Acara pernikahan yang panjang dan penuh basa-basi itu akhirnya selesai. Zeya duduk kembali di kursinya sambil menarik napas panjang. Rasanya baru kali ini ia bisa bernapas lega. Meski kenyataan pahit telah resmi tertulis dalam akad yang barusan diucapkan, setidaknya ia berhasil melewati hari yang terasa seperti ujian hidup itu.
“Zeya, Kenzo, makan dulu sebentar bersama keluarga,” ujar Kakek Hartawan sambil tersenyum tipis. Nada suaranya terdengar lelah, tapi tetap menjaga wibawa.
Zeya menatap meja makan yang sudah ditata dengan elegan. Ia langsung mengikuti langkah kakeknya tanpa banyak komentar. Kenzo ada di sebelahnya, langkahnya tenang dan wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Sesampainya di meja makan khusus keluarga besar, Zeya langsung mengambil tempat duduk dan mulai menyendok nasi ke piringnya. Ia benar-benar lapar. Perutnya sudah keroncongan sejak pagi dan sekarang aroma makanan kesukaannya membuatnya lupa sejenak pada semua kekesalan.
Sementara itu, Kenzo duduk di samping Kakek Hartawan, dan keduanya tampak mengobrol cukup serius. Zeya sesekali melirik ke arah mereka, tapi tak berniat ikut campur. Ia sibuk menikmati potongan ayam panggang madu dan sup bening yang menghangatkan tenggorokan. Akhirnya, sesuatu yang menyenangkan terjadi hari ini.
Belum habis sesuap nasi masuk ke mulutnya, suara tajam terdengar dari seberang meja.
“Wah, kamu pasti bakalan sombong banget udah jadi istri dokter kenzo yang ganteng,” ucap Tania, saudari tirinya dengan nada sinis yang tak berusaha disembunyikan.
Zeya tak menoleh. Ia hanya menyendok lagi potongan daging, pura-pura tak mendengar.
“Jangan seperti itu, Tania. Zeya sudah cukup lelah hari ini,” ucap ibu tiri mereka dengan suara halus, memasang senyum lembut yang terlatih.
Zeya tahu betul. Itu hanya sandiwara. Sebuah akting kelas atas dari wanita yang bisa menangis sambil menyimpan pisau di balik punggung.
“Maaf, Bu. Aku cuma bercanda kok Jangan marah ya, Zeya,” sahut Tania sambil meneguk jus delima di gelasnya. Ia terpaksa, padahal dalam hatinya tak terima.
“Zeya, makanlah yang banyak. Kamu pasti lapar sekali setelah seharian berdiri,” ujar ibu tiri itu lagi, kini menatap Zeya dengan senyum yang tampak hangat tapi hampa.
“Ya," jawab Zeya pendek. Ia tak ingin memancing percakapan. Lidahnya terlalu sibuk mengecap rasa nasi dan lauk yang akhirnya mendarat di perut kosongnya.
Di tengah suasana makan itu, Kakek Hartawan akhirnya meletakkan sendoknya dan menatap Zeya serta Kenzo bergantian.
“Kalian akan menginap di hotel keluarga malam ini,” katanya tenang, tapi tegas.
Zeya langsung menghentikan gerakan makannya. Sumpitnya tergantung di udara.
“Untuk apa, Kek?”
“Bulan madu,” jawab Kakek dengan singkat.
Zeya menatap Kenzo cepat-cepat, mencari reaksi. Tapi seperti biasa, pria itu hanya duduk tegak dengan wajah santai dan tatapan tak terbaca. Kenzo bahkan tak menoleh padanya, seolah tak tertarik menanggapi.
“Kamu bisa menolak semua yang lain, tapi tidak hari ini. Setidaknya hargai pernikahan kalian,” lanjut sang Kakek, kali ini suaranya sedikit melembut.
Zeya ingin membantah. Tapi perutnya baru saja kenyang, dan ia tahu kakeknya tidak sedang ingin berdebat. Dia hanya menahan napas pelan, kembali menaruh sumpitnya di piring.
“Baik,” jawabnya dengan nada pasrah.
Ia menunduk, tak berani menatap siapa pun. Tapi dalam hatinya, ia sudah bersiap. Kalau Kenzo macam-macam, ia tidak akan tinggal diam.
Sementara itu, Kenzo hanya mengangguk pelan dan menjawab, “Baik.”
***
Perjalanan menuju hotel harus dilalui dengan kesunyian. Zeya menahan diri agar tidak buka suara, walau dia bukan tipikal yang diam jika tidak berkenan akan sesuatu. Kalau bukan karena permintaan kakeknya yang baru sadar dari koma, mungkin Zeya sudah mengamuk menolak segalanya.
Posisi duduk keduanya memang bersebelahan, tapi Zeya sama sekali tak berniat menyapa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu.
Kenzo juga sama, dia hanya fokus menatap keluar jendela, seolah keberadaan Zeya tidak berarti apa-apa.
"Kakiku pegal banget, kenapa kakek kolot banget. Emang masih zaman nikahan terus bulan madu, lebih enak rebahan di kamar."
Kenzo mendengarnya cukup jelas, sangat jelas malah. Tapi dia tidak bereaksi apa-apa, kepalanya pusing dengan serangkaian acara tadi, walau dia tak punya waktu untuk protes seperti yang dilakukan Zeya.
Zeya, gadis itu benar-benar masih kekanak-kanakan, pikirnya.
Zeya menguap berulangkali, karena makan terlalu banyak ia jadi kekenyangan dan refleks mengantuk. Zeya bertanya pada sopir masih berapa lama perjalanan keduanya menuju hotel, sopir bilang sekitar lima belas menit.
"Astaga aku ngantuk banget." Tanpa perlu waktu lama, Zeya sudah terpejam dengan posisi duduk menyandar di dekat jendela.
Kenzo melirik spion, lalu meneguk ludah. Ia bergerak seolah ingin melakukan sesuatu, tapi akhirnya tidak jadi.
"Dokter Kenzo, nona Zeya kayaknya ngantuk banget," ujar sopir keluarga Hartawan, dia mengenal Zeya cukup dekat.
Kenzo tersenyum sambil mengangguk. "Dia pasti lelah," jawabnya.
"Non Zeya masih muda banget, saya kira non Zeya tuh belum pantas menikah. Tapi kalau suaminya dokter Kenzo, saya rasa nona Zeya aman."
Kenzo menghela napas, tidak menjawabnya dengan kata-kata, hanya anggukan kecil tak berarti.
Sesampainya di hotel, Kenzo ragu membangunkan Zeya yang tampak sangat lelap. Ia menimbangnya berulang kali sebelum akhirnya memutuskan menggendong istrinya itu dan membawanya ke dalam kamar yang telah disiapkan.
Zeya benar-benar lelah, sangat mengantuk sampai tak sadar saat ini berada di pelukan Kenzo.
"Em, udah sampai mana ya, kok lama." Mata Zeya masih terpejam, ia hanya menggeliat.
Kenzo hanya diam, ia berjalan menuju lift yang akan mengantar mereka ke kamar pengantin.
Pintu lift terbuka, mereka tiba di kamar.
Kenzo lega, ia berhasil membawa Zeya ke atas ranjang tanpa membangunkan gadis itu. Namun punggungnya sakit, bukan karena habis menggendong Zeya yang bertubuh kecil. Tapi mungkin ia kelelahan karena serangkaian acara pernikahan hari itu.
"Astaga, aku harus mandi." Setelah membaringkan Zeya, ia langsung bergegas membersihkan diri.
Zeya mengucek matanya, ia mulai bergerak gelisah namun merasa nyaman setelahnya. "Empuk, udah sampai ya."
Namun tak lama ia duduk sambil membuka lebar-lebar matanya. "I-Ini dimana?"