lo sendiri terus?” sindir Alsaki. “Padahal tinggal lo kedipin juga banyak mahasiswi yang mau jadi cewek lo.”
“Gue malah bosen kalo ditempelin terus.” Girish mengedik cuek. “Lagian prinsip gue enggak mau pacarin anak mahasiswi.”
“Yakin enggak akan kepincut sama salah satunya suatu saat nanti?” goda Alsaki.
“Kalau pun gue naksir anak mahasiswi, gue pasti bakal tunggu sampai lulus dulu,” jawab Girish bijak.
“Ribet amat.”
“Harus profesional, Ki.”
“Ya, ya, Mr. Pro!” Alsaki mendengkus sebal. “Eh, gimana tadi? Udah fix denah si Ry?”
“Besok bakal gue liat cocok atau enggak denahnya. Hari ini baru liat dari luar. Sepintas sih, oke.”
Alsaki bersiul kagum. “Hebat juga bisa cepet gini.”
“Temen dia owner-nya, jadi gampang.”
Mata Alsaki langsung melotot. “Si Ry punya temen owner perusahaan?”
Girish tersenyum samar. Wajar kalau Alsaki terkejut, ia sendiri pun sama tadi. “Temennya hebat-hebat.”
“Dianya parah,” imbuh Alsaki.
“Belum keliatan mungkin.” Entah makhluk apa yang merasuki Girish sampai membuatnya bicara seperti ini. “Siapa tau dia juga bakal jadi hebat nanti.”
“Tumben mulut lo baik.”
Girish mengangkat bahunya santai. “Gue ngomong kenyataan, Ki. Tiap orang punya potensi, kok.”
“Masalahnya kalo si Ry itu, dari penampilan juga udah enggak ada harapan,” sahut Alsaki blak-blakan.
Girish tersenyum misterius. “Lo enggak liat gimana penampilan dia tadi, sih.”
Alsaki menatap temannya dengan penasaran. “Emang tadi dia kayak apa?”
“Beda.”
“Bedanya?”
“Beda dari biasa.”
“Iya gimana?” desak Alsaki tidak sabar.
“Bersih. Rapi. Manis.”
“Serius?!” seru Alsaki tertahan. Membayangkan seorang Ry yang selalu berantakan setiap saat bisa berubah jadi bersih, rapi, dan manis rasanya sungguh sebuah keajaiban yang mustahil.
Girish menanggapi ketidakpercayaan Alsaki dengan anggukan tenang.
“Ada fotonya?” tanya Alsaki bersemangat.
“Lo pikir ngapain gue foto-foto sama mahasiswi, Ki?” sahut Girish sebal.
“Kali aja.” Masalahnya, bagi Alsaki berfoto dengan mahasiswi bukanlah perkara aneh. Hal itu cukup sering dilakukannya, karena biasanya mereka memang meminta berfoto bersama dan Alsaki tidak pernah keberatan. “Gue jadi penasaran.”
“Mau ngapain lo?" Girish bertanya curiga ketika melihat mata Alsaki yang berbinar jail.
"Ajak dia ketemu."
"Hah?” Untuk beberapa saat Girish melongo. “Buat apa?"
"Mau liat penampilan dia, dong!"
"Jangan gila, deh!"
"Kenapa, sih?"
"Ya, buat apa ngajak dia ketemu di luar urusan kampus?"
"Kata siapa di luar urusan kampus?" balas Alsaki penuh akal busuk.
"Emang lo ada keperluan apa sama dia?"
"Keperluan bisa dicari."
***
"Ya, ampun! Ry cantik banget!" Teriakan Tita langsung terdengar menyambut kedatangan Ry di apartemennya. Ralat! Tepatnya apartemen Gin yang Tita tempati bersama.
"Apa aku bilang, kamu cantik, kan?” ujar Mia bangga melihat betapa hebohnya Tita mengagumi penampilan Ry. “Enggak ada yang bakal bilang kamu dekil lagi kalo begini."
"Tapi Ry bisa mati kurus kalo tiap hari harus dandan begini, Mbak," sahut Ry lemas.
"Emang Ry enggak dikasih makan?" tanya Tita iba.
"Makan sih dikasih, tapi capeknya itu loh enggak kuat.” Ry menjatuhkan dirinya di atas karpet empuk dan tangannya langsung menyambar camilan apa saja yang ada di meja terdekat. “Begadangnya lebih-lebih dari beresin tugas kuliah."
"Ya tapi kan enggak tiap hari juga kamu bakalan waxing, luluran, maskeran, dan lain-lain, dong!” sahut Mia membela diri. “Kemarin kan karena darurat aja. Jadi langsung semua sekaligus."
Tita meringis mendengar rincian penjelasan Mia. "Semuanya dilakuin kemarin, Mbak?"
"Iyalah. Kalo enggak, hasilnya enggak akan semaksimal ini," ujar Mia bangga.
Tita menggeleng takjub. "Mbak Mia emang luar biasa."
"Tapi enggak heran ini anak jadi trauma," celetuk Vio.
“Tapi kan yang penting hasilnya memuaskan,” sahut Mia ngotot sambil mencolek dagu Ry. “Iya, enggak?”
“Memuaskan dalam artian?” tanya Ry bingung.
“Dosen kamu silau enggak liat penampilan kamu yang begini?” tanya Mia penasaran.
“Silau itu maskudnya gimana, Mbak?” Lagi-lagi Ry tidak mengerti.
“Ck, ini anak!” desis Vio tidak sabar. “Maksud Mbak Mia tuh dosen lo terpesona enggak tadi?”
Mulut Ry terlihat sedikit celangap tanda ia baru paham. Namun, jawaban yang menyusul membuat pendengarnya naik darah. “Mana Ry tau.”
“Dia ada komen sesuatu enggak?” tanya Mia mulai jengkel.
“Ada, sih.” Ry manggut-manggut sambil mengingat kejadian tadi. “Pas Ry baru naik ke mobilnya.”
“Bilang apa dia?” tanya Tita bersemangat.
“Katanya tumben Ry bersih,” jawab Ry apa adanya.
“Berarti dia nyadar perubahan lo!” seru Vio sambil menjentikkan jari di depan wajah Ry.
“Tuh, kan!” sambut Mia bangga. “Enggak sia-sia usaha aku.”
“Tapi yang jauh lebih penting itu acara hari ini sukses atau enggak?” Tiba-tiba saja suara Tita berubah serius. “Percuma kalau Ry jadi berkilau tapi urusan kuliahnya enggak selesai-selesai.”
“Bener juga!” Mia mengangguk kencang. “Gimana tadi?”
Ry tersipu malu. “Udah dapet, sih.”
“Cepet banget,” gumam Mia takjub.
“Berkat bantuan Vio sama Mas Ryota,” ujar Ry tulus.
“Seriusan?” Mia dan Tita kompak bertanya pada Vio.
“Yoi!” Vio mengangguk jumawa. “Dia bakal pake denahnya Advaith.”
“Tapi belum pasti, sih.” Ry menambahkan cepat-cepat. Ia tidak berani terlalu banyak berharap karena berdasarkan info dadakan yang dicari, pengajuan denah untuk tugas akhir itu sangat sulit diloloskan, apalagi oleh dosen sekaliber Girish yang terkenal kejam tiada tara. Meski demikian, kalau mencari denahnya bersama dosen itu sendiri, sebenarnya sedikit bisa dijadikan jaminan kesuksesan. “Besok bakal diliat lagi kalau filenya udah dapet.”
"Cukup dulu pembahasan soal tugas kuliah lo,” potong Vio lelah. “Gue mulai mumet.”
“Sama! Ry juga!” sambut Ry kencang. “Ayo, kita ganti topik!”
“Gue penasaran sama kelanjutan hubungan Tita,” ujar Vio tanpa basa-basi.
“Aku kenapa?” tanya Tita bingung. “Hubungan yang mana?”
“Saking banyak sampe lupa dia,” sindir Mia geli.
Ry baru saja hendak ikut menanggapi, tetapi panggilan di ponsel menghentikannya. Awalnya Ry malas menanggapi karena panggilannya berasal dari nomor tidak dikenal. Namun, ia ingat kalau memang sebagian besar nomor kenalannya tidak pernah ia simpan dalam daftar kontak.
“Halo?” sapa Ry ramah. Begitulah gadis ini, meski sedang malas menjawab pun ia akan selalu menanggapi dengan ramah, sama seperti Tita. Sementara Mia dan Vio berbanding terbalik.
“Ry, kamu lagi di mana?” Suara di seberang sana bertanya ceria.
Ry mengernyit heran mendengar pertanyaan yang diajukan oleh sang penelepon. Pertanyaannya seolah mereka akrab, tetapi suaranya tidak. “Ini siapa, ya?”
“Dosen kamu,” jawab sang penelepon datar.
“Eh?” Sontak Ry dilanda mulas. Dosen mana yang menghubungi mahasiswinya di hari libur? Dosa apa lagi yang dibuatnya kali ini?
“Enggak kenal suara saya?” tanya sang dosen sedikit tersinggung.
Ry memicingkan mata. Mencoba mengingat-ingat dengan memorinya yang terbatas. Akhirnya, otak Ry tercerahkan. “Pak Saki?”
“Cerdas!” Alsaki terdengar senang.
“Bapak kenapa telepon saya?” tanya Ry bingung. Rasanya ia sedang tidak punya hutang atau dosa pada dosen yang satu ini.
“Mau ajak ketemu,” sahut Alsaki santai.
“Hah? Saya mau diapain, Pak?” tanya Ry waswas.
“Saya enggak minat ngapa-ngapain kamu. Cuma mau ketemu aja.”
“Kok, aneh,” gumam Ry bertambah bingung.
“Saya penasaran mau lihat penampilan kamu hari ini.”
“Eh?” Mata Ry langsung melebar.
“Kata Girish hari ini kamu kelihatan beda.”
Ry mengerjap kaget mendengar ucapan Alsaki. Belum lagi ketika ditambah teriakan kencang di latar Alsaki.
“KI!” Suara Girish terdengar mengajukan protes berat.
“Ayo, kasih tahu lokasi kamu!” desak Alsaki ceria. “Nanti saya jemput.”
“Bapak kok aneh, sih,” gumam Ry salah tingkah. Masih lebih baik ia dihina-hina soal tugasnya yang tidak pernah beres dan penampilannya yang berantakan, ketimbang dipuji karena penampilannya berbeda. Ry tidak terbiasa. Tidak pernah terbiasa sejak kecil.
“Cepetan, Ry!” Alsaki terdengar tidak sabar dan segera memberi iming-iming. “Sekalian saya traktir, deh! Kamu lagi pengin makan apa?”
Mendengar kata traktir, suasana hati Ry langsung berubah. “Ini Bapak serius mau traktir saya?”
“Iya.”
“Sekalian anterin saya pulang mau juga, Pak?” pinta Ry tidak tahu diri.
“Eh, keterusan dia!” sahut Alsaki kaget.
“Enggak mau juga gapapa, Pak.” Cepat-cepat Ry menambahkan. “Cuma kalau bisa sekalian kan lumayan. Si Boncel belum bisa dijemput. Jadi saya masih luntang-lantung, nih.”
"Si Boncel?"
"Motor kesayangan saya, Pak."
“Oke, sekalian saya antar kamu pulang juga!” putus Alsaki.
Begitu Ry menyimpan kembali ponselnya di saku, tiga pasang mata langsung menatapnya penuh ingin tahu. Ketiga sahabat Ry sudah menanam kecurigaan sejak pertama Ry menyebut ‘Pak Saki’, itulah sebabnya pembicaraan mendadak terhenti dan suasana jadi hening. Semua sibuk memasang telinga untuk mendengarkan percakapan Ry dengan sang penelepon.
“Dosen lo?” Vio yang pertama bertanya.
“Iya.”
“Yang tadi?” tanya Vio lagi sebagai satu-satunya yang melihat Girish secara langsung.
“Bukan, yang satu lagi.”
“Mau apa dia?” tanya Mia heran.
“Ajak ketemuan.”
“Buat?” tanya Tita tidak mengerti.
Ry melemparkan tatapan salah tingkah pada ketiganya sebelum menjawab. “Pengin liat penampilan aku aja katanya.”
Tita mengernyit curiga. "Kok, tiba-tiba?"
"Dikasih tau sama dosen yang tadi kalo penampilan aku beda," jawab Ry tersipu malu. Wajahnya merah padam membayangkan Girish membicarakan penampilannya pada Alsaki. Meski gadis ini belum pernah berpacaran, bukan berarti ia tidak pernah punya rasa pada lawan jenis. Meski Ry selalu cuek, bukan berarti ia tidak bisa berdebar saat mendapat perlakuan berbeda dari lelaki tampan.
“Dosen lo waras?” tanya Vio kejam.
"Yang mana?" tanya Ry polos.
"Dua-duanya," sahut Vio.
Ry meringis membayangkan kelakuan kedua dosennya. “Agak kurang kayanya.”
“Tapi ganteng?” tanya Mia penasaran.
Untuk hal ini jelas Ry langsung mengangguk. “Ganteng.”
“Gantengan yang mana?” Vio ikut penasaran.
“Sama-sama ganteng, sih,” gumam Ry sambil menimbang-nimbang. “Bedanya yang satu murah senyum yang satu kecut terus.”
“Kalo suruh pilih, kamu bakal pilih yang mana?” tanya Tita geli.
“Ih, apaan, sih?!” seru Ry malu-malu. “Kok, jadi disuruh pilih-pilih.”
“Kalo enggak mau pilih, sikat aja dua-duanya,” usul Vio seenaknya.
“Ngaco!” desis Ry kaget, lalu menambahkan dengan pesimis. “Enggak mungkin mereka lirik aku.”
Ry cukup tahu diri. Ia sadar diri kalau tidak ada modal baginya untuk dilirik lelaki tampan nan hebat macam kedua dosennya itu. Sejak dulu, Ry sudah dipaksa untuk sadar kalau dirinya tidak menonjol dan tidak punya kelebihan, baik soal wajah, bentuk tubuh, juga isi kepala. Semua yang ada dalam diri Ry hanya sebatas pas-pasan saja. Tidak ada yang patut dibanggakan. Berbeda dengan kakaknya, Ivana Larasati, yang merupakan pemilik segala kebanggaan.
“Kalo tiap hari lo berkilau gini, mungkin-mungkin aja, sih," hibur Vio.
Ry tidak ingin memperpanjang pembahasan itu. "Aku pamit dulu, ya."
"Mau ke mana?" tanya Tita kaget melihat Ry membenahi barang bawaannya.
"Kan mau ketemu dosen aku."
"Kirain di sini," ujar Mia.
Ry menggeleng cepat. "Bukan."
"Ketemunya di mana?" tanya Mia yang terlihat penasaran.
"Belum tau. Yang pasti mau ditraktir makan enak." Ry menjawab seceria mungkin agar tidak ada yang menyadari kalau hatinya tiba-tiba terasa sedih memikirkan fakta tentang dirinya yang tidak menarik.
"Enggak balik ke sini lagi?" tanya Tita kecewa.
"Enggak."
"Lo enggak jadi nebeng gue?" Vio ikut bertanya.
Ry tersenyum selebar mungkin. "Ry udah minta sekalian dianter."
"Terus dosen lo mau?" ujar Vio heran.
"Mau."
"Beneran enggak waras kayanya," gumam Vio antara kagum dan heran.
Cepat-cepat Ry bergegas meninggalkan apartemen Gin. Ia tidak ingin ada yang menyadari kesedihannya. Tenang saja, Ry bukan tersinggung oleh perkataan mereka. Ia hanya tiba-tiba teringat betapa dirinya dibedakan dengan sang kakak dan berakhir membuatnya tumbuh jadi gadis yang seperti ini.
Ry yang cuek, santai, dan urakan. Terlihat tidak peduli akan penampilan dan segala sesuatu terkait hidupnya. Sebenarnya, Ry juga tidak ingin hidup seperti itu, hanya saja ia lelah bersaing. Ia lelah berusaha untuk terlihat, tetapi selalu kalah. Sekeras apa pun Ry berusaha agar terlihat, ia selalu tertutup oleh bayang-bayang kakaknya.
Itulah yang membuat Ry akhirnya menyerah. Ia belajar untuk jadi tidak terlihat agar tidak perlu lagi merasa kecewa. Ia lelah terus dibandingkan dengan kakaknya yang selalu lebih menonjol tanpa perlu berusaha keras. Sementara dirinya yang sudah mati-matian, nyatanya selalu kalah.
Cukup lama Ry berdiri termenung sendiri di depan lobi hingga sebuah mobil mendekat dan kaca terbuka, kemudian suara ramah milik Alsaki terdengar menyapa. "Hm …, harus saya akui kata-kata Girish betul."
"Hm?" Ry mengerjap kaget.
"Kamu kelihatan beda," ulang Alsaki. “Naik, Ry!”
Ry baru menjawab ucapan dosennya setelah naik ke mobil. "Saya tau hari ini saya keliatan rapi, kan?"
"Sering-seringlah kamu dandan begini, Ry."
"Buat apa, Pak?" tanya Ry malas.
"Buat menyenangkan mata saya."