Mata marah Denzel dan mata tenang Cyril saling beradu pandang. Cahaya matahari menyengat memancar di atas kepala mereka, menciptakan bayangan yang menyala di wajah mereka.
Suasana seolah membeku, diwarnai oleh ketegangan yang begitu terasa. Vivyan, adik Denzel, berdiri di antara mereka, mencoba meredam api pertengkaran yang seakan-akan hendak meledak.
Denzel, pria tampan yang kini penuh penuh kemarahan, menatap Cyril dengan tajam. Tatapannya penuh dengan kebencian pada Cyril—wanita yang awalnya akan dijodohkan dengannya.
Di sisi lain, Cyril, dengan mata birunya yang tajam menanggapi tatapan Denzel dengan sorot mata yang penuh tantangan.
Mereka berdua memiliki kepribadian yang kuat dan dominan. Momen ini terasa seperti puncak pertarungan awal mereka.
"Aku harus menyelesaikan ini, Cyril. Kau akan habis di tanganku," ucap Denzel dengan suara yang mendalam, tetapi penuh dengan rasa kepastian.
Vivyan mencoba berbicara, "Kalian berdua, bisakah damai untuk sebentar saja? Mari kita bicarakan dengan tenang."
Namun, percakapan itu terhenti ketika Denzel tiba-tiba melangkah maju. "Aku tak bisa lagi menunda ini, Cyril. Kali ini aku akan benar-benar mengusirmu apa pun yang terjadi. Ini saatnya kau tahu siapa yang kau hadapi. Kau bermain api denganku."
Vivyan berusaha menahan Denzel, tetapi dia melepaskan diri dengan tegas. Tangan Denzel membentuk genggaman erat, menunjukkan bahwa dia siap untuk segala kemungkinan.
Di lain pihak, Cyril masih menatapnya tanpa kata-kata, tetapi ekspresinya mencerminkan ketenangan yang sama sekali tak terpancing dengan kemarahan Denzel.
Seiring ketegangan yang terus meningkat, seseorang muncul dari arah mansion. Killian, adik Denzel, datang dengan langkah mantap.
Dia mengetahui bahwa perdebatan ini tak akan membawa kebaikan bagi siapa pun. Dengan cepat, Killian mencoba melerai mereka.
"Kak, sudahlah. Ini tak akan menyelesaikan apa pun. Cyril, hentikan ini juga," pinta Killian sambil menarik tangan Denzel yang sudah mengetahui apa yang terjadi antara kakaknya dan apa yang sudah dilakukan oleh Cyril untuk memancing kemarahan Denzel.
Denzel, meskipun masih memancarkan kemarahan, menghela nafas berat. Dia mengangguk pada adiknya dan akhirnya melepaskan diri dari keadaan yang memanas itu.
Killian melirik Cyril dengan tatapan serius, mengingatkannya untuk juga menghentikan segala bentuk konfrontasi.
Cyril, meskipun tetap tenang, melangkah mundur. Ada rasa puas di matanya. Vivyan mencoba meredakan situasi dengan tersenyum, meskipun kekhawatiran masih terbaca di matanya.
"Kita harus menemukan cara untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan damai. Dan mengapa kau melakukan itu pada Hanna? Itu adalah hal yang jahat, Cyril" kata Vivyan, mencoba mengarahkan fokusnya pada solusi perselisihan antara Cyril dan Denzel.
"Aku akan memisahkan mereka apa pun yang terjadi. Denzel adalah calon suami yang sudah disiapkan untukku dan tak ada yang boleh menjadi istrinya selain aku.” Cyril menghisap rokoknya kembali.
"Kau menakutkan, Cyril. Aku tak suka jika kau seperti ini. Bersikaplah normal." Vivyan mengerutkan keningnya karena heran melihat perubahan sikap Cyril yang tiba-tiba menjadi begitu terobsesi pada Denzel.
"Ck, sudahlah. Oh ya, ayo kita ke klub nanti malam," ucap Cyril.
"Oke, mommy akan mengijinkanku pergi jika bersamamu," sahut Vivyan.
"Hmm, aku yang akan bilang pada Aunt nanti." Cyril tersenyum miring pada Vivyan.
*
*
Malam itu, suasana dingin menyelimuti kota, menciptakan lapisan embun di jendela kamar Denzel.
Dengan wajah tegang, dia duduk di ruang tamu apartemennya, membaca berita yang membuat darahnya mendidih.
Di layar ponselnya, video yang mencoreng nama baik Hanna, kekasihnya, menyebar dengan cepat. Denzel tahu ini bukanlah hal yang biasa, ini adalah kejahatan digital yang dibuat oleh Cyril, untuk menghancurkan kebahagiaan mereka.
Denzel sudah mengerahkan semua anak buahnya untuk menghapus berita itu, namun masih ada berita tentang Hanna di internet dan membuatnya semakin marah.
Tingkah laku Cyril itu benar-benar membuat kemurkaan bagi Denzel. Pertengkaran mereka sekarang mencapai titik puncaknya.
Denzel merasa marah, kecewa, dan sekaligus tak bisa memahami sejauh mana kebencian Cyril terhadapnya hanya karena perjodohan mereka yang batal.
Hanna, yang sudah melupakan kenangan bersama mantannya setahun yang lalu, kini dihadapkan dengan konsekuensi yang tak disangka.
Merasa semakin dikuasai oleh kemarahan, Denzel bergegas menuju apartemen Hanna. Langkah-langkahnya tergesa-gesa melintasi koridor, sementara api kemarahan terus membara di dalam hatinya.
Ketika sampai di apartemen Hanna, wajahnya yang penuh amarah bertemu dengan tatapan penuh kebingungan dan kesedihan dari Hanna yang sudah seharian mengurung diri di kamarnya.
"Maafkan aku," ucap Denzel dengan suara serak, yang begitu kasihan melihat keadaan Hanna yang galau karena videonya yang tersebar luas itu.
Hanna, yang terlihat sedih dan bingung, mengangguk. "Ya, aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Cyril melakukan ini padaku?"
Denzel terlihat merasa bersalah sekaligus kesal. "Aku sudah bicara dengan Cyril. Dia telah melewati batas!"
Hanna mencoba menahan tangis. "Kenapa dia harus menghancurkan hidupku?" Lalu Denzel memeluk Hanna dengan lembut.
Denzel merasa semakin bersalah dan marah pada saat yang sama. Dia memahami betapa sulitnya Hanna menghadapi ini semua. "Aku akan menyelesaikan ini, Hanna. Percayalah padaku."
"Orang tuaku begitu malu melihat itu semua. Mereka berpikir aku adalah p*****r," sahut Hanna.
"Aku akan menyelesaikan ini. Aku janji karena semua masalah ini sebuah berasal dariku." Denzel mengusap lembut punggung Hanna.
"Aku ingin sendiri saja malam ini," kata Hanna.
"Hmm, telepon aku jika kau membutuhkanku," ucap Denzel dan mencium kening Hanna.
Hanna mengangguk dan berbalik pergi masuk ke kamarnya lagi.
Tanpa banyak kata, Denzel meninggalkan apartemen Hanna dengan langkah panjang. Langit malam yang sebelumnya tenang, sekarang menjadi saksi perburuan yang tak terduga. Dia tahu dia harus harus melakukan apa setelah ini.
*
*