Udara di kamar itu seketika terasa menyesakkan seperti tidak ada ruang bagi Lira untuk bernapas dengan lega. Aksa berdiri di ambang pintu dengan tubuh menegang. Tatapannya tajam menusuk lurus ke mata Lira. Sorot mata gelapnya dipenuhi amarah yang tidak ia sembunyikan sedikit pun. Lira masih terduduk di tepi ranjang dan ponsel masih melekat di telinganya. Namun, suaranya tercekat saat melihat ekspresi Aksa yang tampak berbaha. "Apa aku mengganggu?" Ulang Aksa masih dengan nada sinis yang sama seperti sebelumnya. Lira menelan ludah, lalu buru-buru berkata ke ponsel, “Mas, nanti aku hubungi lagi.” Ia belum sempat menekan tombol akhir panggilan ketika Aksa melangkah maju dan merampas ponsel dari genggamannya. “Aksa!” seru Lira terkejut sambil berusaha meraih kembali ponselnya. Namun, se