Pelayan hotel membungkuk sopan saat membuka pintu ruang makan privat di lantai dua hotel tempat mereka menginap. Zeya melangkah masuk dengan alis bertaut, lalu berhenti di ambang pintu.
Meja makan besar yang biasanya digunakan untuk jamuan formal kini dihiasi dua set alat makan berlapis emas, bunga-bunga segar berwarna merah muda dan putih mengelilingi seluruh area. Sebuah buket mawar raksasa tergeletak di kursinya, dihiasi pita satin keemasan.
Zeya menoleh cepat ke arah Kenzo yang baru saja masuk dengan langkah santai.
"Apa-apaan ini? Kamu pesan semua ini?" tanyanya sinis sambil menunjuk buket mawar yang besar.
Kenzo menoleh sejenak, lalu duduk tanpa menjawab.
Pelayan menyodorkan kursi untuk Zeya, tapi gadis itu masih berdiri, tatapannya menyipit curiga.
"Jangan bilang kamu sengaja pesan ini buat pencitraan jadi suami romantis," sindir Zeya.
"Aku tidak punya waktu untuk itu," jawab Kenzo datar sambil mengambil sendok sup. "Jadi jangan terlalu berharap."
Zeya mendecak pelan. "Siapa yang berharap? Aku cuma tanya."
Ia pun duduk dengan kesal, memindahkan buket bunga ke kursi kosong di sampingnya. Pelayan dengan sopan mulai menyajikan sarapan mereka—omelet lembut, roti lapis, salad buah, dan jus segar. Zeya sebenarnya lapar, tapi rasa jengkel di dadanya membuat ia malas mengangkat sendok.
Di seberang meja, Kenzo makan dengan tenang. Tak ada basa-basi. Tak ada senyum, apalagi ucapan selamat pagi.
Ponsel Kenzo yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering. Pria itu melirik layar, menghela napas singkat, lalu berdiri.
"Aku angkat dulu," ucapnya singkat sebelum melangkah keluar ruang makan.
Zeya menggertakkan giginya.
"Dokter apaan sih," desisnya lirih. "Katanya paling ramah, paling sabar, paling disayang pasien. Tapi ternyata nyebelin setengah mati."
Ia menyuap sepotong roti ke mulutnya, mengunyah penuh emosi.
Tak lama, Kenzo kembali. Tapi kali ini langkahnya lebih pelan, wajahnya terlihat lebih serius. Ada semacam kebingungan samar di matanya yang tidak biasa. Zeya melirik sekilas, tapi pura-pura tidak peduli.
Ia kembali mengangkat gelas jusnya.
Namun tiba-tiba tangan Kenzo meraih pergelangan tangannya dan menariknya dengan cepat.
"Eh—apa—"
Zeya kaget bukan main saat Kenzo menggiringnya keluar ruang makan, menyusuri lorong hotel menuju toilet tamu. Ia tak sempat melawan, hanya bisa mengimbangi langkah pria itu yang cepat dan tajam.
"Kenzo! Kamu kenapa? Jangan aneh-aneh!"
Sesampainya di toilet, Kenzo membuka pintu, menarik Zeya masuk, lalu menutup pintu rapat. Ia membungkam Zeya dengan satu tangan di mulut, tubuh gadis itu terpojok di dinding marmer dingin.
Zeya membelalak, tubuhnya menegang, napasnya tertahan.
Tatapan mata Kenzo begitu tajam, menusuk. Dekat sekali. Zeya bisa mencium aroma sabun Kenzo dari jarak itu, campur aduk dengan degup jantungnya sendiri yang menggila.
Namun tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut pria itu.
Zeya menggeliat, mencoba melepaskan diri.
"Jangan sentuh aku!" ucapnya terbata setelah Kenzo menarik tangannya dari mulutnya.
Kenzo tak bereaksi.
Melihat sikap Kenzo yang aneh dan tak menjawab apapun, ketakutan Zeya meningkat. Ia mengira Kenzo akan berbuat macam-macam.
Zeya pun spontan mengangkat kakinya dan menendang keras ke arah s**********n Kenzo.
"Agh—" Kenzo mengerang, tubuhnya membungkuk seketika sambil memegangi perut bawahnya.
Zeya langsung mendorong tubuhnya menjauh, berdiri dengan napas terengah dan wajah merah karena marah sekaligus takut.
"Apa maksud kamu tarik-tarik aku kayak gitu? Gila ya?!" bentaknya keras.
Kenzo tidak menjawab langsung. Ia menegakkan tubuh perlahan, matanya menatap Zeya lekat-lekat dengan ekspresi yang tak bisa dibaca.
**
"Sudah selesai marahnya?"
Zeya mencibir. "Ngajak aku ke toilet segala, terus nahan mulutku. Mau aku tenang gimana?"
Kenzo menarik napas pelan, lalu berdiri tegak. Ia menatap Zeya serius. "Ini serius."
"Masa bodoh!!" ketus Zeya. "Jangan sentuh aku, Dokter Kenzo!!"
Kenzo menghela napas.
"Kakekmu baru saja meneleponku."
Zeya mengerutkan dahi. "Kakek? Terus? Dia nyuruh kamu narik aku ke toilet gitu?"
Kenzo sadar, sejak awal dia harus bersabar menghadapi Zeya.
"Beliau bilang, semua area publik yang akan kita lewati selama di hotel ini, termasuk lorong, lounge, restoran, taman, semuanya dipasangi CCTV. Terhubung langsung ke sistem pengawasan pribadi. Untuk alasan keamanan, katanya."
Zeya membelalak. "Keamanan? Emang aku siapa? Presiden?"
Kenzo menyandarkan punggung ke dinding dan menyilangkan tangan. "Putri tunggal pewaris Hartawan Corp. Kamu pikir cuma orang biasa yang tertarik padamu? Kakekmu punya banyak musuh. Dan sekarang kamu adalah istri ku."
Zeya langsung memalingkan wajah. "Ih, geli banget kamu ngomong gitu."
Kenzo menahan senyum tipis, tapi wajahnya tetap dingin.
"Aku cuma mau bilang," lanjutnya pelan. "Jangan bersikap terang-terangan menunjukkan kamu benci aku. Bukan karena aku peduli tapi karena kita sedang diawasi."
Zeya menggertakkan gigi. "Maksud kamu, kakekku lihat kita sekarang?"
"Tidak. Ini toilet. Tapi tadi di lorong, di restoran, dan nanti di taman, bisa saja."
Zeya mendengus. "Jadi maksudmu aku harus akting manis-manis gitu?"
Kenzo menatap tajam. "Netral. Bukan manis. Jangan terlalu terlihat benci. Itu saja."
Zeya menatapnya lama, lalu menyentakkan tangan dari genggaman Kenzo yang masih menempel di pergelangan tangannya.
"Apa pun itu! Dokter, jangan sentuh aku!"
Zeya lalu melangkah cepat meninggalkan Kenzo, ia keluar dari toilet. Pandangannya lalu sibuk menatap ke kanan dan ke kiri, ke bagian atap dan juga tempat-tempat tersembunyi. "Dimana kameranya!!"
Kenzo menarik tangan Zeya ke sisinya, Zeya kaget matanya melotot ke arah Kenzo. "Dokter, udah aku bilang jangan sentuh aku!!"
"Bersikap normal, Zeya. Kamu bisa ngerti dibilangin, kan? Kamu sadar nggak, disekitarmu mungkin ada bahaya yang sedang mengintaimu."
Mendadak Zeya jadi merinding mendengar perkataan Kenzo itu. Tapi dia tidak mau terbawa perkataan Kenzo yang mungkin saja hanya sekedar provokasi.
"Nggak usah nakut-nakutin!"
Kenzo lalu menyentuh bahu Zeya, mencondongkan dirinya mendekati Zeya. "Kamu bilang waktu itu kamu didorong, kan?"
Mata Zeya langsung membulat, ia berdiri tegap seolah membeku di tempat.
"Kakekmu tau sesuatu, bisa dibilang aku juga mungkin sedang cari tau."
Zeya langsung menatap Kenzo. "Dokter, maksud kamu apa, sih? sadar, nggak? Kamu udah nakut-nakutin di level parah banget! Gimana kalau aku jadi trauma?"
Kenzo sedikit membungkuk, wajahnya mendekat ke telinga Zeya. Suaranya rendah, tapi tajam seperti silet yang menyayat pelan.
"Ada satu hal lagi yang harus kamu tahu,” bisiknya tanpa ekspresi. “Dokter Naomi memberitahuku semalam. Berdasarkan observasi dan catatan selama kamu dirawat, dia menduga kamu mengalami post-traumatic anxiety disorder, ditambah selective dissociative amnesia.”
Mata Zeya langsung membulat. Napasnya tercekat.
“Apa?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Kenzo tetap tenang. “Respons emosionalmu cenderung fluktuatif. Ada pola hipervigilance yang nggak kamu sadari. Dan—” Kenzo menatap langsung ke matanya, “—kamu menunjukkan indikasi conversion symptoms. Itu sebabnya kamu bisa mengalami kelumpuhan sesaat atau gangguan memori spesifik tanpa ada cedera fisik langsung di area itu.”
Zeya menggeleng pelan, wajahnya pucat.
“Kenapa kamu bilang ini?" tanyanya dengan suara bergetar. “Kamu pikir aku gila?”
Kenzo menarik napas. “Aku bilang ini karena kamu berhak tahu. Bukan karena aku menilai mu. Tapi karena kamu perlu pengobatan. Atau kamu mau terus pura-pura nggak tahu, sampai kamu kehilangan kendali atas dirimu sendiri?”
Zeya menunduk. Kata-kata itu menampar keras. Tapi ia tak bisa menyangkal, satu bagian dari dirinya tahu, Kenzo mungkin benar.