Rhea menggeliat terbangun oleh hawa dingin yang membuatnya menggigil. Masih dengan mata terpejam, tangannya gerayangan mencoba mencari selimut. Alih-alih menemukan apa yang dicari, dia malah menggeram merasakan tubuhnya penat seperti terhimpit. Dahinya mengernyit tajam. Pusing bukan main dan juga denyut nyeri di selangkangannya. Sebentar! Selangkangann?!
Mata Rhea seketika terbelalak bersamaan dengan sebagian ingatannya yang mulai kembali, juga lengan asing yang membelenggu pinggangnya. Dia menoleh ke belakang. Makin tercengang mendapati siapa yang bersamanya di ranjang. Jantungnya mau copot. Meringis tanpa berani bergerak dan membangunkan pria yang masih terlelap memeluknya seperti guling.
“Sial!” umpatnya lirih.
Sumpah! Rhea sudah hampir menangis. Bagaimana bisa dia yang menghadiri ulang tahun Soni, justru berakhir tidur dengan Genta? Menunduk, Rhea merasa gila mendapati tubuh mereka yang bahkan masih telanjang tanpa sehelai benang. Pandangannya menyapu setiap sudut kamar asing yang masih temaram. Menghela nafas kasar, menyesali kebodohannya yang sudah membuatnya tak lagi punya harga diri. Apa yang nanti akan dia jelaskan ke orang tuanya, yang pasti kelabakan dia tidak pulang semalam?
Tak ingin terjebak dalam situasi lebih konyol, Rhea mencoba melepas pelukan Genta. Perlahan dia menyingkirkan lengan yang membelitnya. Pahanya sampai kesemutan ditindih kaki sialan pria sinting ini. Seperti maling takut ketahuan, Rhea sampai sesak menahan nafas supaya tidak membangunkan Genta.
“Arghhh ….” Dia meringis menahan ngilu saat hendak bangun. Selangkangannya berdenyut sakit minta ampun. Dalam hati berteriak dengan semua sumpah serapahnya.
Kakinya baru menginjak lantai, ketika dia menjerit kaget pinggangnya ditarik lagi dari belakang. Jantungnya berdegup menggila terhimpit dalam dekapan pria di belakangnya yang kembali memeluknya seperti guling.
“Mau kabur?” bisik Genta dengan deru nafasnya yang menerpa telinga Rhea.
“Lepas! Aku mau pulang!” geram Rhea meronta, tapi kalah oleh jepitan kaki dan lengan Genta.
“Kamu tidak akan kemana-mana, sebelum kita selesai bicara!” tegas Genta menghela nafas berat. Tangannya menggapai ponsel di samping lampu tidur. Mengerjap melihat angka di layar sana.
“Baru jam lima. Kita bicara dulu. Nanti aku antar ke rumah sakit!’’
“Aku bisa pergi sendiri dan tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lepas!” seru Rhea meronta sekuat tenaga, tapi kemudian meringis oleh ngilu di bawah sana.
“Arghhhhh ….”
“Maaf, aku sudah lancang mengambil apa yang bukan hakku!” gumam Genta malah mengeratkan pelukannya. Merasa bersalah, karena semalam justru kebablasan tidak bisa menahan nafsu.
Rhea tersengal. Kepalanya semakin pusing dan tubuhnya sakit semua. Tadi dia terbangun oleh rasa dingin yang membuatnya sampai menggigil. Sekarang sebaliknya. Terasa engap karena panas yang menyulutnya. Bagaimana tidak, mereka masih sama-sama telanjang dan dia dikungkung seperti ini. Geli, sekaligus canggung terjebak dalam keadaan memalukan begini.
Dia tak lagi berani meronta, begitu merasakan sesuatu menggeliat di belakang bokongnya. Tangannya sampai mencengkram erat paha Genta yang mengunci kakinya.
“Aku tidak ingin membahas apapun soal itu! Salahku sendiri ceroboh, tidak bisa jaga diri. Sekarang lepas dan biarkan aku pergi! Kamu juga tidak perlu khawatir, karena aku tidak akan menuntut tanggung jawab atau apapun itu darimu!” tegas Rhea mencoba mendorong paha sialan itu menyingkir.
“Mana bisa begitu! Kamu tidak butuh tanggung jawab, tapi aku bukan bajiingan yang akan cuci tangan setelah merusak anak gadis tanteku! Mamamu bisa membunuhku, kalau tahu aku sudah meniduri anaknya. Apalagi kamu masih perawan!” bisik Genta saking dekat hingga ujung hidungnya menyenggol telinga Rhea.
“Diam!” geram Rhea menggenjang kaget. Giginya mengerat. Tanpa sadar tangannya makin kuat mencengkram paha Genta.
“Haish!” Pria itu mendesis. Bukan karena sakit, tapi miliknya yang menggeliat tegang malah digesek oleh Rhea yang meronta di rengkuhannya.
“Berhenti meronta, kalau tidak mau yang semalam kita ulangi lagi sekarang!” ucapnya meringis menahan kedut.
“Sialan!” teriak Rhea menyikut keras perut Genta, tapi malah dia yang melotot karena tangan Genta keranjingan meremas buah dadanya.
“Gentaaaaaa ….”
“Makanya aku bilang diam, Rhe! Aku cuma ingin kita bicara! Masalahnya tidak akan selesai, hanya karena kamu tidak menuntut aku untuk tanggung jawab. Aku tidak pakai pengaman semalam. Bisa saja kamu hamil!” seru Genta greget karena Rhea yang keras kepala.
“Haish! Sialan!” Kali ini Rhea benar-benar berontak sampai akhirnya dia bangun dan terduduk. Sambil meringis kesakitan, dia menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
Niatnya ingin membalas dua pengkhianat yang menusuknya dari belakang selama ini, malah ujung-ujungnya dia sendiri yang terjebak dengan pria sesinting Genta. Kehilangan keperawanan dengan cara seperti ini saja sudah membuatnya gila. Lalu, bagaimana kalau nanti sampai beneran hamil?!
Rhea sudah mau turun dari ranjang. Tidak mau lanjut membahas soal ini lagi. Toh, belum tentu juga dia seapes itu hanya sekali melakukannya langsung hamil.
“Mau kemana? Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini, sebelum kita selesai bicara!” Genta mencekal lengan Rhea.
“Dan aku juga sudah bilang, tidak akan menuntut tanggung jawab darimu! Yang terjadi semalam itu murni kesalahan. Aku tidak mau membahasnya lagi. Paham!” dengus Rhea mendelik menepis cekalan Genta yang sudah duduk di sampingnya.
Apa yang kemudian terjadi membuat Rhea kelabakan. Dia ditarik mendekat, lalu mulutnya dibungkam dengan ciuman. Matanya melotot lebar saat dengan kurang ajar bibirnya dilumat kasar. Marah, Rhea mendorong bahu Genta menjauh, tapi sia-sia. Pria itu makin menggila menarik tengkuknya dan membelit lidahnya.
“Argghhhh!” Genta melepas ciumannya setelah Rhea menggigit bibirnya. Tapi, lihatlah sesinting apa dia. Genta menyeringai menjilat darah yang terasa anyir dari luka di bibir bawahnya.
Rhea menyambar selimut disana, lalu melompat turun dari tempat tidur. Hal bodoh yang membuatnya malah tersungkur, karena tidak tahan oleh denyut sakit di selangkangannya.
“Sial!” dia meringis mencengkram selimutnya.
Genta menghela nafas kasar. Bahkan, tanpa mau repot menutupi tubuh telanjangnya dia beranjak turun. Rhea melengos dengan wajah panas seperti terpanggang, melihat kelakuan tidak tahu malu Genta.
“Kamu mandi dulu! Nanti kita bicara lagi!” ucap Genta membopong Rhea bangun.
Terjengkit kaget, Rhea memeluk leher Genta karena takut jatuh. Dia menoleh menatap mata Genta, ketika secuil ingatannya tentang semalam melintas di benaknya.
“Kenapa? Ingat semalam aku juga membopongmu begini?” tebak Genta mengulum senyum mendapati Rhea yang salah tingkah.
“Kalau begitu ingat-ingat juga bagaimana semalam kamu terus menggodaku!” oloknya puas sembari melangkah ke kamar mandi.
Masih dengan bungkamnya, Rhea hanya menurut ketika tubuhnya didudukkan di atas kloset yang diturunkan tutupnya. Nafasnya engap. Melengos buang muka dengan d**a bergemuruh, melihat pria sialan yang masih telanjang itu menyiapkan air hangat yang diberi aroma terapy untuknya berendam.
“Heeiii ….” Rhea terpekik kaget saat tiba-tiba selimutnya direbut. Dia masih melongo, ketika Genta memindahkan tubuhnya ke bak mandi. Air sedikit meluber begitu dia sudah berendam di dalamnya. Sementara Genta mengambil selimut di lilitkan di pinggangnya.
“Tunggu sebentar!” Genta keluar tanpa menutup pintu kamar mandi. Rhea membenamkan tubuhnya ke dalam air sampai rambutnya basah kuyup. Hanya karena ingin menghempas makian, amarah, dan masalah yang memenuhi kepalanya. Masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa segoblok ini berakhir dengan bercinta dengan Genta.
“Minum ini!” Genta kembali dengan membawa segelas air putih. Satu lagi tangannya menyodorkan pil warna putih ke depan mulutnya. Jelas saja Rhea melotot mengeratkan bibirnya sambil menggeleng tidak mau.
“Ini bukan obat perangsang, seperti yang di otak kotormu itu! Lagi pula tanpa obat ini pun, kamu sudah nyosor duluan!” Genta menatap greget dengan obat masih di depan muka Rhea.
“Mulut sialan!” Tepat saat Rhea mengumpat, Genta menyentil obat itu hingga masuk ke kerongkongannya.
“Gentaaaaa ….”
“Minum! Itu obat untuk mengurangi rasa sakit. Kamu mau seharian jalan ngangkang gitu?! Ketemu emakmu pasti langsung digeplak. Semalaman tidak pulang, malah jalannya seperti habis diperawanin!” Genta memberikan gelas minuman di tangannya.
Mau tidak mau Rhea pun meminumnya. Malah sampai ludes, karena tenggorokannya memang kering kehausan. Bukannya keluar, Genta malah duduk di atas kloset menatap gadis cantik yang sekarang berendam di bak mandinya.
“Keluar! Aku mau mandi!” usir Rhea salah tingkah. Meski yang bawah sudah tertutup selimut, tapi tetap saja Genta bertelanjang dadaa. Semakin malu lagi melihat beberapa cupang di leher pria itu. Bisa-bisanya dia seliar itu!
“Kita bicara dulu sampai selesai!” tegas Genta.
“Aku tidak ….”
“Diam, Rhe!” bentaknya kesal, karena lagi-lagi Rhea masih keras kepala.
Menghela nafas panjang, Genta membalas tatapan membunuh dari gadis yang beberapa jam yang lalu bergumul berbagi kenikmatan dengan itu. Bahkan, setelah sadar pun Genta masih menelan ludah dengan otak sintingnya melihat sesexy apa Rhea yang basah kuyup dengan muka galaknya.
“Dengar baik-baik! Kamu mau atau tidak, aku tetap akan bertanggung jawab! Hamil atau tidak, aku tetap akan menikahimu!”
“Sinting! Siapa juga yang mau menikah denganmu!” tolak Rhea mentah-mentah.
“Kamu tidak mau, tapi aku mau! Cukup aku datang menemui orang tuamu dan mengatakan soal yang semalam. Biarpun pasti akan bonyok dihajar mamamu, tapi mereka pasti akan menerimaku sebagai menantu. Iya, kan?!” Genta menyeringai melihat Rhea yang sampai gemetar menahan marah.
“Berani kamu bertingkah macam-macam, aku pasti akan membunuhmu! Tidak ada yang bisa memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku inginkan, meski itu orang tuaku sendiri! Aku tidak menuntut tanggung jawab, karena apapun alasannya aku salah tidak bisa jaga diri. Jadi, jangan coba-coba mengungkit lagi soal ini! Tidak pernah terjadi apapun semalam! Paham!” desis Rhea makin jengah melihat Genta yang malah mengedikkan bahu dengan senyum terkulum.
“Kamu yang tidak paham siapa aku!” Genta melangkah mendekat, lalu duduk di tepi bak mandi. Rhea mendelik saat tangan pria itu mencengkram dagunya mendongak, lalu menunduk mencium bibirnya.
“Brengsekkk!” geram Rhea.
“Hm, si brengsekk yang akan menyeretmu ke pelaminan!” Menelengkan muka, Genta kembali menyeringai menjepit dagu Rhea yang gemetar.
“Mau mandi bareng?” bisiknya seketika membuat mata Rhea melebar. Pertanyaan yang sepertinya pernah dia dengar sebelumnya.
“Kita lihat sejauh mana kamu bisa lari dariku, calon istri!”