Bab 9 - Malam Tanpa Sentuhan

1078 Kata
Lampu tidur redup menyinari kamar hotel mewah itu. Aroma bunga segar masih terasa samar di udara, dan suhu AC yang terlalu dingin membuat Zeya meringkuk dengan selimut hingga ke leher. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit, meski tubuhnya lelah. Tidur di ranjang yang sama dengan pria asing yang kini sah menjadi suaminya bukanlah hal mudah. Di sebelahnya, Kenzo masih terjaga. Tubuh tegapnya terbaring di sisi kanan ranjang, namun tidak bergerak. Matanya terbuka, menatap langit-langit yang sama. Tangannya menyilang di atas perut, sementara napasnya terdengar berat dan teratur. Ia juga belum bisa tidur. Keduanya diam. Tapi udara di antara mereka terasa padat. Menyesakkan. Kenzo mengembuskan napas panjang untuk yang kesekian kali. Gerakan kecil itu cukup membuat Zeya melirik dengan jantung berdebar. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, lalu menutup wajahnya dengan selimut. Beberapa detik kemudian, Kenzo tiba-tiba bangkit dari ranjang. Tanpa suara, tanpa peringatan. Zeya sontak mengangkat kepalanya dan menatap lelaki itu dengan mata melebar. "A-apa yang kamu lakukan?" tanyanya gugup. Kenzo tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sisi tempat tidur, lalu menatap Zeya dengan ekspresi datar. Mata hitamnya dalam dan sulit dibaca. Zeya meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Ia mundur sedikit ke belakang, nyaris menempel ke kepala ranjang. "A-Aku... aku tidur di ujung kok. Kamu kenapa?" gumamnya cepat. Kenzo menyentuh pelipisnya pelan. Ia tampak tidak nyaman, tapi bukan karena Zeya. Lebih kepada perasaannya sendiri yang entah kenapa tidak bisa tenang. Lalu ia menunduk sedikit, memberi isyarat dengan tangan agar Zeya ikut bangun. Sebuah gerakan ringan, tapi cukup tegas. Zeya mengerutkan alis. "Kenapa? K-Kamu... kamu mau ngapain?" "Aku nggak akan ngapa-ngapain," jawab Kenzo datar. "Bangun sebentar." Zeya akhirnya duduk, masih dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Kenzo kembali duduk di sisi tempat tidur, tapi tidak menghadap Zeya. Ia menunduk, menatap lantai seolah mencari kata yang tepat. Hening beberapa saat, hingga akhirnya ia bertanya pelan, tanpa menatap Zeya. "Kenapa kamu setuju menikah?" Zeya terdiam. Jantungnya kembali berdebar. Suaranya tercekat. Ia menatap punggung Kenzo, lalu melipat kedua tangannya di d**a. "Itu pertanyaan yang harusnya aku ajukan ke kamu," balas Zeya cepat. "Kamu yang tiba-tiba muncul sebagai calon suami yang dijodohkan. Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu mau menikah denganku?" Kenzo akhirnya menoleh. Tatapannya tenang tapi dingin, seolah tak terusik oleh balasan Zeya. "Aku nggak punya alasan spesial. Aku diminta menikah, dan aku nggak keberatan." "Kamu tau kan orang yang akan kamu nikahi itu aku?" tanya Zeya, ia penasaran itu sejak awal. Apa mungkin Kenzo juga tidak tau awalnya, seperti yang dialaminya, kakeknya merahasiakan itu dan baru tau saat perkenalan makan malam. "Tau," jawab Kenzo singkat. Zeya meneguk ludah, kini makin gugup. "Kok kamu mau?" "Memangnya kenapa?" tanya Kenzo, keliatan heran. "Ya ... aneh aja sih." Zeya menggaruk kepala yang tidak gatal, tapi dia masih bingung. Diantara banyaknya wanita di luar sana, apalagi Kenzo bukan pria sembarangan, siapa yang tak mau dengan dokter spesialis seperti Kenzo, pikirnya. "Kamu seorang gadis, itu saja alasannya," ucap Kenzo, singkat. Zeya memutar bola matanya pelan. "Serius? Gitu doang alasannya?" Kenzo mengangguk santai. "Menikah bukan akhir dari segalanya. Toh kamu juga nggak nolak di depan kakekmu." Zeya membuka mulut hendak membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya sesak. Ia tak bisa bilang kalau ia hanya tak ingin mengecewakan kakeknya. Tapi kenapa Kenzo terlihat begitu tenang? Kenapa dia tidak marah, atau setidaknya mempertanyakan semuanya dengan emosi? Zeya menunduk. "Aku nggak paham kamu. Kamu terlalu datar. Seolah semuanya nggak penting buat kamu." Kenzo bangkit berdiri, kembali berjalan menuju sisi tempat tidur, lalu berbaring lagi tanpa bicara. "Kamu pikir aku tidur dengan nyaman di sini?" katanya tiba-tiba. Zeya menoleh cepat. "Hah?" "Ini pertama kalinya aku tidur dengan orang lain," jawab Kenzo pelan. "Bukan hal menyenangkan, jadi kamu nggak perlu takut aku akan ganggu kamu." Zeya menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Kenzo tadi menampar egonya. "Aku nggak takut," balas Zeya cepat. "Kelihatan takut," timpal Kenzo sambil menutup mata. Zeya meraih bantalnya dan membalikkannya kasar. Ia diam, lalu bergumam pelan. "Mungkin kamu nyesel juga kan nikahin aku?" Kenzo membuka satu matanya, menatap Zeya singkat. "Kalau aku nyesel, aku nggak akan berdiri di altar." Zeya tidak menjawab. Matanya menatap langit-langit lagi, kali ini dengan napas lebih berat. Hatinya gelisah, pikirannya kalut. Kenzo memang tak banyak bicara, tapi sedikit ucapannya cukup membuatnya merasa kalah. Untuk pertama kalinya, Zeya merasa benar-benar bingung dengan laki-laki itu. Dingin, tenang, dan tak bisa dipahami. Sementara Kenzo memejamkan mata, tangannya diletakkan di atas d**a, lalu bergumam lirih—hampir tak terdengar. "Berhenti menghindar, Zeya." Zeya menoleh cepat. "Apa?" Kenzo tak menjawab. Ia berpura-pura sudah tertidur. Zeya mendengus kesal, tapi tak lagi berkata apa-apa. Dalam diam, masing-masing membawa pikirannya sendiri. Dan malam itu, adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, tanpa sentuhan, tanpa pelukan, hanya dua hati yang sama-sama belum siap membuka pintu perasaan. ** Pagi hari datang tanpa suara. Cahaya matahari menyusup pelan dari balik tirai, menciptakan semburat lembut di seluruh ruangan. Zeya mengerjapkan mata perlahan. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi tidur semalam cukup membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Ia hendak mengubah posisi tidurnya, namun matanya justru bertemu dengan wajah Kenzo yang berada sangat dekat. Napas Zeya langsung tercekat. Wajah itu hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Kenzo tertidur dalam posisi miring, satu tangannya menyilang di atas perut, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya terlihat sangat tenang. Zeya terpaku. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Kenzo yang berbeda. Tidak ada ekspresi dingin atau sikap kaku seperti biasa. Hanya lelaki lelah yang terlihat terlalu manusiawi. Zeya menahan napas. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Tapi sebelum ia bisa berpaling, Kenzo menggerakkan tubuhnya pelan, mencoba bangun. Refleks, Zeya memejamkan mata rapat-rapat dan pura-pura tidur. Ia bisa merasakan tubuh Kenzo bergerak menjauh. Suara desahan kecil terdengar, diikuti oleh suara ranjang yang berderit ringan. Beberapa detik berlalu. Zeya membuka satu mata perlahan, dan benar saja, Kenzo sudah berdiri, menatapnya dalam diam. Lelaki itu tampak terkejut, mungkin tidak menyangka jika tidur mereka sedekat itu. Namun reaksi itu hanya bertahan sekejap, sebelum Kenzo melangkah cepat ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Zeya membuka kedua matanya sepenuhnya dan menarik napas panjang. Ia menyentuh d**a sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang masih tidak wajar. "Apa-apaan sih tadi? Udah kayak jump scare." gumamnya lirih. Ia membalik tubuh dan menatap langit-langit kamar hotel. Rasa canggung mulai menjalari seluruh tubuhnya. Kenzo memang tidak melakukan apapun, tapi hanya berada begitu dekat dengannya saja sudah membuat jantungnya seperti dipukul dari dalam. "Situasi yang ngeselin!" bisiknya pelan sambil menutup wajah dengan bantal. Tapi bahkan aroma bantal itu pun mengandung jejak Kenzo. Dan entah kenapa, justru hal itu yang paling membuatnya kacau. "Astaga Tuhan!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN