Siang itu langit mendung tipis. Zeya Arluna Hartawan menutup laptop lebih cepat dari jadwal, lalu berdiri sambil merapikan blus dan mengambil tas kecil. Ia menoleh ke meja samping tempat sebuah kotak makan tertata rapi. Di dalamnya ada nasi hangat, tumis buncis, ayam kecap tanpa pedas, dan potongan buah mangga. Ia menutup kotak itu dengan hati-hati, memasukkannya ke paper bag, lalu menarik napas untuk menenangkan detak yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Pak, kita ke rumah sakit dulu,” ucap Zeya pada sopir di lobi kantornya. “Siap, Bu,” jawab sopir sambil membuka pintu belakang. Perjalanan singkat terasa lebih panjang karena kepala Zeya dipenuhi rencana kecil yang sederhana. Ia ingin datang diam-diam, mengucap “hai” dengan senyum utuh, lalu menyodorkan bekal makan siang. Ia membaya