Elina keluar dari gedung dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil. Tumit sepatunya beradu keras dengan lantai marmer, menandakan betapa tergesa dan tegangnya ia. Udara siang yang panas pun tak mampu membuat keringatnya keluar, karena yang terasa hanya dingin merayap di punggung. Begitu masuk ke mobil, ia menutup pintu dengan hentakan. “Jalan,” perintahnya singkat pada sopir. Perjalanan pulang ia habiskan dengan diam, hanya tatapan kosong ke luar jendela. Rahangnya mengeras, jemari menekan paha hingga meninggalkan bekas. Kata-kata yang tadi ia dengar terus berputar di kepala—tentang pengacara terkenal, biaya ratusan juta, dan kasus percobaan pembunuhan cucu keluarga Hartawan. Semua itu terdengar seperti vonis mati yang sebentar lagi jatuh kepadanya. Mobil berhenti di halaman ru