Chapter 8 -Joyo

1129 Kata
“Nggak mau!!” “Masih kurang kah kematian Bapak?” Suara teriakan itu lalu diikuti oleh suara tangisan yang terdengar memilukan. Astuti meringkuk dan memeluk kakinya di atas ranjang kamarnya sambil menyenderkan diri ke tembok. Di sebelah ranjang, seorang wanita berdiri sambil berkacak pinggang dengan muka penuh amarah sambil menatap murka ke arah Astuti. “Bapakmu!! Kamu!! Kalian berdua itu tak tahu diuntung. Kalau bukan karena aku, mana bisa kamu tinggal di rumah seperti ini? Mana bisa kamu memakai baju bagusseperti sekarang? Dasar anak tak tahu diri!!” teriak Retno lantang sambil menuding marah ke arah putrinya. Astuti sendiri juga terus terang merasa sedikit keheranan dengan apa yang terjadi selama dua bulan ini. Dimulai dari kejadian malam laknat yang dilakukan oleh sang Bapak, Astuti merasakan seluruh dunianya runtuh seketika. Sosok Bapak yang selama ini dihormatinya, tega melakukan perbuatan keji yang tak akan pernah dimaafkannya. Tapi, Bapak memberikan nyawanya demi mendapatkan maaf dari sang Putri. Dan ketika itu terjadi, Astuti menyesalinya, kini dia menjadi seorang yatim tanpa seorang Bapak yang melindunginya. Tak seperti perkiraan Astuti dan tetangga-tetangga mereka, usaha Retno justru tiba-tiba makin laris dan bertambah maju setelah kematian sang suami. Banyak rumor beredar bahwa Retno berubah menjadi janda binal incaran para lelaki hidung belang dan rela memberikan tubuhnya demi segepok uang. Dan semua itulah yang membuat perekonomian Retno membaik, secara signifikan dan instan. Dua minggu setelah kematian sang Bapak, Astuti mulai merasakan sendiri perbedaan ekonomi yang dia rasakan. Retno mulai memberinya baju-baju baru dan bagus. Perabotan rumahnya mulai berganti. Dan t***k bengek lainnya yang sekarang serba baru, sekalipun rumah Retno sendiri masih seperti yang dulu. Retno juga terlihat sering berdandan menor dan sedikit bersikap genit kepada pembeli-pembelinya. Tapi Retno selalu melarang Astuti untuk ikut melayani para pelanggannya, sekalipun itu hanya menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka. Hingga akhirnya, kemarin sore, tepat sebulan sejak kematian sang Bapak, Retno mengajak seorang laki-laki berpakaian rapi ke dalam rumah dan mempertemukannya dengan Astuti. Astuti sama sekali tak mengetahui maksud ibunya dan laki-laki itu. Astuti menebak mungkin si laki-laki adalah kekasih ibunya dan berniat serius untuk menjadi bapak baru bagi dirinya. Tapi semua itu salah. Laki-laki itu bukan datang untuk meminang Retno, tapi justru dia tertarik untuk meminang Astuti dan sebagai mas kawinnya, dia bersedia membangun sebuah rumah yang akan menjadi rumah termewah di Desa Setoyo ini. Padahal laki-laki itu jauh lebih tua bahkan dari Almarhum Bapak.Itulah alasan kenapa sekarang Astuti berteriak marah dan menangis di kamarnya. “Bapak sudah ndak ada Bu, kenapa Ibu masih nyebut-nyebut Bapak lagi?” tanya Astuti di sela-sela isak tangisnya. “Humph!! Laki-laki miskin seperti dia? Lupakan saja, aku bisa cari duit lebih banyak daripada dia,” teriak Retno. “Ibu tidak mau tahu, pokoknya, kamu harus nikah sama Pak Joyo, kalau tidak, minggat dari rumah ini!” kata Retno sambil menunjuk ke arah pintu depan sesaat kemudian. Astuti hanya bisa terisak-isak saja di tempatnya. Dia sama sekali tak menyangka kalau Ibunya akan berubah seperti ini. Retno tak peduli dan keluar dari kamar anaknya. Dia membanting pintu kamar itu dengan keras dan membuat Astuti terperanjat saking kagetnya. Hanya isak tangis Astuti yang tak kunjung berhenti terdengar dari kamar gadis remaja itu. ===== “Biyuh biyuh… Wuayumuuu Nduk, Nduk,” decak kagum Joyo sambil menatap ke arah Astuti yang hanya bisa meringkuk ketakutan di atas ranjang. Astuti melihat air liur menetes dari sudut bibir si bandot tua itu dan membuatnya jijik hampir muntah. Dia memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan dan beringsut mundur ke belakang, merapat ke arah dinding kamar yang terbuat dari papan. “Sini to Nduk,” kata Joyo yang kini sudah naik ke atas ranjang. “Ndak usah takut,” bisik Joyo dengan suara penuh nafsu dan mata melotot ke arah Astuti seakan ingin menelan gadis itu bulat-bulat, “aku ini kan sudah resmi jadi suamimu to Nduk.” Tanpa sadar, air mata meleleh di wajah Astuti dan dia pun memejamkan mata karena hanya itulah yang dia bisa lakukan. Sesaat kemudian, Astuti hanya bisa merasakan rasa sakit dan perih dari sekujur tubuhnya. ===== “Muantep tenan!!” puji Joyo yang hanya mengenakan sarung saja sambil bertelanjang d**a ke arah Retno. “Jelas to Mas,” jawab Retno, “Jangan lupa janjimu lho, Mas.” “Yo mesti. Ini Joyo, orang terkaya di Setoyo,” kata Joyo sambil menepuk d**a. “Iya, iya,” jawab Retno sambil tersenyum sumringah. ===== Astuti menangis di kamarnya. Dia memang pengantin baru. Dia juga baru saja menjalani malam pertamanya. Tapi semua itu jauh dari kata indah dan bahagia.Si bandot tua itu bagaikan babi hutan yang tak berperasaan. Main seruduk tanpa peduli lawan. Saat ini, yang Astuti bisa rasakan hanyalah rasa kesakitan sama sekali tanpa kenikmatan. Astuti menangis di kamarnya. Dia gamang. Dia tak tahu apakah ini akan menjadi satu dari sekian banyak malam panjang menyakitkan yang akan dia alami seumur hidupnya? Apakah ini hanya sebuah permulaan dari siksaan tanpa henti yang akan dia nikmati hingga akhir hayatnya? Astuti menangis di kamarnya. Seandainya saja… Seandainya saja Bapak masih ada, apakah semua ini akan terjadi? Seandainya saja, Astuti memberikan maafnya hari itu… Apakah Astuti bisa terhindar dari semua ini? Astuti menangis di kamarnya. Tangisan tanpa suara karena sakit yang tak tertahankan lagi dalam dadanya. Hanya tubuh berguncang dan air mata mengalir yang menunjukkan bahwa Astuti sedang menangis dan meratapi nasibnya. Dan akhirnya, Astuti mendengarnya. Sebuah suara yang sayup-sayup terbawa angin lalu tiba-tiba menjadi jelas seketika. Suara dengung instrument gamelan yang sedang memainkan gending Kebo Giro layaknya proses temanten yang baru tadi siang Astuti jalani bersama si bandot tua. Astuti menggelengkan kepalanya. Dia ingin membuang suara itu dari kepalanya. Dia tak butuh lagu iringan itu. Lagu iringan yang justru akan mengingatkan betapa tidak bahagianya pernikahan yang baru saja Astuti jalani. Tapi, seberapa keras pun Astuti berusaha mengusirnya, suara gending gamelan itu tetap terdengar di telinganya. Berdengung. Syahdu. Mendayu. Tak mau hilang. Bahkan, seiring berjalannya waktu, suara gamelan itu justru semakin terdengar jelas. Seperti tersihir, Astuti bangkit dan turun dari ranjangnya. Dia berjalan perlahan tanpa suara ke arah jendela. Langkah demi langkah membawa Astuti semakin dekat ke jendela kamarnya yang terbuat dari papan, sama seperti seluruh dinding rumahnya. Suara gending gamelan itu masih terdengar, memang tak sejelas tadi, tapi di dalam kepala Astuti, tiba-tiba terbayang prosesi pernikahannya tadi siang. Dengan iringan gending yang sama, dia dan si bandot tua itu berjalan menuju ke pelaminan, menuju ke masa depan yang tak terbayangkan. Astuti bingung. Pikirannya berlari ke sana ke mari tak tentu arah, seperti terhipnotis oleh alunan gending gamelan yang seolah langsung masuk ke kepalanya tanpa melalui telinga. Hingga akhirnya Astuti berdiri di dekat jendela. Astuti yakin kalau suara gending gamelan itu berasal dari jalan di depan rumahnya. Karena itu, dia mencoba untuk membuka daun jendela kamarnya sedikit saja, hanya untuk memberikan celah bagi Astuti untuk melihat darimana suara itu berasal. Dan Astuti pun melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN