“Maaf, ada yang bisa kubantu?” tanya Renata pada pria asing tersebut. Padahal lampu di lantai 1 memang sengaja ia matikan yang menandakan tokonya sudah tutup, ia juga sudah menutup semua tirai dinding kaca butiknya, tak mungkin orang di depannya itu ingin membeli sesuatu, bukan? Selain itu, ini sudah terlalu larut bagi seseorang pelanggan.
Pria itu tampak terkejut melihat Renata berjalan ke arahnya. Namun, ia berusaha tetap tenang sampai tiba-tiba ia menodongkan senjata tajam pada Renata setelah berdiri di depannya.
Renata terkejut hingga menjatuhkan ponselnya. Sementara dengan gerak cepat, pria itu membekap mulut Renata lalu menariknya ke dalam toko.
“Kau harus menurut. Jika tidak aku akan membunuhmu,” ancam pria itu yang membekap mulut Renata dari belakang.
Renata mengangguk. Meski panik, tapi ia berusaha tetap tenang.
Pria itu melepas bekapan mulutnya tanpa menjauhkan ujung benda tajam di tangannya dari leher Renata.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Renata dengan suara bergetar.
Belum sempat pria itu menjawab, tiba-tiba saja pintu terbuka. Ruangan yang sebelumnya sedikit gelap, pun mulai tersinari cahaya tamaram dari luar.
Pintu terbuka lebar, Ethan berdiri di tengah pintu menatap pria di belakang Renata yang tampak terkejut.
“Siapa kau?! Jangan mendekat! Atau wanita ini akan mati!” ancam pria itu sambil menekan leher Renata dengan ujung pisau di tangannya karena panik.
Renata terpaku hingga seakan tak merasakan goresan tipis di lehernya akibat pisau pria yang menyanderanya. Melihat Ethan sekarang, seperti melihat adegan dalam sebuah film. Pintu terbuka lebar membawa cahaya dari luar masuk ke dalam ruangan yang gelap, Ethan berdiri di tengah pintu membuat bayangannya searah dengan posisinya berdiri saat ini.
“Bunuh saja.”
Mata Renata melebar, terkejut dengan apa yang ia dengar. Bukan hanya Renata, pria yang menyanderanya pun juga terkejut karenanya.
“Kau kira aku bercanda? Aku benar-benar akan membunuhnya jika kau mendekat walau selangkah!” ucap pria itu tegas, menahan diri untuk tak berteriak dan memancing bahaya lebih dari ini.
“Kau kira aku bercanda? Bunuh saja, dia hidup pun juga tak berguna buatku.”
“Apa katamu!” teriak Renata. Ia seakan lupa seperti apa posisinya saat ini. “kau yang tak berguna! Jika aku mati karena ini, aku akan menghantuimu seumur hidup!”
Ethan tersenyum miring dan mengatakan, “Ah, aku sangat menantikannya. Tak bisa bercinta saat kau masih hidup, mungkin kita bisa bercinta saat kau sudah jadi hantu.”
Tangan Renata mengepal kuat, gemeretak giginya terdengar jelas. Dan entah bagaimana, tiba-tiba ia telah merebut pisau dari tangan pria yang menyanderanya. Pria itu kehilangan konsentrasi melihat pertengkaran Ethan dan Renata, membuatnya lengah hingga Renata dengan mudah merebut pisau dari tangannya.
“Mati saja kau!” teriak Renata saat melempar pisau yang berhasil direbutnya ke arah Ethan seakan berniat membunuhnya.
Ethan mengelak ke samping kiri menghindari pisau yang terlempar ke arahnya. Pisau yang melintas beberapa senti dari Ethan menciptakan suara desiran angin halus.
Klang!
Suara jatuhnya pisau itu terdengar, mendarat di tanah cukup jauh dari pintu, menandakan seberapa kuatnya lemparan Renata.
Pria di belakang Renata melotot melihat senjata yang menjadi tameng utamanya tergeletak di tanah. Merasa terancam, ia pun berniat menyelamatkan diri karena berpikir tubuh kecilnya tak akan mampu menang jika harus berhadapan dengan Ethan.
Pria itu mendorong Renata sebelum mengambil langkah lebar dan cepat, berniat melewati Ethan. Namun, seakan bisa membaca gerakannya, Ethan menjagal kaki pria itu saat akan melewatinya. Pria itu pun tersungkur jatuh ke depan.
Dengan wajah tenang Ethan tak menyiakan kesempatan. Ia menarik kupluk hoodie pria itu sebelum ia bangkit dan kabur.
Pria itu tercekik kerah hoodienya sebab Ethan menarik kupluk hoodienya, menyeretnya masuk ke dalam lalu membanting tubuhnya ke lantai.
“Argh!” Pria itu mengerang saat satu kaki Ethan menginjak dadanya. Di sela rasa sakit, pria itu mencengkram kaki Ethan, berusaha menyingkirkannya dari atas dadanya, jika tidak, mungkin ia bisa mati. Namun, kaki Ethan seperti batu, bahkan menekan dadanya lebih dari sebelumnya.
Perlahan kekuatan cengkraman tangan pria itu mengendur. Ethan pun mengangkat kakinya, membuat pria itu meringkuk menahan sakit teramat di dadanya seakan paru-parunya remuk.
Tangan Ethan mengepal kuat, terangkat tinggi sebelum akhirnya mendarat di pelipis pria itu dengan keras. Pria itu pun nyaris pingsan hanya karena satu pukulan telak. Namun, di sisa kesadaran, ia segera memohon ampun sebelum Ethan memberinya pukulan kedua kalinya.
“Ampun. Ampun … ampuni aku,” ucap pria itu ketakutan sambil meringis menahan sakit.
Ethan tak menggubris permohonan pria tersebut, tetap berniat mendaratkan bogem mentah kedua sampai tiba-tiba teriakan Renata menghentikannya sebelum kepalan tangannya mendarat.
“Berhenti! Sudah cukup!” teriak Renata. Ia kasihan melihat pria itu sudah memohon dan merintih kesakitan.
Tak lama kemudian, suara tangisan terdengar, pria itu menangis dan menjatuhkan kepala di depan Ethan dan Renata setelah sebelumnya menjelaskan maksud dan tujuan. Renata pun merasa iba, tapi tidak dengan Ethan. Ethan masih bertahan dengan raut wajah dinginnya.
“Maaf, aku tidak mampu membelikan gaun yang bagus untuk pacarku. Aku melakukan ini semata demi pacarku. Maaf, maaf.”
Renata mengambil langkah menuju deretan gaun pernikahan yang tergantung rapi dan mengambil salah satu gaun. Ia lalu kembali dan memberikan gaun tersebut setelah sebelumnya memasukkannya ke dalam paper bag. Ia juga menyelipkan sebuah amplop yang ia isi dengan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu.
Ethan melihatnya dalam diam. Melihat apa yang Renata lakukan. “Bodoh,” batinnya. Namun, alih-alih memuji kebaikan Renata, ia justru mehyebutknya bodoh.
“Ini, kau bisa membawanya.”
Pria itu mengangkat kepala dan tampaklah pelipisnya yang membiru akibat pukulan Ethan.
“A- apa ini?” tanyanya dengan suara bergetar menatap laper bag di hadapan.
“Kau bisa memberikan ini pada pacarmu. Semoga dia menyukainya,” kata Renata.
Pria itu menatap Renata dan paper bag berisi gaun yang diberikannya secara bergantian sampai tiba-tiba ia menangis sejadi-jadinya.
Tak lama, pria itu meninggalkan butik setelah sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih.
“Bodoh,” ucap Ethan.
Renata yang sedari tadi menatap kepergian pria itu dalam diam, kini melirik Ethan.
“Kalau begitu pergi dari tempat orang bodoh ini,” kata Renata sinis. Ia masih marah mengingat apa yang Ethan katakan sebelumnya. Meski karenanya dirinya bisa bebas dan masalah berakhir. Tapi ia pikir, jika Ethan tak datang, mungkin semua juga akan berakhir seperti ini karena yang pria itu inginkan hanyalah gaun.
“Mungkin karena ini Kris mau menikah denganmu, karena kau sangat bodoh dan mudah dibodohi,” ucap Ethan kemudian mengambil langkah menuju pintu untuk pergi.
“Apa katamu!” geram Renata. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya karena ia mendengar apa yang Ethan katakan dengan jelas.
Ethan menghentikan langkahnya di ambang pintu kemudian setengah menoleh pada Renata dan mengatakan, “Aku bilang, aku menunggu.” Seringai pun terukir sebelum akhirnya ia kembali menghadap depan dan melanjutkan langkahnya.
Tubuh Renata menegang sesaat. Entah kenapa, apa yang Ethan katakan mengingatkannya pada bisikannya di meja makan hari itu. Ethan berbisik bahwa akan menyentuhnya jika dirinya yang memintanya atau jika dirinya sukarela mau melakukannya.
Ethan menutup pintu mobilnya setelah ia duduk. Kedua tangannya lalu meremas setir dan pandangannya mengarah pada pintu butik Renata yang telah tertutup rapat.
“Kris terlalu beruntung mendapat wanita bodoh sepertimu,” gumam Ethan sebelum akhirnya menyalakan start mobilnya dan pergi dari sana.
Ethan terlalu cemas jika Renata memanggil pria bayaran untuk memuaskannya di butiknya. Meski ia pikir itu tidak mungkin melihat Renata sangat mencintai sang suami, tapi tidak ada yang tidak mungkin jika sudah menyangkut hasrat dan nafsu, bukan? Itu lah alasan sebenarnya yang membuatnya dua malam ini berada di butik Renata.
Kembali pada Renata, ia telah berada di lantai 2 dan menemukan Silvi masih tertidur pulas. Ia kemudian berbaring di samping Silvi dan berniat beristirahat. Tiba-tiba Renata teringat Kris. “Apa sudah tidur?” gumamnya kemudian mengambil ponsel dari atas meja dan mencoba mengirim pesan.
Me : Sudah tidur?
Renata menunggu hingga beberapa saat, berharap Kris membalas pesannya. Ia ingin menceritakan apa yang terjadi barusan, tapi tentu saja menghapus sosok Ethan dalam ceritanya.
Renata tersenyum kecut saat ia tak juga mendapat pesan balasan. Ia pun meletakkan ponselnya kembali lalu berbaring di samping Silvi.
Renata menatap langit ruangan dalam diam kemudian mengubah posisi menjadi miring.
“Apa aku ini benar-benar bodoh?” gumamnya tanpa suara teringat ucapan Ethan sebelumnya.
Sementara itu di sisi lain, bukan karena sudah tidur hingga Kris tak membalas pesan darinya, melainkan ia tengah bergumul dengan simpanannya hingga lututnya bergetar.
Keesokan harinya, Renata bangun cukup siang. Silvi bahkan sudah berberes dan bersiap bekerja.
“Eh, Mbak Rena sudah bangun.”
“Kenapa tidak membangunkan aku?” tanya Renata setelah melakukan peregangan.
“Hehe, nggak enak, Mbak. Mbak tidurnya pulas banget,” jawab Silvi.
Renata bangun kemudian menggulung matras yang digunakannya sebagian tempat tidur semalam. Ia lalu berjalan ke kamar mandi yang memang tersedia di sana.
Tak lama kemudian, wajah Renata terlihat lebih segar. Ia lalu memakai make up untuk menyempurnakan penampilan karena hari ini akan bertemu dengan Vega. Vega adalah salah satu teman saat kuliah dan ia akan menikah. Wanita seusia Renata itu pun mempercayakan gaun pernikahannya padanya.
“Aku pikir kau masih di sana, Re,” ucap Vega saat wanita itu mendatangi butik Renata.
“Apa? Apa maksudmu, Ga?” tanya Renata.
“Kemarin aku di Bali. Aku sempat melihat Kris, jadi kupikir, kau masih di sana. Aku mungkin tidak ke sini jika kau tidak bertanya kapan aku datang karena kupikir, kau masih di sana,” ujar Vega. Ia sempat melihat Kris di pantai waktu itu. Melihatnya bicara dengan seorang pria.
Renata terdiam, tatapan matanya tampak kosong sesaat. Apakah Vega berbohong, atau Kris yang justru berbohong?