Bab 11. Bertemu Lagi

1158 Kata
“Kam—“ Suara Novia terhenti saat dia melihat orang yang masuk tiba-tiba ke dalam taksinya. Badannya membeku, bahkan rasanya sulit untuk berkedip. “Mas ... Mas Surya,” panggil Novia pelan dengan suara yang sedikit tercekat. Surya melihat ke arah Novia. “Sejak kapan kamu kerja di rumah itu?” tanya Surya dengan nada serius. “Baru beberapa hari.” “Bagus, berarti aku bisa lebih gampang minta uang ke kamu.” “Maksud Mas apa?” Surya melihat ke arah Novia. “Heh! Kamu pikir aku gak tau siapa pemilik rumah itu. Aku dah kerja di sana lama, dia pasti kasih kamu gaji besar. Dan kamu, harus kasih sebagian gaji kamu ke aku!” tegas Surya. “Mas, ibu sakit. Ibu kecelakaan dan sekar—“ “Aku gak peduli! Itu urusanmu! Yang penting tiap awal bulan kamu harus kasih separuh gaji kamu ke aku!” “Mas! Keterlaluan kamu. Selama ini kamu ngilang seenak kamu. Dan sekarang kamu dateng cuma buat minta uang lagi. Gak! Aku gak akan kasih uang lagi ke kamu!” tolak tegas Novia. Surya yang kesal dengan penolakan Novia, refleks langsung mencekik leher Novia dan mendorong kepala Novia sampai menempel di jendela. Novia yang kesulitan bernapas, segera menepuk-nepuk tangan suaminya dan juga jok belakang sopir. “Heh! Apa-apaan ini!” sopir taksi online segera menghentikan mobilnya. Sopir itu melepas sabuk pengamannya dan menoleh ke belakang dengan membawa tongkat pukul yang selalu dia sediakan untuk berjaga-jaga. “Lepasin gak! Lepas!” bentak sopir itu siap memukul Surya. “Diam kamu! Gak usah ikut campur!” Surya balas membentak si sopir. “Kamu yang diem! Turun gak! Turun!” “Ato saya laporkan kamu ke polisi!” si sopir langsung mengambil ponselnya dan menekan angka darurat siap melakukan panggilan. “Uhuk ... uhuk.” Novia terbatuk-batuk saat tangan kekar Surya lepas dari lehernya. Surya yang tidak ingin berurusan lagi dengan polisi, memilih melepaskan Novia. Dia kemudian menatap tajam ke arah Novia yang masih duduk di sampingnya sambil memegangi lehernya. “Inget Nov, awal bulan kamu harus setor separuh gajimu ke aku. Aku bakalan awasin kamu terus! Jangan coba-coba kabur, ato aku bakalan bikin perhitungan sama ibu kamu!” ancam Surya. “Heh! Jangan ngancam orang sembarangan!” Sopir itu melihat ke arah Novia. “Abis ini saya anter ke polisi, Mbak. Saya punya rekaman ancamannya!” “Berani lapor, bakalan aku abisin ibu kamu!” Surya terus mengancam Novia. “Heh kamu. Heh, jangan kabur kamu!” panggil si sopir saat dia melihat Surya keluar begitu saja dari mobilnya. “Udah, Pak. Udah, biarin aja,” ucap Novia pelan. Sopir itu melihat ke arah Novia yang masih bersandar lemas di jendela. “Mbak, Mbak gak papa? Apa kita perlu ke rumah sakit duku, Mbak?” “Kita emang mau ke rumah sakit, Pak. Ibu saya mau operasi. Bisa anter saya ke sana, Pak.” “Oh iya, Mbak. Ya ampun, orang itu ngeri banget. Minum dulu, Mbak.” Sopir itu memberi Novia minuman botol yang baru saja dia beli sebelum menjemput Novia. “Makasih, Pak.” Sopir segera menjalankan lagi mobilnya dan tidak lupa mengunci pintu agar penumpangnya aman. Dia sesekali melihat ke arah Novia melalui spion tengah. Novia memegang botol air minum itu dengan erat. Dia masih sangat takut dengan apa yang baru saja melandanya. Sangat tidak disangka, dia bertemu lagi dengan sang suami yang sudah lama meninggalkannya. Sejak Novia dinyatakan hamil, Surya makin jarang pulang. Surya hanya pulang untuk meminta atau mungkin lebih tepatnya merampas uang Novia dan ibunya secara paksa. Bukannya menafkahi, Surya malah selalu menyusahkan hidup Novia. Bayangan kemalangan karena kehilangan putranya yang belum pernah tahu ayahnya pun kembali menyerang Novia. Air mata Novia menetes lagi, menyesali hidupnya yang pernah terperdaya oleh Surya. “Mbak, kita udah sampai,” ucap sopir taksi sedikit mengagetkan Novia. “Oh, iya, Pak. Maaf.” Novia segera mengambil uang dari dompetnya untuk membayar ongkos taksi. Novia segera berlari menuju ke ruang informasi. Dia ingin mengetahui di mana ibunya saat ini berada. “Ibu,” panggil Novia saat dia berhasil menemukan kamar sang ibu. “Nov,” panggil Indah lirih. Novia segera berjalan mendekati ibunya. Dia mencium punggung tangan sang ibu, lalu duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur ibunya. “Bu, Ibu udah siap operasi?” tanya Novia. Indah mengangguk. “Nov, kamu uang dari mana buat operasi Ibu? Ibu gak ma—“ “Udah, Bu. Gak usah mikirin soal biayanya. Yang penting Ibu sembuh dulu ya.” Ibu Novia yang telah selesai melakukan operasi patah tulang, ternyata menderita tumor di kakinya yang membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan karena benjolan itu menekan sendinya dan membuat rasa linu yang kuat. “Tapi kamu gak—“ “Enggak, Bu. Novia ketemu orang baik yang mau bantu Novia. Udahlah, nanti aja ceritanya kalo Ibu udah selesai operasi ya. Kata dokter, kalo tumornya udah diangkat, ntar Ibu bisa jalan lagi kayak biasanya. Semangat ya, Bu.” Novia mengalihkan pembicaraan. “Ya belum bisa lah, Nov. Yang ini masih patah. Masih sakit.” Indah tersenyum lebar. Novia ikut tertawa. “Ibu ini bisa aja.” Novia menemani ibunya sampai suster menjemput Indah untuk dibawa ke ruang operasi. Sebagai satu-satunya anggota keluarga Indah, Novia pun mengikuti ibunya sampai ke ruang operasi. Novia duduk di depan ruang operasi. Hatinya tidak tenang, takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara itu di kantor Galang, pria itu sedang menikmati makan siangnya sambil tetap bekerja di ruangannya. Dia melihat ke arah jam dinding, lalu kembali melihat ke piring makannya. “Kamu udah kasih perawatan terbaik untuk ibunya Novia?” tanya Galang pada Aji. “Sudah, Pak. Semua sesuai perintah Bapak. Saya menyiapkan kamar kelas 1 dan dokter terbaik untuk merawat ibunya Novia,” jawab Aji yang sejak tadi di sana, menyiapkan bahan rapat sore ini. “Bagus. Kamu udah selidiki rumah yang biasa di tempati Novia?” “Sudah, Pak. Ini tempat tinggalnya.” Aji menyerahkan foto rumah sederhana yang selama ini ditinggali Novia bersama ibunya. Galang melihat rumah yang terlihat sangat kumuh itu. Meski rumah itu terlihat bersih dan ada beberapa tanaman yang menghiasi teras sempit di depan rumah itu, tapi tetap saja, cat kumal rumah itu membuat rumah itu terlihat mengerikan. “Renovasi rumah itu sampai jadi layak pakai. Ganti beberapa perabotannya dengan yang baru,” perintah Galang. “Renovasi? Pak, apa ini gak terlalu berlebihan? Saya rasa kita sudah cukup membantu kesehatan ibunya saja, tid—“ “Saya gak mau Novia kepikiran kondisi ibunya waktu dia kerja di rumah. Biar dia tetap fokus sama Niko,” kilah Galang. “Bapak yakin? Nanti kalau Bu Vera tahu, semua akan berantakan, Pak.” Galang melihat ke arah Aji. “Apa gunanya kamu di samping saya kalo masih mau ngadu ke mama!” “Maaf, Pak.” Aji menyadari kesalahannya. “Ada apa sama Pak Galang. Gak biasanya dia baik gini ke orang. Aneh banget,” ucap Aji dalam hati sambil sesekali melihat ke arah Galang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN