Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajah Aksa yang tampak begitu tegang. Garis-garis kekhawatiran tampak tegas di dahinya. Sementara itu, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard menelusuri dokumen-dokumen internal yayasan milik Shinta. Setiap baris data yang ia telusuri terasa seperti seutas benang tipis yang perlahan tapi pasti merajut sebuah teka-teki besar yang selama ini mengganjal di pikirannya. Ada feeling nggak enak. Aksa mengembus napas berat. Tiba-tiba, pandangannya terpaku pada sebuah nama yang muncul di antara daftar dewan yayasan. Ishana Hoffmann. Advisory board. Sontak, Aksa mengerutkan keningnya dalam. Jantungnya langsung berdetak lebih kencang, dag dig dug seperti genderang yang memperingatkan akan bahaya mengintai. Tanpa ragu, ia mengetik cepat di kolom pencar