Besok harinya Siang itu langit Jakarta mendung tapi kering. Gedung-gedung tinggi tampak seperti monumen bisu atas segala kepalsuan yang selama ini dibungkus rapi. Aksa duduk di ruang kerjanya. Kali ini ia duduk dengan sikap tegap dan wajah yang tak lagi diliputi kesedihan. Di hadapannya, ponsel menyala dengan satu nama di layar, Mama. Aksa menekan tombol call dan mendekatkan ponsel ke telinganya. Nada tunggu hanya dua kali sebelum suara dingin Retno, mamanya, menjawab. “Aksa. Akhirnya kamu ingat masih punya mama?” Aksa tidak terpancing. “Aku ingin kita bicara. Sekarang. Soal Lira.” Keheningan jatuh menjadi atmosfer sementara, lalu Retno berkata dengan nada datar, “Kalau ini soal permintaan maaf Mama yang belum sempat Mama sampaikan padanya—” “Bukan itu,” potong Aksa, “aku ingin Mama