Zeya mengepalkan kedua tangannya. Napasnya berat, tapi kali ini bukan karena takut. Ia berdiri dari kursi, melangkah cepat ke pintu dan membukanya tanpa ragu. “Nyonya Elina,” panggilnya dengan suara lantang. Langkah Elina yang hampir mencapai pagar terhenti. Wanita itu menoleh pelan. Pandangannya terangkat penuh tanya dan sedikit kesal. Zeya berdiri di ambang pintu, tak memedulikan panasnya matahari yang menerpa wajahnya. “Aku belum selesai bicara.” Elina menegakkan tubuh, melipat tangan di depan d**a. “Kalau kamu masih ingin mendebat, percuma. Aku tidak tertarik.” “Aku tidak sedang mendebat,” Zeya mengangkat dagunya. “Aku hanya mau kamu dengar sesuatu.” “Nyonya Elina,” suaranya mulai tegas, “selama ini kamu selalu memandangku rendah. Tapi mulai sekarang aku tidak akan diam.” “Kamu