Langkah kaki Zeya terus membawanya menjauh dari kamar hotel, keluar tanpa tujuan pasti. Dadanya terasa sesak, pikirannya penuh, dan tangannya masih menggenggam erat sebuah pena logam kecil berukir nama “Amara”. Itu satu-satunya peninggalan Bunda yang selalu ia bawa ke mana pun. Hatinya terasa seperti dirobek, satu sisi panas karena marah, sisi lain membeku karena kehilangan. Ia sampai di taman hotel. Sepi. Daun-daun berguguran tertiup angin yang mulai berembus lebih kencang. Zeya duduk di bangku panjang, memeluk lututnya sendiri. Rambutnya berantakan tertiup angin, wajahnya tertunduk. "Bunda," bisiknya pelan, menatap pena itu. "Aku kangen." Air matanya jatuh, membasahi jemari yang menggenggam erat benda kenangan itu. "Aku benci semua ini. Aku benci harus nikah sama orang asing. Aku ben