“Mbak, udah belum?” Ry terlihat sangat gelisah menunggu Mia menyelesaikan riasan wajahnya. Seumur hidup, baru pernah Ry didandani selama ini. Ia yang baru tidur jam 3 subuh tadi, jam 7 sudah dipaksa bangun untuk mandi, lalu segera dipaksa duduk untuk dirias. Dulu, riasan paling top yang pernah Ry alami paling-paling hanya untuk ikut lomba Hari Kartini saat TK saja, selebihnya tidak pernah. Sementara hari ini, Ry rasa-rasanya bisa mendaulat diri bagai calon pengantin. Lamanya Mia bermain-main dengan wajah Ry sudah di luar batas kewajaran.
“Cerewet, Ry!” desis Mia jengkel karena sebentar-sebentar Ry terus mengulang pertanyaan yang sama. “Bisa sabar enggak?”
“Abisnya lama banget, Mbak,” keluh Ry senewen.
Mia melirik jam tangan sebelum menjawab sebal. “Janjiannya kan masih lama.”
“Itu dia, Mbak. Andai enggak dilenong begini sama Mbak, Ry masih bisa menikmati empuknya kasur puluhan juta itu loh,” gerutu Ry perlahan.
“Tidur aja dipikiran.” Mia menjewer kecil telinga Ry. “Pikirin ini muka kamu.”
“Tadinya Ry enggak mikirin muka, Mbak. Tapi sekarang iya.”
“Kenapa?”
“Karena muka Ry tiba-tiba rasanya jadi berat banget. Kayak ditempelin semen berapa lapis gitu rasanya.” Ry berujar sambil berusaha menyentuh pipinya, tetapi tangan Mia lebih cepat menepis.
“Belum liat aja hasilnya kayak apa,” desis Mia galak.
“Kan mau liat kaca dilarang.” Ry mengerucutkan bibirnya.
“Emang. Tunggu aja sampai selesai baru boleh liat.”
Untuk waktu-waktu selanjutnya, Ry berusaha menabahkan diri dan tidak banyak bertanya lagi. Paling-paling hanya setiap lima menit sekali saja.
“Beres, Mbak?” tanya Ry untuk ke 34 kalinya pagi itu.
“Yup!” Mia mengangguk puas, kemudian memutar kursi yang Ry duduki agar menghadap cermin.
Seketika teriakan Ry terdengar begitu matanya melihat hasil karya Mia di cermin. “AAAA!”
Secepat jeritan Ry meluncur, secepat itu pula pintu kamar terbuka dan Lio menerjang masuk bersama Dante dalam gendongannya.
“Ada apa, Na?” Lio bertanya dengan napas terengah. Jelas sekali ia terlihat cemas, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya.
Mia mendelik galak ke arah Ry. “Anak buah kamu tuh jerit-jerit.”
Melihat istrinya baik-baik saja, Lio segera mengalihkan pandang ke arah lain. “Kenapa, Ry?”
“Muka Ry …,” bisik Ry terbata-bata sambil matanya melotot horor. “Muka Ry kenapa jadi gini?”
“Cantik, kan?” ujar Mia bangga.
“Muka Ry jadi kayak bukan Ry ….” Ry terus saja berbisik ngeri. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berparas ayu yang terlihat imut menggemaskan. Ry bahkan hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
Menyadari alasan Ry menjerit histeris, Lio terkekeh geli. “Itu muka kamu kok, Ry.”
Ry menggeleng lemas. “Beda, Mas.”
“Memang terlihat berbeda, tapi masih kamu,” sahut Lio menenangkan.
Perlahan Ry berjalan menghampiri Mia. “Ry enggak pede didandani begini, Mbak.”
“Bagus kok, Ry,” puji Lio menyemangati. “Kamu cantik.”
“Denger tuh kata Lio. Kamu cantik kok, Ry,” dukung Mia.
“Makasih ya, Mbak. Tapi boleh enggak ini dihapus aja?” pinta Ry dengan tatapan memelas.
“Enak aja!” tolak Mia galak.
“Ditipisin dikit?” Ry kembali meminta penuh harap.
“Enggak boleh!” Lagi-lagi Mia menolak mentah-mentah permintaan Ry.
“Sudah, Ry. Bagus, kok. Percaya sama aku,” hibur Lio.
Akhirnya Ry pasrah. Sadar kalau dirinya tidak akan memenangkan perdebatan ini. “Jadi Ry udah boleh berangkat?”
“Ganti baju dulu.” Mia mengedik ke arah kamar mandi. “Aku udah siapin baju buat kamu.”
Dengan perasaan waswas, Ry berjinjit ke kamar mandi untuk melihat pakaian yang Mia siapkan untuknya. Begitu melihat setelan yang tergantung di dekat cermin, seketika Ry lemas. Benar saja perasaannya. Dibawanya blus putih dengan rok selutut berwarna kuning pucat ke kamar. Pakaian yang di mata Ry terlihat begitu manis.
“Mbak, apa harus secantik ini bajunya?” tanya Ry cemas. Ia tidak yakin akan sanggup memakainya dan tetap baik-baik saja.
“Memangnya kenapa?” balas Mia santai.
“Ry enggak nyaman. Enggak terbiasa.”
“Apanya yang enggak terbiasa?”
“Ry enggak pernah pakai rok sejak lulus SMA, Mbak.” Ditunjuknya bawahan berwarna kuning pucat itu.
Mia tersenyum geli. “Itu dalamnya celana, Ry. Tenang aja, aku enggak mungkin pilihin baju yang bikin kamu enggak nyaman. Meski kelihatannya beda, tapi kamu pasti bakal tetap nyaman.”
Untuk kesekian kalinya Ry kembali kalah dalam perdebatan melawan Mia. Selalu seperti itu. Bukan karena Mia terlalu dominan, tetapi pada dasarnya Ry yang terlalu lemah jika berhadapan dengan orang lain.
Pada waktu yang dijanjikan, mobil Girish tiba di depan rumah Mia untuk menjemput Ry. Dalam setiap langkah yang Ry ambil untuk menuju mobil Girish, hatinya kebat-kebit. Ia memikirkan tanggapan dosennya melihat penampilan yang tiba-tiba berubah ini. Namun, di sisi lain Ry berharap Girish kelewat cuek dan tidak akan menyadari perubahannya sama sekali.
Sayang, harapan Ry tidak terkabul. Sambutan bernada heran langsung menyambut Ry begitu gadis itu naik ke mobil. "Tumben kamu bersih."
"Ih, Bapak! Emang biasa saya jorok?" balas Ry berkelakar untuk menutupi kecanggungannya.
"Biasanya kamu kelihatan kurang terawat."
"Tega nian Bapak ni …."
Girish yang tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain memutuskan segera mengganti topik. "Mau ke mana kita?"
"Bapak mau ke mana?" balas Ry tanpa dipikir.
"Saya kan sudah bilang kita mau cari denah."
"Kalau gitu ayo, Pak!"
"Ya, ke mana carinya, Ivory? Daerah mana? Nama tempatnya apa?" cecar Girish gemas.
Ry meringis bodoh. "Enggak tau, Pak."
Perlahan mata Girish memicing. "Kamu belum cari?"
Kembali Ry meringis. "Kirain Bapak yang cariin."
"Kamu pikir saya bapakmu!” Hilang sudah kesabaran Girish yang memang selalu tipis. Sudah ia berbaik hati merelakan hari libur kejepitnya, masakan harus terbuang sia-sia? “Repot amat saya yang cari padahal yang kuliah kamu."
"Jangan galak-galak, Pak. Serem."
"Kalau kamunya tidak bebal dan bikin jengkel, saya juga tidak akan marah-marah," desis Girish gemas.
Alih-alih takut, Ry malah membalas dengan celetukan ringan. "Ah, sama mahasiswa yang baik aja Bapak emang galak, kok."
"Kamu …!" Kini Girish melotot sejadinya.
"Ampun, Pak!" Cepat-cepat Ry memejamkan mata sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah. "Gini aja, deh. Biar Bapak enggak emosi, kita batal aja gimana? Biar saya cari sendiri aja denahnya."
"Mau cari ke mana kamu?" tanya Girish galak.
"Gramed mungkin, atau Vision, apa lagi ya?” Ry memikirkan nama-nama toko buku yang otaknya tahu. “Ah, pokoknya ke mana aja saya cari. Tukang loak pun Ry kejar, Pak."
"Sembarangan kamu!” sembur Girish menjelang murka. “Masa cari denah di tempat begitu."
"Terus di mana dong, Pak?" tanya Ry lesu.
"Cari kantor, Ivory! KANTOR!"
Ry memiringkan kepalanya dan bertanya bingung. "Emang kantor sedia denah ya, Pak?"
"Ivory, kemarin kan Saki sudah jelaskan.” Girish sampai harus memejamkan mata selama tiga detik untuk mengatur emosinya yang terancam meledak. “Kamu cari kantor yang bentuk bangunannya kurang lebih sesuai dengan desain yang ingin kamu buat. Nanti kalau sudah, kamu minta denahnya pada pihak kantor itu."
"Oh gitu …." Ry manggut-manggut perlahan antara paham dan tidak.
"Masa begitu saja enggak tahu, Ivory?” sindir Girish keki. “Kamu ini mahasiswi interior tapi tidak tahu apa-apa sama sekali. Kok bisa-bisanya kamu lanjut sampai sejauh ini."
"Itu dia yang saya juga enggak ngerti, Pak.” Ry mengangguk setuju. “Kok bisa, ya? Padahal otak saya kosong banget."
Girish mengembuskan napasnya keras-keras. "Capek saya ngomong sama kamu. Sekarang begini saja. Coba kamu pikir, kantor mana yang kira-kira bisa kamu datangi?"
"Enggak tau, Pak." Ry menjawab dengan polosnya.
"Apa kamu enggak punya kenalan orang yang bekerja di kantor?"
"Ada sih, Pak."
"Kantor apa?"
"Wedding organizer ada, bridal sama salon ada, studio foto ada," jawab Ry bangga.
"Kantornya besar?"
"Menurut saya sih besar, Pak."
"Berapa pekerjanya?"
"Wah, saya enggak tau, Pak."
"Lebih dari 50 pegawai?"
"Enggak sampai, Pak."
"Tempatnya di gedung perkantoran atau ruko?"
"Ada yang di ruko, yang di rumah juga ada."
"Berarti tidak bisa.” Girish yang tadinya sudah berharap banyak, seketika kembali lesu. “Cari yang lain."
"Harus yang digedung?"
"Iya. Luas bangunannya setidaknya mencapai 8.000 meter persegi."
Ry meringis sambil coba-coba membayangkan dalam kepalanya yang pas-pasan. "Itu gede ya, Pak?"
"Hm."
Tiba-tiba Ry teringat sesuatu. "Ah, kayaknya ada, Pak!"
"Kantor apa?" Girish menanggapi tanpa minat. Paling-paling gadis ini hanya akan memberikan usul asal-asalan lagi.
"Saya kurang yakin juga itu perusahaan apa, Pak. Kalo enggak salah semacam penerbitan gitu. Atau biro konsultasi hukum ya? Duh, Ry kurang jelas, Pak!"
Mendengar Ry menyebut penerbitan, harapan Girish kembali bertunas. "Tidak masalah itu kantor apa, yang kita cari luasannya."
"Tempatnya besar, Pak. Punya gedung sendiri. Berapa lantainya saya enggak yakin, tapi beneran gede, Pak."
Dalam kepalanya Girish menghitung cepat. Sepertinya ada harapan. "Oke, coba kita datangi!"
Ry segera mengarahkan Girish untuk mendatangi Advaith, perusahaan milik mendiang ayah Vio yang sudah diwariskan pada gadis itu. Berhubung sekarang tanggal merah, mereka hanya bisa melihat dari luar saja. Namun, Girish sudah cukup puas. Kantor milik Vio sepertinya bisa Ry gunakan.
Setelah mendapat tanggapan positif dari Girish, Ry segera mendatangi apartemen Gin tempat ketiga sahabatnya yang lain sedang berkumpul. Berhubung saat ini dirinya sedang bersama Girish, terpaksa Ry tidak membawa dosennya naik. Takut sahabat-sahabat buasnya akan berkata yang tidak-tidak dan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, Ry meminta Vio turun dan bertemu di lobi.
"Bersih amat lo?" sapa Vio heran.
"Ck!" Ry berdecak malu.
"Lo cantik loh hari ini.” Komentar Vio serius. “Bersih bersinar kayak dikasih bubuk ajaib."
"Jahat," gerutu Ry malu. Andai di sisinya tidak ada Girish, mungkin Ry tidak akan semalu ini.
"Sering-sering deh lo begini, biar kesempatan buat laku terbuka lebar," goda Vio.
"Vio!" desis Ry malu.
Vio mendekat, lalu berbisik di telinga Ry. "Lo dandan gini demi Pak Dosen?"
"Enggak!” bantah Ry panik. “Vio kan tau Mbak Mia yang punya rencana bikin Ry jadi gini."
"Ah …! Mbak Mia …." Vio manggut-manggut penuh arti.
"Udah, ah! Jangan ngomongin yang lain dulu. Fokus!" ujar Ry senewen.
"Oke. Lo mau apa sih ke sini?"
"Minta denah."
“Denah apaan?”
“Kantor kamu.”
“Advaith?”
“Iya.”
Vio jadi ingat kalau Ry tadi sudah membahasnya sekilas di chat. Namun, akibat membaca pesan sambil mengobrol, Vio jadi tidak terlalu memahaminya. “Lo tadi jadi ke sana?”
“Iya, udah liat. Dan kata Pak Girish mungkin bisa dipake.”
"Oh … ambil aja kalo gitu," ujar Vio santai seolah yang Ry minta hanyalah barang tidak berharga.
"Ih, harus dipastiin dulu cocok atau enggak!" protes Ry gemas.
"Cara mastiinnya gimana?"
Ditanya demikian Ry langsung kebingungan. Cepat-cepat ia menoleh ke samping. "Gimana, Pak?"
"Kenapa tanya saya?" balas Girish datar.
"Kan Bapak dosennya. Kalau bukan tanya ke Bapak, saya mesti tanya sama siapa?"
Meski jengkel Girish menjawab juga. "Dari luas bangunannya dulu."
"Nah, itu! Dari luas bangunannya, Vi."
"Yah, mana gue tau, Ry!"
"Bisa dilihat dari denahnya," ujar Girish tanpa diminta.
"Denahnya ada, Vi?" tanya Ry pada sahabatnya.
"Ada kali.” Vio mengangguk ragu. “Tapi gue enggak tau dan enggak pernah liat."
"Yah … gimana, dong? Apa kita harus ukur sendiri, Pak?" tanya Ry polos.
Girish memutar bola matanya. "Terima kasih."
"Coba kita tanya sama Ryota," usul Vio cepat.
"Emang Babang Ryo tau?" tanya Ry penuh harap.
"Kemungkinan besar iya. Enggak ada yang dia enggak tau soal Advaith."
"Tapi jangan, ah!" tolak Ry tiba-tiba.
"Kenapa?" Vio mengernyit heran.
"Takut ganggu."
"Lo enggak takut ganggu gue?" Vio mendesis jengkel.
Ry meringis santai. "Enggak."
"Ck!” Vio berdecak sebal. “Udah gapapa. Kita tanya Ryota.” Vio segera melakukan panggilan video call dan beberapa saat kemudian Ryota menjawabnya. "Ryota, boleh ganggu sebentar?"
"Ada apa, Violet?"
"Kamu tau soal denah gedung Advaith?" tanya Vio tanpa basa-basi.
Ryota terlihat berkerut heran. "Tahu. Memangnya kenapa?"
"Ry, sini!” Vio menarik lengan Ry dan membawanya mendekat. “Jelasin sendiri, deh!"
"Hai, Mas!” Ry melambai canggung pada wajah Ryota di layar ponsel Vio. “Jadi gini, Mas. Ry itu butuh denah buat tugas akhir kuliah. Nanti Ry akan bikin desain buat rombak gedung yang udah ada."
"Hm?" gumam Ryota kaget.
"Bukan rombak gedung, Ivory,” koreksi Girish. “Kamu hanya meminjam denahnya saja tanpa mengganggu gedung yang sudah ada."
"Oh, eh, iya gitu maksudnya!" ujar Ry gelagapan.
"Jadi tidak ada yang akan terjadi dengan gedung Advaith?" tanya Ryota memastikan.
"Desainnya aja yang diubah, Mas." Ry menjawab cepat, kemudian menoleh ke belakang. "Gitu kan, Pak?"
"Desain dalam proyek TA kamu saja. Desain di gedung aslinya tidak akan terpengaruh sama sekali," koreksi Girish lagi.
Ry meringis bodoh. "Iya gitu maksud Ry, Mas."
"Baiklah. Tidak masalah kalau begitu," sahut Ryota tenang.
"Untung ada dosen lo, Ry,” celetuk Vio geli. “Kalo enggak bakal ditolak mentah-mentah lo. Siapa juga yang mau gedungnya diacak-acak sama mahasiswa gadungan kayak lo?"
“Ya, maaf. Namanya juga masih belajar,” ujar Ry membela diri.
Vio menggeleng geli, kemudian bertanya pada suaminya. "Kamu bisa kasih denahnya?"
"Bisa."
"Kamu tau simpannya di mana?" tanya Vio lagi.
Ryota mengangguk kecil. "Saya yang simpan."
"Makasih banyak, Mas Ryo!" Segera Ry menjerit kesenangan.
"Sama-sama.” Ryota mengangguk sopan. “Kamu butuh untuk kapan? Biar segera saya siapkan.”
Ry langsung menoleh pada dosennya. “Kapan, Pak?”
“Lebih cepat lebih baik,” jawab Girish.
“Kata dosen Ry secepatnya, Mas,” ujar Ry kikuk.
“Besok sudah siap,” sahut Ryota. “Kamu butuh file atau fisiknya?"
"Pak?" Kembali Ry bertanya pada Girish.
"File saja," jawab Girish.
"Enggak kebayang nasib lo tanpa Pak Dosen." Vio menggeleng heran setelah mematikan sambungan dengan Ryota.
Memang benar ucapan Vio, Ry tidak tahu bagaimana nasib pencarian denahnya tanpa bantuan Girish. Bukan karena hal itu terlalu sulit, tetapi karena Ry tidak mengerti apa-apa. Ingat kalau Ry hampir tidak pernah ada dalam tiga pertemuan awal di kelas Studi Mandiri semester ini? Padahal semua tugas penting diberikan dalam tiga pertemuan pertama itu.
"Pak, makasih udah temenin saya hari ini," ujar Ry sebelum berpisah dengan Girish.
Berhubung pencarian denah untuk sementara sudah berakhir, Girish memutuskan meninggalkan Ry di apartemen sahabatnya saja sesuai permintaan gadis itu sendiri.
"Hm." Girish mengangguk kecil.
"Lega banget rasanya!" desah Ry bahagia.
"Lega?"
Ry mengangguk cepat. "Denahnya udah ketemu."
"Jangan dulu merasa lega.” Girish mendengkus sinis. “Ini baru permulaan, Ivory. Penyiksaan kamu masih panjang."