TTIIL.09 AKU TETAPLAH BALDWIN MU
Dengan rasa yang sangat gugup aku melangkahkan kaki memasuki kamar pengantin yang telah di sediakan. Kamar pengantin yang baru saja aku masuki ini berada di Star Palace, tepatnya di samping kamarku sebelumnya. Meski kamar pengantin ini barada di samping kamarku, aku tidak pernah memasukinya. Karena kamar itu selalu terkunci dan hanya akan dibuka saat Kaisar datang mengunjungi Permaisuri.
Saat Kaisar Sammuel Cyrille masih hidup dan Chalista masih menjadi seorang Permaisuri, ruangan itu tidak pernah digunakan. Bahkan Star Palace juga tidak pernah ditempati selama bertahun-tahun. Karena dari awal menjadi Permaisuri, Chalista tidak pernah tinggal di Star Palace. Ia tinggal di Moon Palace yang ada di sisi barat The Imperial Palace yang hingga saat ini masih ia tempati. Sedangkan Star Palace yang ada di sisi timur The Imperial Palace ini di biarkan kosong begitu saja, namun tetap terawat. Karena sebelumnya Star Palace ini adalah istana dimana ibu dari Kaisar Baldwin pernah tinggal sebelum beliau mangkat.
Aku duduk di kursi panjang ottoman yang ada di bagian ujung ranjang. Aku duduk dengan perasaan tegang melihat ke sekelilingku. Terlihat kamar pengantin ini di design begitu indah dengan berbagai ukiran khas aristrokat pada sudut dindingnya yang berwana keemasan. Dinding kamar ini berwarna royal blue yang begitu terang. Namun setiap sudut ruangannya yang berukiran emas membuat warna dinding itu terlihat tidak mencolok, malah terlihat sangat mewah.
Aku terus memperhatikan setiap inchi kamar pengantin ini. Telihat semua perabotan yang digunakan adalah perabotan berkualitas tinggi dengan gaya aristrokrat. Menurut informasi yang aku dapat, semua perabotan yang ada di ruangan Kekaisaran Oeste ini dilapisi oleh emas 24 karat. Benar-benar sangat mewah hingga aku yang hanya orang biasa ini seumur hidup pun belum tentu mampu membelinya.
“Permaisuri, apa kamu sudah lama menunggu?” Tiba-tiba suara pria yang sangat enak di dengar membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh kearah dari mana suara itu berasal. Terlihat Kaisar Baldwin yang baru saja memasuki ruangan tersenyum padaku. Dengan rasa gugup dan tubuh yang sedikit gemetar, aku bangkit dari kursi dan membungkukkan tubuhku, “Yang Mulia… Yang Mulia sudah datang?”
“Sayang, di kamar ini hanya ada kita berdua. Jadi kamu tidak perlu bersikap formal seperti itu padaku. Di luar kamar aku adalah seorang kaisar bagi rakyatku. Sedangkan saat di kamar aku tetaplah Baldwinmu.” Kaisar Baldwin yang sudah berada di hadapanku memelukku dengan erat.
Aku membalas pelukkan Kaisar Baldwin dengan pelukan yang cukup erat. Kali ini aku merasa sangat bahagia karena bisa kembali memeluknya setelah sekian lam tidak meluknya. Terakhir kali kami berpelukan adalah saat Baldwin yang sudah menjadi sorang Kaisar datang menjemputku ke Bangkok dan melamarku. Moment itu benar-benar mengharukan karena pada saat itu aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu kembali dengannya setelah sekian lama ia meinggalkanku tanpa kabar.
“Kenapa kamu menangis dalam pelukanku, Sayang? Apa yang mebuatmu sedih?” Kaisar Baldwin bertanya padaku dengan lemah lembut.
Aku menggelengkan kepala sejenak dan berkata, “Tidak, aku menangis bukan karena sedih. Aku menagis karena merasa terharu dengan apa yang telah aku lalui selama ini. Rasanya sudah terlalu lama aku tidak memelukmu. Aroma tubuhmu sama sekali tidak berubah. Aku benar-benar sangat merindukanmu.”
“Aku juga sangat merindukanmu, Sayang.”
Kaisar Baldwin melepaskan pelukannnya padaku dan melangkah ke sudut kamar, “Sebentar, aku akan membuatkan teh untukmu.”
“Yang Mulia, biar aku saja yang membuatkan tehnya.” Aku berusaha mencegah Kaisar Baldwin yang hendak melayaniku.
“Tidak apa-apa, kamu duduk saja di kursi itu. Aku akan membuatkannya sebentar.”
“Biar aku saja.” Aku melangkah mengikuti Kaisar Baldwin yang sedang membuat teh.
“Hey, cepat duduk sana. Apa kamu tidak merindukan teh buatanku? Sebaiknya kamu tetap duduk dengan tenang disana dan biarkan aku bekerja. Harusnya kamu bahagia dilayani oleh seorang Kaisar sepertiku. Karena di luar kamar nanti tidak ada sorangpun yang bisa memerintahku. Jadi tenang dan nikmati saja saat aku melayanimu, Permaisuri.”
“Terima kasih, Kaisar Baldwin.”
Aku kembali duduk di kursi panjang ottoman sambil menunggu Kaisar Baldwin selesai membuatkan teh untukku. Tidak lama kemudian Kaisar Baldwin datang menghampiriku dengan secangkir teh di tangannya. Ia mengulurkan tangannya memberikan cangkir itu dan berkata, “Minumlah selagi hangat.”
“Terima kasih.”
Aku dan Kaisar Baldwin duduk bersama sambil menikmati secangkir teh yang sangat menengkan. “Bagaimana rasanya?”
“Sangat enak. Sedikitpun rasanya tidak berubah dari yang pernah Yang Mulia hidangkan untukku dulu.” Aku tersenyum hangat menatap wajah tampannya yang duduk di sampingku.
Kaisar Baldwin kembali menatapku dalam dan kemudian berkata sambil menepuk bagian sofa yang menjadi ruang pemisah antara kami, “Sayang, kemarilah. Jangan jauh-jauh dariku.”
Dengan perasaan gugup aku mengerakkan tubuhku bergeser ke samping mendekat pada Kaisar Baldwin. Ia adalah pria yang aku cintai, dan aku telah terbiasa dekat dengannya. Tapi malam ini terasa begitu berbeda. Malam ini adalah malam dimana aku telah berstatus sebagai Permaisuri Kekaisaran Oeste, istri dari Kaisar Baldwin. Meski saat ini malam kedua menjadi Permaisuri, namun malam ini merupakan malam pertama bagi kami untuk menjadi sepasang suami istri yang seutuhnya.
Kaisar Baldwin memeluk tubuhku yang telah duduk di sampingnya dengan erat. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke hadapanku, menatapku begitu dekat. Tercium aroma mints dari nafasnya yang begitu segar menerpa wajahku. Tubuhnya yang kekar yang sedang memelukku beraroma citrus, memberikan ketenangan saat aku menciumnya. Pelukannya benar-benar memberi kenyaman yang tak ingin aku lepaskan.
Kaisar Baldwin mendekatkan bibirnya dengan bibirku, kemudian ia menciumku begitu lama dan penuh perasaan. Ini adalah ciuman yang sangat berbeda dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Karena semua perasaan yang ada dihati kami tertuang di dalamnya. Berbagai gejolak memburu di dalam d**a, hingga nafas kami tersengal menahan panas yang menyebar di seluruh tubuh. Hingga akhirnya Kaisar Baldwin menghentikan gerakannya saat kami sudah sulit untuk bernafas.
“Kita lanjutkan di atas ranjang saja.” Kaisar Baldwin berbicara dengan suara serak dan mata sayu.
****
Pagi telah menjelang, aku terbangun karena cahaya matahari yang menyilaukan mataku. Aku merasa seluruh tubuhku terasa sakit, di tambah seolah sedang dihimpit oleh sesuatu. Aku yang baru saja membuka mata, samar-samar aku melihat seorang pria tertidur lelap di sampingku. Pria itu adalah suamiku, Kaisar Baldwin yang sedang tertidur lelap sambil memelukku erat.
Aku bergerak perlahan memiringkan tubuhku menghadap pria yang ada di sampingku. Sekilas aku teringat bahwa diriku telah menikah dengan Kaisar Baldwin kemarin. Aku menatap Kaisar Baldwin yang masih tertidur lelap dihadapanku. Wajah tampannya yang bagaikan pahatan patung Yunani membuatku selalu merindukannya. Aku mengulurkan tangan hendak menyentuh wajah tampannya itu. Aku menyentuh setiap sudut wajahnya dengan lembut agar ia tidak terbangun. Namun tiba-tiba ia bergerak, membuatku yang sedang menyentuh wajahnya terkejut. Dengan segera aku kembali menarik tanganku agar tidak mengganggu tidur Kaisar.
Namun saat aku hendak menarik tanganku kembali, tiba-tiba Kaisar Baldwin yang masih memejamkan mata itu meraih tanganku dan menggenggamnya. Perlahan ia membuka matanya dan tersenyum hangat padaku, “Morning, Permaisuri…” Kemudian ia mengecup keningku dan kembali memeluk tubuhku yang masih berbaring di sampingnya.
“Apa kamu sangat lelah, Permaisuriku?” Kaisar Baldwin bertanya dengan suara serak.
Aku mengangguk pelan dalam pelukannya sambil mencengkeram selimutku. Kemudian Kaisar Baldwin menyentuh pipiku dengan lembut, menepikan rambutku ke belakang telinga agar aku tidak merasa teranggu karena rambutku. Pelukan yang diberikan oleh Kaisar Baldwin padaku benar-benar mambuatku terhipnotis dan tidak ingin berpisah dengannya.
“Yang Mulia…” Aku memanggil Kaisar Baldwin yang sedang memelukku.
TOK! TOK! TOK!
“Maaf Yang Mulia Kaisar, Marquis Andrew ingin bertemu dengan Yang Mulia.” Ujar pelayan yang mengejutkanku dan Kaisar Baldwin.
Dengan segera Kaisar Baldwin melepaskan pelukannya padaku. Ia memakai kembali jubahnya dan dengan segera membuka pintu berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa dan bersikap seperti biasanya.
“Ada apa, Andrew?” Kaisar Baldwin bertanya pada Marquis Andrew yang berdiri di hadapannya.
“Maaf, Yang Mulia telah mengganggu. Ada hal yang harus di tanda tangani segera. Salain itu pagi ini juga ada pertemuan dengan beberapa menteri di Tha Imperial Palace.”