Zeya berguling ke kiri dan ke kanan, tangannya sibuk menutup wajah sendiri dengan bantal. “Kenapa sih tidur di sebelah orang segitu susahnya?” gerutunya lirih. Di sebelahnya, Kenzo terbaring tenang. Nafasnya teratur. Tapi Zeya tahu, pria itu belum benar-benar tidur. Benar saja. Tak lama, terdengar suara notifikasi ponsel. Kenzo membuka pesan dari Naomi—psikiater yang sempat menangani Zeya atas permintaan keluarga. Ekspresi wajahnya berubah. Serius. Alisnya menyatu, tatapannya dalam. Ia membaca laporan panjang dari Naomi, yang menyinggung tentang kemungkinan gangguan kecemasan pascatrauma yang menumpuk sejak kepergian ibu Zeya, ditambah tekanan sosial dan konflik emosional dengan keluarga barunya. Laporan itu bukan sekadar catatan medis. Itu adalah serpihan kehidupan Zeya yang tak per