Malam semakin larut, tetapi Aksa tidak memiliki keinginan untuk kembali ke apartemen. Ia duduk di balik meja mini bar di antara ruang tamu dan ruang makan di rumahnya yang luas. Lampu gantung di langit-langit memancarkan cahaya keemasan yang lembut membentuk bayangan samar di lantai marmer yang dingin. Di tangannya, segelas anggur merah berputar perlahan menciptakan pusaran kecil di permukaannya. Aroma khasnya bercampur dengan wangi kayu dari perapian yang jarang dinyalakan. Namun, tak satu pun dari itu bisa menenangkan pikirannya. Lira. Nama itu terus berputar di kepalanya seperti sebuah mantra yang enggan pergi. Wajah pucatnya yang Aksa lihat tadi pagi, sorot matanya yang penuh luka, dan kata-katanya yang terasa lebih menyakitkan daripada tamparan masih melekat diingatan. Aksa mengatu