Ia memasukkan ponsel ke tas, melangkah ke luar kanopi, dan menaiki mobil yang sudah menunggu. Ketika mobil bergerak, Zeya menoleh ke belakang, melihat bangunan rumah sakit mengecil. Hatinya terasa ganjil, bukan karena ia tidak percaya pada Kenzo, melainkan karena ruang kecil bernama cemas sudah telanjur terbuka. Di lantai empat, Kenzo berdiri di depan nurse station sambil menenteng paper bag yang baru saja diantar perawat. “Istriku tadi ke sini?” tanyanya, memastikan. “Iya, Dok,” jawab perawat senior. “Beliau menitipkan bekal. Katanya lebih baik dimakan sekarang.” Kenzo mengangguk. “Terima kasih.” Ia menoleh ke lorong. Di sana, beberapa perawat muda yang tadi bercakap-cakap langsung menunduk dan kembali pada berkas masing-masing. Kenzo tidak memikirkan itu. Ia sudah memencet tombol lif