Zeya berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri sambil merapikan gaun tidur yang baru saja ia temukan di dalam lemari Kenzo. Itu bukan bajunya, dan jelas bukan pilihan waras untuk cuaca malam yang agak dingin. Tapi entah kenapa, kain satin selutut berwarna maroon dengan tali bahu tipis itu menggoda untuk dipakai. Ia bahkan tidak sadar bahwa belahan di dadanya terlalu rendah hingga bayangan kulitnya tampak memantul di cermin. “Cuma mau tidur. Kenapa ribet amat?” gumamnya. Tapi ketika Kenzo masuk ke kamar, yang pertama kali ia lakukan adalah berhenti di ambang pintu. Hanya dua detik. Tapi cukup untuk membuat jantungnya menggedor seperti sirine darurat. Zeya menoleh. “Kenapa? Ada yang aneh?” Kenzo meneguk ludah diam-diam. Ia tidak menjawab. Sebagai dokter spesialis bedah, i