Chapter 7 -Lupa

1172 Kata
Dina masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi barusan. Tapi satu hal yang pasti, setiap kali Dina mengingat bayangan si nenek dan sesuatu yang digendongnya, Dina akan bergidik ngeri. Selain itu, Dina juga penasaran dengan sikap warga tadi saat dia menyinggung tentang si nenek.Dan setelah melihat sikap mereka, Dina sadar kalau warga kampung ini pasti mengetahui identitas si Nenek. “Sepedaku…” gumam Dina pelan. Apa pun ceritanya, dia kan harus mengambil kembali sepeda itu. Nggak mungkin ditinggal begitu aja, bisa-bisa diamuk sama Papa-Mama nanti. “Huft,” Dina membuang napas dan mencoba membuang rasa takut dan tegang akibat peristiwa tadi. Setelah meminum teh hangat yang dibuat oleh Sekar tadi dan merasa dirinya agak tenang, Dina berdiri dan berjalan ke halaman rumahnya, menuju ke ujung desa untuk mengambil sepedanya. Dina berjalan pelan dan santai, mencoba untuk membuat dirinya lebih rileks. Sesekali dia akan melihat ke arah kiri dan kanan jalan kampung yang sepi dan berupa sawah atau kebun itu. Desa kecil ini bernama Setoyo. Rumah Dina yang baru beberapa minggu ditempati keluarganya itu berada di ujung desa sebelah timur, dekat ke arah kota kecamatan. Penduduk desa lainnya, tinggal agak jauh dari rumah Dina, berjarak dua kilometer dari rumah Dina ke arah barat. Tak banyak memang penduduk desa ini, hitungannya hanya ratusan kepala keluarga saja. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah petani, dengan satu dua orang membuka warung kebutuhan pokok dan sebagian lainnya berprofesi sebagai guru dan pamong desa. Karena posisi rumahnya yang agak jauh dari pusat desa, Dina memang tak memiliki kenalan warga kampung yang seumuran dengannya. Apalagi, Dina bersekolah di kota kecamatan sana. Menurut Sekar, sebagian besar remaja desa ini, memilih untuk berhenti sekolah saat mereka lulus SMP. Setelah itu, mereka akan membantu orang tuanya bekerja di sawah, ladang, kebun atau apa pun mata pencaharian orang tuanya. Bagi Dina yang selama ini besar di kota yang relatif lebih besar, melihat hamparan sawah, kebun pisang, ladang jagung, dan sayuran seperti sekarang memberikan kesan lain. Apalagi melihat betapa ritme kehidupan di tempat ini begitu pelan. Penduduknya lebih rilek, santai, dan terlihat tidak terburu-buru dalam melakukan semuanya. Seolah-olah waktu berjalan lebih lambat dibandingkan saat Dina tinggal di kota dulu. Dimana dia terkadang harus saling berkejaran dengan waktu dan jadwal yang padat. “Tinggal di kampung tak buruk juga sih sebenarnya,” gumam Dina sehabis melakukan selfie memakai handphonenya dengan background hamparan sawah yang masih menghijau. Dina lalu terus berjalan menyusuri jalan kampung itu dan dari kejauhan dia bisa melihat segerombolan rumah yang dibangun tanpa tata letak yang jelas. Itulah desa Setoyo. Setelah melewati rumah-rumah itu, Dina akan kembali disuguhi oleh sawah dan kebun yang sama dengan apa yang dilihatnya sekarang, hingga nanti ke ujung desa sebelah barat sana. Dina berjalan sedikit cepat dan tak lama kemudian, dia sudah berada di tengah perkampungan. Dengan dandanannya yang menggunakan sepatu sport, celana training dan kaos yang sedikit ketat, Dina terlihat out-of-place saat berada di sini. Anak-anak sedang berlarian tanpa alas kaki di jalanan desa. Sebagian besar dari mereka mengenakan celana sekolah berwarna merah yang juga sekaligus menjadi celana bermain mereka. Mereka menggunakan kaos oblong yang terlihat longgar dan melar, entah sudah berapa kali diwariskan dari kakak-kakak mereka sebelum akhirnya mereka pakai. Tampilan mereka unik dengan kulit menghitam karena sering terjemur matahari, rambut yang sedikit memerah tanpa pewarna, juga ingus mengering yang tak dibersihkan di bawah hidung mereka.Semua itu semakin mempertegas bahwa kehadiran Dina disini seperti sebuah alien asing dengan tampilannya yang jauh berbeda. “Mbaakkkk…” “Mbaaakk…” Anak-anak itu dengan antusias dan tanpa canggung mengerubungi Dina yang rikuh dan kikuk karena dia merasa seolah-olah menjadi seorang artis disini. Tapi tak urung dia pun tersenyum dan tertawa melihat tingkah bocah-bocah itu. “Mbak Dina ya?” Tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan yang mengagetkan Dina. Dina pun menoleh dan melihat ke arah suara itu berasal dan dia sedikit terkejut. Seorang pemuda berkulit sawo matang berdiri dengan menuntun sebuah sepeda di tangannya. Dia tersenyum lebar ke arah Dina, menunjukkan giginya yang putih dan rapi, sangat kontras dengan warna kulitnya. “Bubar-bubar!!” teriak si pemuda ke arah anak-anak kecil yang mengerubungi Dina. Anak-anak itu melirik tak suka ke arah si cowok yang mengusir mereka pergi, tapi tak ada satu pun yang terlihat membantah apa yang dikatakan oleh cowok itu. Mereka berlarian meninggalkan Dina dan cowok itu berduaan di tengah jalan kampung yang memang tak begitu ramai. Dina terdiam, “Memang sih masih jauh dari kategori ganteng ala-ala Lee Min Ho, tapi manis juga sih,” begitulah isi hati remaja kelas dua SMA ini. “Ini sepeda Mbak kan?” tanya si cowok itu. “Keknya iya deh,” jawab Dina sedikit gugup. “Keknya?” si cowok juga terlihat ragu dan menggaruk kepalanya, “Kok keknya?” tanyanya lagi. “Iya, itu sepeda saya kok. Mas nemuin dimana? Di ujung desa ya?” tanya Dina berusaha sok santai. “Iya. Aku ngelihat sepeda ini tadi terjatuh disana. Sempat nanya ke warga desa, katanya punya Mbak. Ini tadi mau nganterin ke rumah Mbak,” jawab si Cowok. “Makasih banyak ya Mas,” kata Dina saat si cowok itu menyerahkan sepeda yang dituntunnya. “Sama-sama Mbak. Oiya kenalin, namaku Aryo,” kata si cowok sambil mengulurkan tangan. “Dina,” jawab Dina sambil menyambut tangan Aryo. Setelah itu, mereka berdua terdiam selama beberapa saat dan tidak tahu apa yang harus diobrolkan. “Mmm, oke deh, makasih ya Mas Aryo, Dina pulang dulu,” kata Dina tak lama kemudian. “Iya Mbak,”jawab Aryo sambil menggaruk kepalanya, keknya kutuan ni anak, sering banget nggaruk kepala. Dan Dina pun melesat di atas sepedanya menuju ke arah timur desa, ke arah rumahnya. ===== “Manis banget doinya, Nay,” kata Dina ke arah sobatnya melalui vcall. “Iya, iya, tapi no pic hoax,” balas Nayla. “Apaan dah, nggak mungkin kan habis kenalan aku langsung minta poto? Norak banget sih kamu Nay,” sungut Dina. “Lha iya, pokoknya aku belum percaya kalau dia semanis yang kamu bilang, sampai ada fotonya,” kata Nayla. “Iya deh iya, serah,” sungut Dina sambil memonyongkan bibirnya. Entah karena apa, tapi Dina masih belum memiliki sahabat baru di sekolahnya yang sekarang. Maklum saja, sebagai murid pindahan, proses adaptasinya akan jauh lebih sulit dibandingkan jika Dina memang sedari awal sekolah disini. Karena itu, dia masih sering vcall atau chat dengan sahabatnya dari SMUnya yang dulu, Nayla. Dia juga baru saja bercerita soal Anton ke sahabatnya itu. Tentu saja sedikit lebay, tapi memang menurut Dina, si Aryo tu lumayan kok, mungkin karena tinggal di kampung jadi agak kurang rapi aja. Coba dirapiin dikit, pasti nggak kalah sama si Dimas, idola mereka di SMU Dina yang dulu. “Aryo…” gumam Dina pelan, menyebut nama cowok desa ini yang ditemuinya tadi siang saat berniat mengambil sepdanya. “Lumayan juga sih.” Perkenalan Dina dengan Aryoseolah membuat gadis itu lupa pengalaman mengerikan yang dialaminya tadi pagi di ujung desa dan membuatnya pingsan. Bahkan entah kenapa, Dina juga tak bisa mengingat apa yang dilihatnya dalam gendongan nenek tua itu. Dia hanya bisa mengingat terror yang dialaminya saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN