12. Insiden Sabtu Malam

2128 Kata
Mobil berhenti di depan restoran bintang lima yang terkenal dengan olahan salmonnya. Tak lama kemudian, pintu di sisi Prajaka dibukakan. Dia turun lebih dulu lalu mengulurkan tangan untuk membantu Zalima keluar. Bersama-sama, mereka melangkah masuk dan disambut ramah oleh pelayan yang segera mengarahkan ke ruang privat—ruangan yang telah dipesan oleh sekretaris Prajaka. Begitu pintu ruang privat tertutup dan pelayan pergi, barulah pegangan tangan mereka terlepas. Zalima lebih dulu menarik tangannya, lalu berjalan menuju purse stool untuk meletakkan tas, sebelum akhirnya duduk di sebelah Prajaka. “Katamu yang datang ada dua orang, kan?” tanyanya tanpa menoleh, sambil merapikan rambutnya untuk memastikan tak ada yang berantakan. “Ya, Mr. Wiliam dan sekretarisnya, Mr. Adam.” Prajaka tanpa sadar ikut membantu merapikan rambut Zalima. “Oke, aku akan mengingat nama mereka,” ujarnya sembari menepis tangan itu pelan. Untuk memperkuat kesan pasangan baru yang romantis, malam ini Zalima dan Prajaka mengenakan gaun dan jas berwarna senada—navy. Ide itu datang dari Zalima, padahal awalnya Prajaka ingin mengenakan setelan abu gelap. Hasilnya luar biasa. Mereka tampak serasi dan sempurna, membuat ide couple look itu sama sekali tidak sia-sia. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Pelayan mengantar dua pria asing berperawakan tinggi. Mereka otomatis berdiri menyambut, memasang senyum profesional. “Good evening, Mr. Prajaka.” Yang menyapa lebih dulu sekaligus menjabat tangan Prajaka adalah Wiliam Collins, kemudian disusul oleh John Adam, sekretarisnya. “Good evening. It’s an honor to finally meet you in person,” balas Prajaka tenang, sementara Zalima menunduk sopan dengan senyum ramah. Mereka pun duduk. Beberapa saat setelahnya, pelayan kembali datang menawarkan menu. Prajaka menoleh ke Zalima, memberi isyarat halus agar dia memesan lebih dulu “I’ll have the salmon steak, please,” ucap Zalima dalam bahasa Inggris yang fasih, membuat Mr. Collins tampak terkesan. Kemudian percakapan mengalir—tentang proyek kerja sama, rencana distribusi produk, dan sedikit obrolan ringan soal budaya Indonesia. Di sela pembicaraan, Zalima sesekali menimpali dengan kalimat ringan yang membuat suasana lebih cair. Ketika hidangan utama datang, aroma butter dan rempah memenuhi meja. Ketegangan pun luruh seketika saat Mr. Collins mencoba sambal dan langsung meneguk air dengan tergesa karena kepedasan. “This is ... quite strong!” serunya sambil tertawa. “Indonesian people love a little challenge in their food,” sahut Prajaka, membuat semua yang hadir ikut tergelak. Makan malam mereka berlangsung dengan lancar. Pembicaraan mengenai kerja sama akhirnya mencapai kesepakatan. Poin plusnya, ketika Mr. Collins dan sekretarisnya hendak meninggalkan ruangan, dia sempat menepuk bahu Prajaka sambil berkata, “You’re lucky, Mr. Prajaka. A beautiful wife and a brilliant mind—it’s a rare combination.” Prajaka tersenyum mendengarnya. Dia sempat melirik Zalima sekilas, ada kebanggaan yang jelas terpancar dari tatapannya. “Thank you. I guess I’m luckier than I deserve, Mr. Collin,” balasnya mantap. Setelah mereka pergi, Zalima yang baru beranjak dari kursi mendadak menghentikan langkah saat Prajaka tiba-tiba menggenggam tangannya. Dia menoleh, keningnya berkerut menandakan kebingungan atas tindakan pria itu. “Terima kasih. Semua berjalan lancar berkatmu,” ucap Prajaka lembut. “Ah, aku nggak banyak membantu. Mereka setuju bekerja sama karena percaya pada reputasi dan kredibilitas MiSantara Food. Selain itu, strategi pemasaran yang kamu tawarkan memang matang. Tapi lebih dari itu, caramu berbicara, tenang, yakin, dan berwibawa, membuat mereka juga yakin.” “Klien melihat bukan hanya angka dan konsep, tapi juga sosok di baliknya. Dan mereka melihatmu sebagai pemimpin yang bisa dipercaya membawa kerja sama ini menuju hasil nyata,” lanjut Zalima. Dia baru saja menyelesaikan kalimatnya ketika Prajaka tiba-tiba menunduk dan mengecup punggung tangannya singkat. Kelopak matanya otomatis melebar, jelas kaget dan tak sempat bereaksi apa-apa. Mulutnya bahkan sedikit membuka. “Meskipun begitu, aku tetap berterima kasih.” Prajaka lantas menarik Zalima pelan. Mengambilkan tasnya di purse stool, menentengnya dengan tangan lain, lalu menatapnya lagi dengan senyum tipis yang terlihat tulus. “Aku akan menepati janji, Za. Kau berhak mendapatkan reward. Tapi sebelum itu, aku akan membawamu ke tempat yang ingin kau datangi tempo hari. Suasana hatiku sedang bagus saat ini, jadi biar aku yang menemanimu ke sana sekarang.” *** Tempat yang dimaksud Prajaka rupanya adalah klub malam milik Abimana. Begitu mereka tiba di gedung besar berlantai tiga itu, keramaian langsung menyambut. Di antara hiruk-pikuk manusia dan dentuman musik, mereka menemukan Abimana di balik meja bar—menjadi bartender yang memesona, memikat setiap pelanggan wanita dengan senyum dan gerakan tangannya yang luwes. Begitu melihat mereka, senyum Abimana melebar. Dia meminta bartender lain mengambil alih tugasnya sementara, lalu meninggalkan meja bar untuk menyapa Prajaka dan memeluk Zalima singkat, kemudian menuntun mereka ke salah satu meja di sudut ruangan. “Terima kasih sudah datang, kau boleh memesan apa pun yang kau mau. Semua yang ada di sini gratis, khusus untukmu, Za.” Zalima tersenyum mendengar itu, sementara Prajaka di sebelahnya berdecak dan memutar bola mata malas. Bagaimana tidak, dia yang teman Abimana, tapi justru Zalima yang mendapat perlakuan istimewa. “Aku tidak pernah ditawari seperti itu. Kenapa kau melakukannya pada istriku?” tanyanya ketus. “Karena dia cantik. Lebih dari itu, dia baik karena mau menolong orang bodoh sepertimu,” jawab Abimana santai. “Dia menolong bukan tanpa alasan. Ada imbalan di balik kebaikan hatinya.” Ah, bisa disimpulkan Abimana tahu pernikahan kontrak mereka. Pantas saja dari awal bertemu, dia begitu ramah pada Zalima. Ternyata dia salah satu orang yang memegang rahasia itu. Tahu begitu, Zalima tak perlu repot berakting di depannya. “Oke, Tuan-tuan sekalian, karena kalian sibuk mengobrol, aku akan pergi sebentar untuk menelepon.” Tatapannya kemudian beralih pada Abimana. “Nggak masalah, ‘kan, kalau aku memanggil teman ke sini?” “Teman yang mana?” tanya Prajaka cepat. Sedetik kemudian dia berdehem canggung, sadar mulutnya terlalu gesit melontarkan kata-kata. “Arumi, kamu masih ingat?” “Yang datang ke pernikahan kita waktu itu? Ya, sepertinya aku ingat.” “Aku ingin mengajaknya ke sini. Kamu nggak keberatan, kan?” “Selama itu bukan laki-laki, aku tak masalah.” Abimana mendengkus pelan mendengarnya. “Kenapa melarangnya? Kalau kau takut hubungan palsu kalian ketahuan, itu tidak akan terjadi. Aku bisa memastikan klubku aman untuk orang-orang seperti kalian.” “Kau tidak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur, Bim. Ini urusan kami berdua.” Zalima yang mulai bosan mendengar perdebatan mereka langsung menengahi. “Aku hanya akan memanggil Arumi, oke? Nggak akan ada laki-laki lain or whatever.” Setelah itu, dia beranjak pergi menuju rooftop—tempat yang tampak cukup tenang untuk menelepon. Sepuluh menit kemudian, Zalima kembali. Tapi Abimana sudah tidak ada di meja mereka lagi. Pria itu kembali di balik bar, melayani pelanggannya. “Kamu pesan minuman apa?” tanya Zalima, melirik botol kaca yang tutupnya sudah terbuka dan gelas kecil di depan Prajaka yang sudah terisi. “Ada nggak di sini yang non-alkohol? Aku gampang mabuk soalnya.” “Ini bir. Kalau yang non-alkohol kau bisa memintanya pada salah satu pelayan Abimana.” Zalima mengangguk singkat, tapi bukannya memanggil pelayan seperti saran Prajaka, dia malah berjalan menghampiri Abimana. Sebelum memesan, mereka sempat mengobrol, dan Zalima dibuat kagum oleh kemahiran pria itu meracik minuman. “Kurasa kamu salah satu bartender terkeren yang pernah kutemui,” pujinya sambil tertawa. “Kalau ‘salah satu’, berarti ada banyak bartender yang sudah kau temui?” “Nope. Hanya beberapa.” “Tapi aku yakin aku yang paling tampan di antara mereka.” Alis Abimana naik-turun menggoda, membuat Zalima kembali tergelak. “Okay, Tuan Bartender, sekarang buatkan aku minuman terbaik buatanmu yang nggak ada alkoholnya,” pintanya kemudian. “Sure. Wait a minute, Sweetie.” Saat Zalima fokus memperhatikan Abimana memamerkan keahliannya meracik minuman, Prajaka tiba-tiba menyusul dan menyentuh bahunya pelan. “Apa yang kalian bicarakan? Kenapa lama sekali memesan minuman?” “Aku sedang menunggu Kak Abimana membuatnya.” “Kak?” ulang Prajaka tak percaya. “Sejak kapan kalian dekat? Dan tidak semua orang cocok dipanggil kakak. Dia salah satunya.” “Lalu siapa yang cocok? Kamu?” Prajaka tidak mengangguk, tapi wajahnya terlihat serius. “Kita kembali ke meja.” Tatapannya kemudian beralih pada Abimana. “Nanti minta pelayanmu yang mengantarnya, jangan kau sendiri. Jangan tinggalkan pekerjaanmu sesuka hati. Tidak profesional sekali.” “Hei, apa masalahmu, Bro?” Kening Abimana berkerut mendengar nada ketus Prajaka. “Tidak ada. Hanya saja kau terlihat lebih menyebalkan malam ini.” Tanpa memberi kesempatan Abimana membalas lagi, Prajaka langsung menarik Zalima kembali ke meja. Dia mendudukkan istrinya di salah satu sudut sofa, lalu ikut duduk di sebelahnya. Padahal sebelumnya mereka tidak berdekatan karena Prajaka sibuk dengan ponselnya, tapi kini pria itu justru mendempetnya. Tingkahnya mendadak aneh sekali. “Kau mau reward apa?” tanya Prajaka kemudian, dia sengaja membuka topik agar Zalima tidak terpikir untuk kembali berbincang dengan Abimana. “Uang, perhiasan, atau pakaian? Pilih saja, akan kubelikan.” “Ah, aku belum memikirkan apa pun, jadi reward itu sebaiknya kusimpan dulu,” jawab Zalima. Tiba-tiba Prajaka mengeluarkan ponselnya dari saku jas dan memperlihatkan layarnya. “Sekretarisku menyarankan membelikanmu perhiasan. Pilihlah mana yang kau suka.” Beberapa model perhiasan dari brand ternama dunia terpampang di sana. Zalima tak perlu bertanya untuk tahu berapa harganya, tapi karena tak ada satu pun yang menarik perhatian, setelah melihat beberapa lama dia menggeleng pelan. “Aku tahu kamu punya banyak uang, tapi bukan hal semacam itu yang kuinginkan.” “Lalu apa? Rumah seperti yang papi sarankan beberapa malam lalu, atau ruko untuk bisnis?” “Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang aku cuma ingin bersenang-senang. Oke?” Mulut Prajaka sempat terbuka, tapi kedatangan Arumi membuatnya menutup kembali. “Sumpah, Za, lo tiba-tiba banget nyuruh gue ke sini.” Arumi melirik Prajaka sekilas, lalu mengangguk singkat sebagai sapaan. “Memangnya di sini tempat pertemuannya?” “Bukan. Panjang kalau dijelasin, tapi intinya gue senang lo udah di sini.” Zalima segera berdiri dan menarik Arumi ke lantai dansa setelah menitipkan tas sahabatnya itu pada Prajaka. “Kak Praja yang ajak gue ke sini,” bisiknya di tengah keramaian dan dentuman musik. “Dia sempat nguping pembicaraan kita malam itu.” “Hah? Terus, setelah ngajak lo ke sini, dia mau apa?” “Entah, gue juga nggak tahu. Tapi dia punya kebiasaan—kalau suasana hatinya lagi bagus, dia bakal nurutin apa pun yang gue mau.” “Oh, jadi karena dengar kita mau ke klub, makanya dia inisiatif ajak lo duluan ke sini?” Zalima mengangguk. “Aplaus buat kepekaannya. Tapi perlu gue ingetin, jangan sampai jatuh hati, Za. Dia nikah kontrak sama lo ‘kan karena mau rujuk sama mantan istrinya.” “Tenang aja, nggak bakal, kok.” Meski masih tampak ragu, Arumi memilih tak memperpanjang. Di justru mengangkat jempol lalu mulai menggoyangkan tubuh mengikuti irama DJ. Zalima pun ikut larut. Mereka bersenang-senang setelah lama tidak melakukannya. Namun saat lampu dibuat semakin redup, tarian Zalima terganggu oleh laki-laki asing di belakangnya. Awalnya dia berusaha menghindar, mengira itu hanya kebetulan, tapi ternyata pria itu malah mengikuti, bahkan berani meraba lengan dan pahanya. “Boleh aku gabung?” bisik laki-laki itu di dekat telinganya. Napasnya membuat Zalima bergidik jijik. “Dari tadi kau cuma berdua dengan temanmu. Belum ada pasangan, kan?” “Menjauhlah, aku datang bersama suamiku,” desis Zalima kesal. “Aku tidak percaya alasan seperti itu. Kalau benar datang bersamanya, di mana suamimu sekarang? Kenapa dia membiarkan istri secantik kamu menari sendirian?” Geram karena pengusirannya diabaikan, Zalima berbalik dan mendorong d**a pria itu. “Kamu akan menyesal kalau tetap keras kepala. Suamiku pandai berkelahi, tubuhnya lebih tinggi dan besar darimu.” “Kau pikir aku takut? Ayolah, berhenti berbohong dan main saja dengank—” Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Prajaka tiba-tiba muncul dan langsung meninju wajah pria itu hingga terjengkang ke lantai. Tinju Prajaka menghantam wajah pria itu dengan keras. Suara benturan tulang dan pekikan kaget membuat beberapa orang berteriak pelan. “Menjauh darinya, berengsek!” Sekeliling mereka langsung gaduh. Musik dihentikan, orang-orang membentuk lingkaran, menatap penuh rasa ingin tahu. “Oh, jadi kau suami yang dimaksud?” Laki-laki itu mengusap pipinya yang nyeri, lalu meludah ke lantai sebelum berdiri. “Kupikir dia berbohong untuk menolakku.” Prajaka tidak menanggapi, hanya menatap tajam sambil bersiap kembali menerjang, kalau saja Abimana tidak segera datang bersama dua petugas keamanan. Mereka dipisahkan, dan laki-laki itu dibawa keluar. Sebagai pemilik tempat, Abimana cukup berpengaruh untuk menenangkan suasana. Dia meminta DJ memutar musik lagi, dan perlahan orang-orang kembali menari, seolah insiden tadi tak pernah terjadi. Sementara itu, Zalima menarik tangan Prajaka, membawanya naik ke rooftop. Meski terkejut atas tindakan pria itu, dia sama sekali tidak berniat menyalahkan. Justru dalam hati, Zalima ingin berterima kasih—karena berkat Prajaka, dia terbebas dari tangan kotor pria m***m itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN