Renata menutup gorden kembali. “Apa yang dia lakukan di sini?” batinnya kemudian buru-buru mengambil ponselnya untuk menghubungi Silvi.
“Halo, Sil? Bisa berangkat sekarang?”
“Memangnya ada apa, Mbak? Aku baru selesai mandi. Ini baru jam enam, kan?”
Renata menurunkan ponsel dari telinga dan memeluk jidat. Terlalu gugup karena menemukan Ethan di depan membuatnya tak melihat jam.
“Ya sudah. Kalau bisa, segera ke sini, ya,” ucap Renata sebelum mengakhiri panggilan.
Tepat setelah Renata mengakhiri panggilannya dengan Silvi, ponselnya berdering.
“Halo, Bu? Ada apa?” tanya Renata setelah mengangkat panggilan yang tak lain dari ibu mertuanya.
“Ibu menyuruh Ethan mengantar makanan, Re. Apa Ethan sudah sampai?”
Renata terdiam dan mendengar ibu mertuanya kembali bicara.
“Dia sudah pergi dari tadi. Harusnya sudah sampai. Kalau belum, coba ibu telpon dulu.”
Belum sempat Renata mengatakan apapun, Bela mengakhiri panggilan dan sepertinya menelpon Ethan seperti yang ia katakan.
Renata kembali ke pintu depan dan mengintip Ethan lewat celah gorden. Ia pun melihat Ethan mengangkat panggilan.
Di luar, Ethan bicara dengan sang ibu lewat sambungan telepon tanpa mengalihkan pandangan dari pintu butik Renata.
“Kau sudah sampai, Eth?”
“Ya. Tapi dia belum membuka pintu,” jawab Ethan.
“Tapi Renata sudah bangun. Dia sudah mengangkat panggilan dari ibu. Ya sudah, biar ibu menyuruh membuka pintu untukmu.”
Ethan menurunkan ponsel dari telinga setelah sang ibu mengakhiri panggilan. Seringai pun kembali tercipta saat ia bersiap memasuki butik Renata.
Seperti yang Bela katakan pada Ethan, ia kembali menghubungi Renata, memintanya membuka pintu untuk sang kakak ipar.
“Re, kakak iparmu sudah di depan. Tolong buka pintunya, ya.”
“Harusnya ibu tidak perlu repot,” ucap Renata. Ia sama sekali tak berharap dikirim sarapan atau sesuatu dari ibu mertuanya.
“Ish, tidak repot. Habisnya ibu memikirkanmu terus. Kau pasti bekerja sangat keras sampai-sampai tidur di butik jadi ibu meminta Ethan mengirim sarapan untukmu. Nanti cepat kamu makan, ya, sebelum dingin.”
Renata tersenyum tipis. Siapa sangka ibu mertuanya sangat perhatian.
Tok! Tok!
Renata tersentak saat suara ketukan berasal dari pintu depan terdengar.
“Ya sudah, tolong buka pintu untuk Ethan, ya, Re. Sampai jumpa. Dan lagi, jangan bekerja terlalu keras. Kau harus memikirkan kesehatanmu.”
Hati Renata menghangat merasakan perhatian sang ibu mertua. Namun, kembali sedingin es saat ketukan di pintu kembali terdengar.
Renata bimbang, apakah harus membuka pintu atau tidak. Namun, khawatir Ethan mengadu pada ibu mertuanya, dengan terpaksa ia membuka pintu.
“Berikan padaku,” kata Renata seraya mengulurkan tangannya lewat celah pintu. Ia sengaja hanya membuka seperempat pintu agar Ethan tidak masuk.
Ethan menatap sekilas tangan Renata yang terulur lalu kembali menatapnya.
“Kau sengaja tidak ingin aku masuk?”
Renata hanya diam, dan tetap mengulurkan tangan.
Ethan mengangkat tas bekal berisi sarapan untuk Renata. Namun, tidak untuk diberikan pada adik iparnya itu melainkan memindah ke tangan kirinya lalu tangan kanannya meraih tangan Renata yang masih menggantung dan menciumnya.
Renata begitu terkejut. Ia tak sempat menarik tangannya sebelum Ethan mendaratkan bibirnya karena tak mengira apa yang akan Ethan lakukan. Dan saat ia hendak menarik tangannya setelah bibir Ethan mencium punggung tangannya, Ethan menahannya, menggenggamnya seakan tak mau lepas.
“Lepaskan,” ucap Renata tegas dengan mata melotot. Dan apa yang dilakukannya berhasil membuat Ethan melepaskan tangannya. “letakkan di bawah dan pergi. Atau aku akan mengadu pada ibu,” ancam Renata.
“Kau sangat mudah berubah, seperti seorang pejabat. Semalam kau mengemis, dan sekarang kau begitu arogan.”
Renata terdiam. Ia tak peduli apapun yang Ethan katakan asal pria itu pergi dari hadapannya.
“Kau ingin mengadu pada ibu, kan? Kenapa tidak sekarang? Aku ingin dengar, kira-kira, apa yang akan ibu katakan,” ucap Ethan dengan seringai samar terukir di bibirnya.
Renata tak bisa berkata-kata, ia sendiri tak yakin apakah ibu mertuanya akan percaya atau tidak sama jika ia mengadu pada Kris.
Drt ….
Tiba-tiba ponsel dalam saku celana Ethan berdering. Diambilnya ponselnya dan mengangkat panggilan. Dan entah apa yang ia dengar sampai tiba-tiba ia mengulurkan tangan ke dalam melewati celah pintu, memberikan makanan dari sang ibu.
Renata menatap uluran tangan Ethan dengan ragu, berpikir jika ini sebuah jebakan. Namun, saat ia memberanikan diri mengambil tas bekal itu dengan cepat, Ethan berbalik dan segera memasuki mobilnya.
Renata masih berdiri di tempat hingga akhirnya mobil Ethan pergi. Ia pun bernapas lega hingga memegangi d**a.
Tak terasa waktu telah siang saat Renata menyelesaikan gaun pesanan kliennya di ruangan khusus di lantai 2 toko butiknya. Gaun pengantin sederhana tapi tampak elegan.
“Wah, cantik sekali,” puji Silvi melihat karya Renata.
Renata tersenyum simpul. “Terima kasih. Semua juga berkat kerja kerasmu,” ucap Renata kemudian menatap gaun indah hasil tangan di sela kesibukan lainnya.
Renata menatap gaun itu cukup lama. Gaun itu hampir mirip dengan gaun pernikahannya, membuatnya teringat pernikahannya dan teringat Kris. Tak lama, ia pun mencoba menghubungi Kris.
Di tempat Kris sendiri, ia tengah menikmati waktu di pantai bersama simpanannya.
“Ponselmu bunyi,” kata simpanan Kris mendengar ponsel dalam saku celana Kris berdering.
“Biarkan saja. Pasti dia,” ucap Kris yang menduga bahwa Renata lah yang menghubunginya.
Simpanan Kris tersenyum miring. “Ya ampun, kau begitu jahat. Tapi, aku suka,” ucapnya kemudian merangkul lengan Kris dan bergelayut manja tak peduli banyak pasang mata menatap ke arah mereka. Suasana pantai begitu ramai, bukan hanya turis mancanegara, tapi juga orang pribumi. “aku suka karena kau melakukan semuanya untukku, terima kasih, Kris,” ucapnya kembali seraya menyandarkan kepala di bahu Kris.
Kris menautkan tangannya dan tangan simpanannya lewat sela-sela jari dan menggenggamnya dengan erat. “Apapun untukmu, Jov. Apapun akan aku lakukan hanya untukmu,” ucapnya kemudian mengangkat tautan tangan mereka dan menciumnya.
Ya, Kris akan melakukan apapun untuk simpanannya itu termasuk menikahi Renata.
Kembali ke tempat Renata, ia menatap layar ponselnya dengan wajah kecewa karena suaminya itu tak mengangkat panggilan darinya. Namun, ia tak mau berprasangka buruk, berpikir Kris mungkin sedang sibuk.
Sore harinya, Renata meminta Silvi menemaninya di butik dengan imbalan, satu hari gaji. Ia tak mau Ethan datang seperti semalam bahkan mungkin, melakukan sesuatu padanya dan berpikir, Ethan tak akan berani jika ada orang lain.
“Jadi Mbak Rena semalam juga di sini?” tanya Silvi dan dijawab anggukan oleh Renata.
“Kenapa Mbak nggak pulang? Bukannya, Mbak nggak dikejar deadline, ya? Kita tidak ada deadline, kan, Mbak?”
Renata menggeleng. “Memang tidak. Aku hanya sedang ingin.”
Silvi memegang pergelangan tangan Renata di atas meja kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahnya. “Mbak, Mbak nggak ada masalah dengan suami Mbak, kan?” tanyanya penuh keingintahuan.
Alis Renata sedikit berkerut. “Tidak, kenapa bertanya seperti itu?”
“Ya, karena Mbak sampai nggak pulang dan memilih di butik,” jawab Silvi.
Renata tertawa kecil. Sebenarnya ia tak ingin membagi kehidupan rumah tangganya dengan siapapun, tapi sepertinya, ia tak bisa membiarkan Silvi berpikir dirinya sedang memiliki masalah serius dengan suaminya.
“Atau, apa Mbak Rena ada masalah dengan ipar Mbak?”
Pertanyaan Silvi membuat tawa kecil yang sebelumnya terukir di bibir Renata, lenyap. Raut wajahnya pun seakan menunjukkan bahwa apa yang Silvi tanyakan memang terjadi.
“Hee? Jadi benar? Mbak ada masalah dengan ipar?” tanya Silvi sambil meremas pergelangan tangan Renata, seakan ia tak percaya bahwa tebakan asalnya benar melihat seperti apa ekspresi Renata sekarang. “apa yang sudah ipar Mbak Rena lakukan? Apa mereka mengatai Mbak Rena? Apa mereka sampai melakukan kekerasan fisik? Itu nggak bisa dibiarkan, Mbak. Mbak harus lawan! Seperti di novel-noveel! Mbak harus kuat buat melawan ipar-ipar jahat!”
Silvi mengatakan kalimat panjang itu menggebu-nggebu. Sudah seperti emak-emak geram dengan cerita ipar jahat yang ada di noovel-novel.
Renata terdiam termenung mendengar semua kalimat panjang yang Silvi katakan sampai tiba-tiba ia tertawa kecil.
“Mbak Rena kenapa malah tertawa? Aku serius loh, Mbak. Mbak Rena nggak boleh ngalah sama ipar-ipar jahat!” kata Silvi hingga memukul meja dan bangkit dari duduknya.
“Maaf, tapi bukan seperti itu, Sil. Suamiku sedang di luar kota, jadi aku sengaja di sini untuk menahan rindu. Kalau aku bekerja, aku tidak akan merindukannya.”
Silvi menatap Renata penuh selidik. “Mbak yakin? Mbak nggak bohong, kan? Bukan karena Mbak ada masalah dengan mertua Mbak, kan?”
Renata kian tertawa hingga memegangi perut dan menggeleng. “Tidak. Sungguh, tidak,” ucapnya sambil menahan tawa. Sepertinya Silvi sudah terlalu terkontaminasi dengan noveel drama rumah tangga yang kebanyakan mengangkat tema mertua dan ipar.
Silvi bernapas lega kemudian menarik kursinya untuk kembali duduk. “Hah … syukurlah,” ucapnya.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Silvi telah tertidur pulas di matras sementara Renata masih terjaga, membuat sketsa busana. Ia berencana mengadakan fashion show hasil karyanya meski belum menentukan kapan. Meski namanya belum seterkenal desainer ternama, tapi dirinya sudah punya cukup banyak pelanggan.
Baru saja Renata hendak membuat motif pada sketsa gambarnya, tiba-tiba lampu mati. Ruangan pun gelap gulita.
Renata meraba meja mencari ponselnya dan menyalakan lampu senter. Ia lalu menyibak gorden jendela dan menemukan hanya tempatnya saja yang gelap.
“Apa terjadi masalah dengan sekringnya?” gumamnya. Ia tak pernah terlambat membayar listrik, jadi tak mungkin aliran listriknya mati karena diputus.
Renata menyorot Silvi dengan lampu senter sekilas dan ia terlihat masih sangat pulas. Ia pun tak berani membangunkannya untuk mengantarnya mengecek sekring.
Renata berjalan hati-hati menuruni anak tangga ke lantai 1 di tengah gelap menuju kelistrikan yang berada di samping bangunan toko butiknya. Sesampainya di sana ia menemukan saklar MCB turun kemudian menaikkannya kembali. Akhirnya, lampu pun kembali menyala.
Renata bernapas lega. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak, berpikir mungkin terjadi kerusakan serius. Setelah kelistrikan beres. ia pun kembali ke dalam butik. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat menemukan seseorang berdiri di depan pintu butiknya.