Bab 8 - Hari Pertama Jadi Istri

1162 Kata
Zeya membuka mata dengan gerakan malas. Kelopak matanya masih terasa berat, dan seluruh tubuhnya kaku seperti habis mengangkat beban semalaman. Begitu pandangannya menyesuaikan cahaya ruangan, detik berikutnya ia langsung terduduk. Napasnya tercekat. “Ini...?” gumamnya panik. Ranjang empuk berseprei putih itu bukan milik rumahnya. Bukan pula ranjang rumah sakit yang biasa ia kenali. Kamar itu luas, elegan, dengan pencahayaan hangat yang memantul lembut di dinding marmer krem. Di sekelilingnya, bunga putih dan merah muda tersusun manis. Sebagian membentuk hati di meja kopi, sebagian lagi tertata rapi di sisi dinding. Aroma mawar samar memenuhi udara. Zeya menggigit bibir bawah. “Aku tadi masih di mobil, kenapa sekarang?" Ia mengedarkan pandangan, tak ada siapa pun. Ia mencoba mengingat. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana bisa berpindah dari dalam mobil ke atas tempat tidur pengantin ini. Jangan-jangan... Pintu kamar mandi terbuka. Zeya menoleh cepat dan langsung menyesal. Kenzo keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk kecil melingkar di leher. Rambutnya basah, sebagian menempel di dahi. Ia hanya mengenakan celana panjang longgar berwarna abu-abu gelap. Tanpa atasan. Zeya membeku. Mata itu tak berkedip. Dan yang paling ia sesali tidak hanya matanya yang tak berkedip, tapi juga pikirannya yang entah kenapa berhenti bekerja. Otot-otot di tubuh pria itu terlihat jelas. Bukan seperti binaragawan. Tapi seperti seseorang yang terbentuk karena kebiasaan jaga malam, mendorong pasien darurat, atau mengangkat peralatan medis berat setiap hari. Tegas. Tenang. Dan terlalu ‘hidup’ untuk bisa diabaikan. Kenzo tidak menatapnya. Pria itu berjalan santai ke sisi tempat tidur, mengambil ponsel di nakas, dan menelusuri layar seperti tak ada yang istimewa. Zeya hanya bisa menatap, mulutnya setengah terbuka. “Ya ampun...” bisiknya sendiri, nyaris tak terdengar. “Kenapa kamu harus secakep itu tanpa baju, sih?” Seketika ia menutup mulutnya sendiri. Astaga! Itu harusnya cuma di kepala, bukan keluar dari mulut! Kenzo, syukurlah, ia tidak bereaksi. Dengan tenang, pria itu menaikkan selimut, merebahkan diri ke sisi ranjang, memiringkan badan dan kembali fokus ke ponselnya. Tidak ada sapaan. Tidak ada tatapan. Tidak ada izin untuk berbagi tempat tidur. Seolah ia bukan suami barunya. Tapi hanya pasien yang sedang menunggu hasil lab keluar. Zeya menggertakkan gigi. Sial! Bukan hanya tubuh pria itu yang bikin pusing, tapi juga sikapnya. Ia sendiri masih mengenakan gaun pernikahan. Rapi. Utuh. Tidak ada yang berubah. Berarti kemungkinan besar, bukan Kenzo yang membawanya. Atau, kalaupun iya, berarti pria itu cukup sopan untuk tidak menyentuh apapun selain mengangkat tubuhnya ke atas kasur. Zeya ingin bertanya, tapi harga dirinya menahan. “Aku nggak akan ngajak dia ngobrol,” bisiknya ke diri sendiri. Kenzo menggeser posisi tidurnya tanpa bicara, kini dengan satu tangan di bawah kepala, mata masih pada layar ponsel. “Fix, orang ini nggak punya nalar suami-istri sama sekali!” rutuk Zeya dalam hati. Ia menghela napas, kesal sendiri, lalu bangkit sambil menepis ujung gaunnya yang mengembang. Dengan langkah cepat ia masuk ke kamar mandi, dan menutup pintu dengan suara yang cukup nyaring. Seketika itu pula, Kenzo menurunkan ponselnya. Ia menatap langit-langit, lalu mengembuskan napas panjang. Satu kali. Lalu dua kali. Seolah mencoba menenangkan sesuatu. Tapi tak ada yang tahu, apakah itu rasa lelah, emosi, atau godaan yang sedang ia redam mati-matian. *** Zeya berdiri mematung, mengenakan handuk putih yang membalut tubuhnya dari d**a ke paha. Rambutnya masih basah, tetesan air menuruni leher hingga bahu, tapi pikirannya penuh kegaduhan. Ia menarik napas panjang. Kepalanya terasa ringan sejak masuk kamar mandi. Mungkin karena terlalu lelah. Pernikahan itu melelahkan secara fisik dan mental. "Badanku pegal semua." Zeya melangkah mundur untuk mengambil jubah mandinya, namun lantai yang licin membuat kakinya yang basah tak mendapat pijakan kuat di lantai marmer. Tubuhnya terpeleset ke belakang. Bahunya menghantam dinding keras dan pelipisnya membentur sisi tembok. Suara benturan menggaung pendek, lalu semuanya buram. Zeya tak sepenuhnya pingsan, tapi pandangannya kabur. Ia mengerang pelan, ingin bangkit tapi pandangannya gelap. Uap air semakin membuatnya pusing. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka dengan cepat. "Zeya?" Sosok Kenzo muncul di ambang pintu, masih bertelanjang d**a. Ia menatap lantai dengan alis mengernyit, lalu melangkah masuk tanpa ragu. Zeya menyadari kehadirannya, tapi terlalu lemas untuk berteriak. "Jangan mendekat!" Zeya mengingatkan, dia tidak mau Kenzo melihatnya. “Sebaiknya kamu diam.” Kenzo jongkok di hadapannya, memperhatikan sisi pelipis Zeya yang mulai mengalirkan darah. Ia tak bertanya, langsung menyelipkan tangan di bawah lutut dan punggung Zeya. "Heh! Jangan seenaknya! Aku bisa jalan sendiri!" Zeya memukul dadanya, tapi Kenzo tidak bereaksi. "Kalau kamu bisa, kamu tidak akan terkapar di lantai sekarang." "Aku bisa!" Zeya tetap berontak, namun tenaganya terlalu lemah. Kenzo membawanya keluar kamar mandi tanpa ekspresi. Ia menurunkan Zeya dengan perlahan di sisi ranjang, mengambil handuk kecil, lalu kotak P3K yang tersimpan di meja kecil dekat ranjang. Zeya duduk sambil menutupi tubuhnya yang hanya dililitkan handuk, wajahnya menunduk. Ia masih kesal karena digendong begitu saja. Tapi saat Kenzo kembali dengan kapas antiseptik, ia baru menyadari sesuatu. "Itu untuk apa?" Apa mungkin dia luka, batinnya. Kenzo tak menjawab. Ia membersihkan sisi pelipis Zeya dengan tenang, menekan kapas pelan. "Kalau benturan terjadi dua sentimeter lebih dalam, kamu bisa kena temporal lobe. Itu bisa mempengaruhi kemampuan bicara dan daya ingat." Zeya mendesis pelan karena perih. Ternyata benar, ia terluka. “Bisa nggak kasih tahu itu nanti aja? Kamu lagi ngasih tahu aku bisa jadi bodoh hanya karena jatuh?” “Aku kasih tahu supaya kamu hati-hati, bukan supaya kamu tersinggung.” "Ya, tapi nadamu nyebelin!" Zeya menepis kapas di tangannya, walau tak benar-benar keras. "Jangan sentuh!" sentak Zeya. Kenzo menghela napas. "Kamu sewot gini lagi PMS ya?" Zeya mendengkus. "Intinya aku nggak mau disentuh kamu, Dokter" Kenzo menekan kapas antiseptik di pelipis Zeya dengan gerakan perlahan, nyaris tanpa suara. Tangan kirinya menahan dagu Zeya agar tak bergerak, jemarinya menyentuh kulit halus di bawah rahang perempuan itu, sementara matanya fokus memeriksa luka yang tampak mulai kering. Zeya menahan napas. Ia bisa merasakan kehangatan dari ujung jari Kenzo, kontras dengan nada bicaranya yang dingin. Beberapa detik terasa seperti menit, dan saat kapas itu diangkat dari kulitnya, Zeya bisa melihat noda darah tipis yang menempel di sana. Tanpa berkata apa pun, Kenzo menggulung kapas itu dengan dua jarinya, lalu berjalan menuju tempat sampah logam di sudut ruangan. Tapi ia tak langsung membuangnya. Ia menatap kapas itu sejenak, seperti menimbang sesuatu, sebelum akhirnya melemparkannya dengan gerakan pelan namun mantap. Langkahnya kembali mendekat. “Lain kali, periksa dulu lantainya sebelum melangkah. Satu cedera kecil bisa berakibat serius kalau kamu tidak waspada.” Zeya masih mematung di tempat, menatap Kenzo dengan mata membulat. Hatinya dipenuhi banyak hal yang tak bisa ia ungkapkan. Bukan hanya karena luka di pelipisnya, tetapi karena pria itu... terlalu tenang. Dan justru karena tenang itulah, ia makin kesal. "Kalau kamu memang dokter, kenapa tidak sekalian buat peringatan keselamatan dalam bentuk plakat? Tempel saja di jidatku," ujar Zeya dengan nada ketus. Kenzo tidak menjawab. Ia hanya melirik Zeya satu kali, singkat namun menusuk, sebelum kembali duduk di sisi tempat tidur dan membuka ponselnya. Zeya mengerang kesal dalam hati. Hari pertama jadi istri seseorang seharusnya penuh perhatian, bukan seperti ditangani pasien darurat yang menjengkelkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN