Malam itu hujan turun tanpa aba-aba. Tidak deras, tapi cukup membuat kota seperti dibungkus kabut kelabu. Langit gelap nyaris tanpa bintang seakan ikut menahan napas menanti sesuatu yang akan pecah. Lira turun dari taksi yang membawanya dari hotel tempat Ishana menginap. Langkahnya pelan menuju apartemen yang dulu ia sebut rumah. Namun, apartemen itu sekarang terasa seperti medan perang yang belum selesai. Tangannya dingin saat menyentuh kartu akses. Ada sedikit getar di jari-jarinya. Ia tidak tahu mengapa semua ini terjadi dan menjadi lebih rumit. Pintu terbuka. Dan dalam cahaya temaram ruang tamu yang hanya diterangi cahaya dari lampu malam kecil di sudut, Aksa berdiri di sana. Lira tertegun. Hujan di luar seperti berhenti bergemericik. Suara AC, detik jam, dan napasnya sendiri jadi