6. Dua Hari Sekali

2324 Kata
"Ry?" Lio menyapa heran saat membuka pintu rumah dan menemukan Ry sedang berdiri sambil tersenyum lebar. Cengiran khas milik anak buahnya di Iridescent ini selalu sukses membuat Lio geli. Sebagai bos yang baik dan bijak, tidak satu kali juga Lio pernah memarahi Ry meski gadis itu sering membuat orang lain naik darah. "Sore, Mas!" Senyum Ry bertambah lebar saja. Berhadapan dengan bosnya di tempat kerja sama sekali tidak membuat Ry takut, canggung, atau sungkan. "Kamu kenapa ke sini?" "Ada tugas, Mas." "Perasaan aku enggak kasih kamu kerjaan, Ry," ujar Lio bingung. Terkadang Lio memang suka memangil anak buahnya ke rumah untuk membicarakan pekerjaan jika ia sedang tidak bisa meninggalkan rumah karena harus bergantian menjaga Dante, putranya yang baru berusia tiga tahun. Lio dan Mia memang sepakat untuk mengurus anak mereka tanpa banyak melibatkan pihak lain dan tetap memberikan pengawasan maksimal. Jadi, meski ada pengasuh di rumah yang bertugas menjaga Dante, sebisa mungkin mereka tidak pernah meninggalkannya tanpa salah satu mengawasi. "Emang bukan Mas Lio yang kasih Ry kerjaan, tapi Maharatu Mia yang bertitah," sahut Ry jail. Mendengar nama istrinya disebut, Lio langsung tersenyum geli. Ia sudah bisa menebak jika tugas yang diberi pastilah sesuatu yang aneh. "Dikasih kerjaan apa kamu malam-malam begini?" "Entah, Mas. Ry pun bingung." Ia hanya tahu kalau Mia ingin mendandaninya agar saat pergi berdua dengan Girish esok hari dirinya tidak akan terlihat memalukan. "Ya udah, masuk dulu aja." Lio melebarkan pintu dan menyingkir agar Ry bisa masuk. "Mbak Istri mana, Mas?" Ry celingukan karena tidak melihat satu orang pun di lantai dasar. Lio menunjuk ke lantai atas. "Lagi mandiin Dante." "Di kamarnya Dante?" "Iya." Mata Ry langsung berbinar. Sudah lama ia tidak melihat kelucuan Dante. "Ry boleh liat, Mas?" "Boleh.” Lio mengangguk geli. “Sana naik!" "Makasih Mas Lio yang paling baik!" Ry berjingkrak kesenangan dan langsung melesat menaiki tangga. Ia menerobos pintu kamar Dante sambil berteriak kencang. "Mbak Mia!" "Bikin kaget aja!" Belum apa-apa Mia sudah dibuat jengkel dengan tingkah Ry. Bukan hanya dirinya yang kaget, Dante pun demikian. Tangan mungil Dante yang sedang memegang gayung kecil refleks tersentak dan alhasil mengenai baju ibunya. “Basah kan jadinya!” "Ry udah ketok-ketok loh!" seru gadis itu membela diri. "Kurang keras, Ry,” desis Mia sebal. “Kayak enggak tau aja gimana ributnya Dante kalau lagi mandi." "Setara sama ributnya pertarungan Mas Suami dan Mbak Istri ya," bisik Ry geli. "Ry!" Mia mendelik galak. "Ampun, Mbak!" Alih-alih takut, Ry malah tergelak kencang. "Mau aku guyur sekalian bareng Dante?" ancam Mia sewot. "Boleh, sih.” Ry mengangguk bersemangat. “Kebetulan Ry bau kecut. Ikut nyemplung aja gitu ke bak mandi Dante?" "Jangan sembarangan!" Mia langsung menghardik Ry yang sudah bersiap masuk ke dalam bak mandi karet milik Dante. Ry bersiul jail. "Galaknya …." “Udah tau galak, masih aja coba-coba!” “Maaf, deh.” Ry mengulum senyumnya. Ia paling suka menjaili Mia yang galak, tetapi sesungguhnya baik hati ini. “Jadi, Mbak Bos yang cantik mau apa suruh Ry dateng ke sini?” “Kan udah dibilang aku mau permak kamu biar besok enggak malu-maluin jalan berdua dosen kamu itu.” Mia menjawab sambil tangannya terus bergerak sigap menyabuni tubuh Dante. “Dududu … segitunya.” Ry berlagak memasang wajah sedih. “Emang Ry ancur banget apa?” “Udah, terima aja niat baik aku,” balas Mia ketus. “Oke!” Ry mengangguk patuh. “Jadi sekarang Ry harus ngapain?” “Sekarang diem-diem aja dulu. Selesai Dante mandi, baru aku urus kamu.” Membayangkan hal yang akan Mia lakukan padanya, seketika Ry meringis ngeri. “Kenapa Ry mendadak jadi mules ya?” “Kalo mules ya boker sana!” usir Mia santai. “Mbak, ih!” protes Ry. “Bukan mules yang itu maksud Ry.” “Laper?” tebak Mia. Masalah hidup Ry itu tidak jauh-jauh dari urusan lapar dan mengantuk, macam bayi saja kelakuannya. Dan Mia beserta yang lain sudah tahu benar kebiasaan itu. “Masa mules karena laper, Mbak?” Ry mengerucutkan bibirnya sejauh mungkin. “Ada-ada aja deh Mbak Bos!” Perlahan Mia menoleh ke samping dan menatap licik pada Ry. “Jadi enggak mau makan, nih?” “Eh, siapa yang nolak?!” Tepat seperti dugaan Mia, Ry langsung menggeleng kencang. Senyum sinis langsung tersungging di bibir Mia. “Katanya enggak laper.” “Kata siapa Ry enggak laper?” jawab Ry cepat. Perutnya saja sudah ribut sejak di mobil Girish tadi, sampai-sampai ia harus menutupinya dengan tas dan jaket untuk meredam suara kukuruyuk yang mungkin akan terdengar nyaring. “Ry cuma bilang mulesnya bukan karena laper. Tapi makan sih jelas ide bagus.” Mia terkekeh geli. Dua hal yang sangat ia sukai dari Ry, kepolosan dan kejujuran gadis itu. “Perut karung kayak kamu emang enggak pernah nolak makanan ya.” “Tentu, dong!” Ry mengiakan tanpa malu sama sekali. “Makan dulu sana!” Mata Ry berbinar bahagia. “Mbak Istri punya makanan?” Setiap kali bertemu dengan Mia atau Lio, perut Ry selalu terjamin. Keduanya tidak pernah membiarkan orang lain kelaparan. Makan lezat akan selalu disediakan menjelang waktunya makan, entah buatan sendiri atau beli. “Aku enggak masak hari ini. Kerjaan banyak banget tadi, ini aja baru pulang.” "Jadi Ry harus masak?" Segera Ry menawarkan diri dengan senang hati. "Enggak usah!” Mia langsung memberikan larangan keras. “Meledak dapur aku ditangan kamu." "Tega amat!” seru Ry merana. “Tangan Ry kan enggak sebusuk Tita." "Sama aja.” Mia mendengkus malas. “Kalo Tita tukang bikin gosong, kalo kamu tukang bikin nyembur isi kuali ke tembok. Damage kalian terlalu parah." Akhirnya, Ry mengangguk pasrah saja karena memang demikianlah kenyataan yang ada. "Jadi Mbak Istri mau masak buat Ry?" "Kamu mau makan apa?" Ry memejamkan mata untuk berpikir sejenak. Hanya beberapa detik saja dan sebuah ide segera mengisi kepalanya. "Biar enggak ngerepotin, Ry sih dikasih mi rebus juga udah bahagia." "Enggak boleh!" larang Mia galak. "Yah … kenapa?" tanya Ry lesu. Padahal membayangkan aroma mi instan rebus dan betapa kenyalnya tekstur makanan itu saat menyentuh mulutnya sudah membuat Ry melayang. “Boleh aja ya, Mbak?” Mia menggeleng tegas. "Nanti muka kamu bengkak." "Ih, masa?" Mia berdecak galak. "Dibilangin enggak percaya." "Mitos kali itu, Mbak," sahut Ry santai. "Bukan mitos, Ry. Itu fakta." Tiba-tiba saja terdengar suara Lio di belakang mereka. Sontak Ry menoleh dan menatap heran. "Masa sih, Mas?" "Jelasin coba sama anak ini, L.” Mia mendelik sebal. “Kali aja dia ngerti kalo kamu yang jelasin." "Coba-coba!” Ry mengangguk setuju. “Kasih penjelasan yang jelas sejelas-jelasnya biar Ry jadi jelas." Mia melotot mendengar ucapan Ry yang kacau. "Itu tata bahasa ancur banget, sih!" Ry tidak peduli dengan omelan Mia, ia malah merengek tidak sabar pada Lio. "Ayo, Mas Suami! Jelasin, dong!" Dan Lio yang baik hati bersedia menjelaskan dengan sabar pada Ry. "Kalau kita makan mi instan di malam hari, biasanya besok pagi pipi akan terlihat seperti mengembang, Ry." "Kok, bisa? Jadi gendut gitu? Beratnya naik?" "Bukan masalah berat naik, Ry.” Lio menggeleng geli. “Tapi mi instan itu memiliki kandungan garam yang tinggi. Kandungan garam yang tinggi itu menyebabkan penumpukan cairan, jadi terkesan bengkak." "Oh, gitu ….” Ry manggut-manggut kecil. Entah paham atau tidak, hanya gadis itu sendiri yang tahu. Namun, ia segera berujar tidak peduli. “Ah! Ry sih enggak masalah!" "Aku yang masalah!” sembur Mia gemas. “Kalo muka kamu bengkak, jadi sia-sia usaha aku." "Ribet ya, Cyin!" desis Ry lelah. "Kalo mau bagus, kamu makan rebusan aja malam ini," usul Mia kejam. Segera saja Ry bergidik. "Ih, ogah, Mbak!" "Kenapa ogah, sih?!” balas Mia geregetan. “Padahal makan rebusan bagus tau! Kamu tuh kebanyakan makan jorok, jadi mukanya kusam. Kalo makan bersih, muka kamu bisa kinclong." "Ry enggak peduli, Mbak. Mau muka kusam, dekil, jerawatan juga bodo amat. Daripada makan tersiksa. Mending muka parah tapi bahagia." "Bebal!" Padahal, Mia juga dulu sama saja. Ia baru mulai mengubah pola makannya jadi sehat sejak menikah dengan Lio. "Biar aja, Nona.” Tanpa diduga Lio membela Ry. “Lelaki yang tepat buat Ry enggak akan lihat fisiknya seperti apa. Pasti dia akan terima Ry apa adanya." "Terima apa adanya betul, L. Tapi bukan seada-adanya juga," sindir Mia. Lio kembali melanjutkan dengan sabar. "Usaha mempercantik diri boleh, tapi enggak perlu terlalu memaksakan juga. Secukupnya aja, yang penting enak dilihat." "Berarti tetap perlu dipermak, kan?" tanya Mia menyimpulkan. "Boleh. Tapi enggak perlu sampai bikin tersiksa." Lio berpendapat demikian bukan sekadar asal bicara, tetapi karena ia sungguh peduli pada Ry. Bagi Lio yang terlahir sebagai anak tunggal, semua anak buahnya juga sahabat Mia sudah seperti adik sendiri. Ia peduli dan menyayangi mereka meski semuanya kerap membuat sakit kepala. "Ah, Mas Bos emang terbaik!" seru Ry senang. Andai tidak takut digorok Mia, mungkin Ry sudah melompat memeluk Lio erat-erat. Pada akhirnya, berkat pembelaan Lio, Ry berhasil selamat dari siksaan makanan rebus-rebusan ide Mia. Ry bisa menikmati makan malam yang normal, mengenyangkan, dan pastinya membuat perut gadis itu sebesar tawa cerianya. Namun, tentunya Mia tidak akan rela membiarkan Ry berbahagia lama-lama dengan aneka makanan menari indah di perut buncit gadis itu. Segera sesudah Ry selesai makan, Mia segera mengeluarkan titah. "Udah selesai makan, kan?” Mia menarik lengan Ry dan membawa gadis itu menuju kamar tamu di dekat ruang baca. “Sekarang waktunya memulai ritual." Begitu masuk ke dalam kamar tamu, Ry mendadak waspada. "Mbak Bos, Ry mau diapain?" "Udah diem-diem aja," balas Mia ketus. "Mbak, Ry takut. Ini apaan banyak lilin begini?" Sebenarnya tidak banyak-banyak amat, tepatnya hanya ada tiga buah lilin aroma terapi yang sedang dinyalakan. “Ssh! Tiduran sana!” Mia menunjuk ke arah tempat tidur dengan dagunya. “Mbak …?” Meski takut, Ry berjalan juga menuju tempat tidur dan berbaring kaku. “Enggak usah banyak cingcong, Ry! Enggak semua orang bisa dapat kesempatan di treatment langsung sama aku, loh! Sekarang buat pakai jasa aku susah, loh! Harus booking dari jauh-jauh, belum lagi tarifnya. Nah, kamu?!” ujar Mia galak. “Enggak pake booking, gratis pula!” Ry sadar betul kalau ucapan Mia memang kenyataan. Akhirnya, ia mencoba diam dan menerima saja hal yang Mia lakukan padanya. “Mbak, ini apaan lengket begini?” Ry tidak bisa menahan mulutnya ketika Mia mulai mengoleskan sesuatu di kakinya. Mia tidak mengindahkan pertanyaan Ry, ia hanya terus fokus melakukan pekerjaannya. “Mbak Istri serem amat deh kalo udah mode diem begini,” bisik Ry dengan nyali ciut. Selesai dengan kaki Ry, Mia bergeser ke dekat kepala. “Angkat ketek kamu!” Ragu-ragu Ry mengangkat juga tangannya. Ketika Mia mulai mengoleskan cairan lengket yang sama di bagian ketika, Ry langsung mengelinjang. “Mbak, geli!” “Diem, Ry! Jangan banyak gerak!” sembur Mia senewen. Ia khawatir cairan yang tengah dioleskan akan jatuh ke mana-mana dan mengotori tempat tidur. “Ya, Tuhan!” Setengah mati Ry menahan dirinya agar tidak berjoget liar setiap kali ketiaknya disentuh oleh Mia. “Siksaan amat sih, Mbak!” Tidak berapa lama, penyiksaan itu berakhir. “Diem-diem di sini, aku keluar dulu sebentar. Jangan berani gerak, paham?” “Oke.” Ry mengangguk patuh. Disuruh diam masih lebih baik ketimbang dikelitiki. Namun, Ry tidak menyangka kalau ternyata Mia meninggalkannya sendirian cukup lama. Mau turun dari tempat tidur, ia takut dibabat habis oleh Mia. Maka, begitu Mia akhrinya kembali, Ry langsung mendesah lega. “Mbak, akhirnya balik juga. Lama amat, sih?” Mia mencibir geli. “Baru juga 15 menit.” “Tapi p****t Ry udah kesemutan, Mbak. Napas juga tinggal satu-satu,” keluh gadis itu merana. “Apa hubungannya sama napas?” “Kan kata Mbak enggak boleh gerak,” sahut Ry polos. “Aku bilang jangan gerak, bukan jangan napas.” “Tapi kan kalo banyak napas jadi banyak gerak. Makanya Ry napasnya dikit-dikit.” Mia menggeleng tidak percaya mendengar jawaban Ry. “Yang ada kamu mati, Ry. Napas mah napas aja kali!” “Mbak mau ngapain?” Ry bertanya siaga ketika melihat Mia menekan-nekan bahan yang tadi Mia oleskan di bagian kakinya. “Nanya mulu. Tutup mata aja mendingan.” Seperti titah Mia, Ry menutup matanya dengan patuh. Sedetik kemudian, terdengar jeritannya yang menggelegar. “AAAWW!” “Ry suaranya dikontrol coba!” tegur Mia kaget. “Sakit banget ya, Tuhan!” keluh Ry hampir menangis. “Mbak apain aku, sih?” “Waxing,” jawab Mia santai. “Biar badan kamu bersih dari bulu.” “Tujuannya apa, Mbak?” tanya Ry pasrah. “Ya, biar besok kamu bersih. Liat aja itu bulu kaki udah kayak jenggotnya Gin kalo enggak cukuran sebulan.” “Mbak, emangnya aku mau ngapain besok?” tanya Ry senewen. “Kenapa sampe bulu kaki bulu ketek dibersihin juga? Emangnya Ry mau nari-nari tanpa busana di depan dosennya Ry?” Mia mengedik tidak peduli. “Kali aja.” “Enggak mungkin, Mbak!” protes Ry heboh. “Ya, udah, sih! Udah bersih juga kamunya.” “Tega,” desis Ry sambil cemberut. “Sekarang ke kamar mandi sana!” “Mau diapain lagi?” Wajah Ry terlihat waswas. “Luluran doang,” jawab Mia santai. “Abis luluran udah?” tanya Ry penuh harap. “Belum.” Bahu Ry langsung merosot. “Apa lagi?” “Muka kamu belum di masker, belum di facial.” “Banyak amat, Mbak,” protes Ry ingin menangis. “Kapan Ry bisa pulang kalo gini caranya?” “Kamu enggak usah pulang. Nginep aja hari ini. Kita bisa-bisa baru beres subuh kok.” Ry mendelik ngeri. “Selama itu?” Mia mengangguk paten. “Selama itulah usaha yang dibutuhkan buat bikin kamu tertolong, Sayang.” “Mbak …,” desah Ry sedih. “Emang Ry dekil banget, ya?” Mia tersenyum lebar untuk menghibur Ry. “Kamu cuma kurang kinclong aja, Ry. Kebanyakan panas-panasan dan jarang mandi.” “Mbak, ih! Dua hari sekali Ry biasanya mandi kok,” bantah Ry tidak terima. “Ivory Kirania!” jerit Mia keki. “Orang normal itu mandi sehari dua kali, bukan dua hari sekali!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN