10. Sindiran Tuan Mahendra Untuk Putranya

1634 Kata
Selesai makan malam, mereka berpindah ke ruang keluarga untuk berbincang sambil menikmati teh kamomile hangat. Televisi di depan menyala dengan volume kecil, namun tak seorang pun benar-benar memperhatikannya. “Mami dengar dari Praja, kamu bersedia ikut beberapa pelatihan sebelum tampil di acara-acara publik dengannya. Apa itu benar, Ning?” Pertanyaan Nyonya Ayu membuat Zalima mengalihkan pandangan dari gelas yang digenggamnya. Dia tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. “Iya, Mi. Sebagai istri baru Kak Praja, saya sadar banyak mata yang memperhatikan. Sikap dan perilaku saya akan menjadi penilaian mereka. Kalau tidak sesuai harapan, pasti akan timbul perbandingan dengan mantan istrinya. Itu bisa berdampak, bukan hanya pada Kak Praja, tapi juga keluarga Dirgantara.” Zalima melanjutkan, “Jadi, sebelum hal itu terjadi, saya ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin agar bisa diterima di lingkup pergaulan sosial Kak Praja dan keluarga Dirgantara.” Diam sejenak, dia menggigit pelan bibir bawahnya, menimbang-nimbang apakah perlu mengatakannya atau tidak. Namun karena terus mengganggunya, akhirnya dia memutuskan untuk berbicara. “Mi, maaf, tolong panggil saya Zalima saja. Ning itu ... sudah lama nggak dipakai. Agak asing di telinga saya.” “Apa kamu tidak suka? Padahal Ning lebih simpel, lebih mudah diucapkan juga.” Nyonya Ayu menyesap tehnya dengan anggun, lalu menaruh kembali gelasnya di atas piring kecil di meja. “Mami akan tetap menggunakan nama itu untukmu. Mari kita hidupkan kembali kenangan dari ‘Ning’. Dan soal pelatihan, pemikiranmu cerdas sekali. Memang sudah seharusnya begitu. Mami akan memperkenalkan seorang tutor profesional kepadamu. Tentukan kapan kau bisa memulai pelatihan. Oh, jangan lupa minta Praja memperkerjakan seorang asisten untukmu. Kamu pasti akan membutuhkannya nanti.” Tak hanya Zalima yang terdiam mendengar penolakan halus Nyonya Ayu, Prajaka pun demikian. Dia tak mengerti mengapa maminya menunjukkan sikap yang tidak biasa. Padahal beliau tahu Zalima bukan menantu sesungguhnya—seharusnya tak perlu menunjukkan kedekatan seperti itu. “Memang apa hubungannya kenangan nama itu dengan Mami? Sudahlah, kalau Zalima tidak mau, jangan dipaksa,” tukas Prajaka, menyandarkan punggung sambil mengibaskan tangan pelan. “Siapa yang memaksa? Mami tidak melakukan pemaksaan, Praja.” “Tadi waktu Zalima menolak, Mami tetap mau memanggilnya ‘Ning’. Apa itu bukan memaksa namanya?” “Sudahlah, itu hanya nama panggilan,” sela Tuan Mahendra. Dia melirik sekilas ke arah mereka sebelum mengalihkan pandangan pada televisi. Tangannya sibuk mengelus bulu kucing ras maine coon di pangkuannya—peliharaan kesayangan yang merupakan hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima puluh sembilan dari sang cucu. Beberapa kali melihat kucing itu, Zalima selalu kagum. Bagaimana tidak? Hewan itu tampak bersih, gagah, dan begitu sehat. Kalungnya bahkan memiliki bandul berlian. Bisa dibayangkan betapa sejahteranya hidup kucing itu di keluarga ini. Nasibnya bahkan lebih baik daripada Zalima. “Bagaimana rasanya setelah satu minggu menjadi istri kontrak Praja? Ada hal yang tidak kau sukai darinya?” tanya Tuan Mahendra pada Zalima. Lamunan Zalima tentang kucing langsung buyar. Dia menoleh sekilas ke arah mertuanya, lalu menjawab, “Biasa saja, nggak ada yang istimewa, Pi. Tapi dia royal dan baik, memenuhi semua kebutuhanku tanpa diminta. Bahkan dia memberiku mobil, yang belum kupakai sampai sekarang karena aku sudah punya.” “Apa menurutmu itu sudah cukup?” “Ya. Terlalu banyak malah untuk ukuran pernikahan singkat selama tiga bulan.” “Cobalah lebih serakah lagi. Kau membantunya menutupi sesuatu yang memalukan, mobil dan uang yang nominalnya tidak seberapa itu masih kurang. Minta lebih banyak. Kalau perlu, rumah sebagai tunjangan setelah bercerai nanti—tanah, atau bangunan apa pun yang bisa kamu gunakan untuk membangun bisnis. Ketika kau tidak lagi menjadi menantu keluarga Dirgantara, setidaknya kau punya penghasilan sendiri.” Mulut Zalima langsung terbuka, terperangah mendengarnya. Baru kali ini ada mertua yang terang-terangan memintanya serakah. Bahkan mobil seharga satu miliar dianggap belum seberapa. Memangnya sekaya apa Raden Prajaka Bumi Dirgantara? “Makasih banyak sarannya, Pi, tapi sepertinya ada perbedaan antara definisi ‘cukup’ versi Papi dan ‘berlebihan’ versi saya. Jadi, mungkin saya tidak bisa meminta lebih dari yang sudah diberi.” Tawa Tuan Mahendra terdengar lepas di ruangan yang luas itu, membuat kucing di pangkuannya kaget dan melompat turun, lalu berjalan ke arah Prajaka untuk bermanja-manja. Prajaka langsung menyambutnya dengan tangan terbuka. Sebelum menggendong, dia lebih dulu mencium kepala kucing itu dan menggaruknya lembut hingga hewan itu mendengkur puas. “Sejauh ini, satu-satunya hal yang tidak kusukai darimu adalah kau tidak memiliki sisi licik. Pemikiranmu cerdas, Zalima, tapi cerdas saja belum cukup. Kau harus pandai memanfaatkan situasi, atau kau akan berakhir rugi sendiri.” Mulut Zalima sudah terbuka hendak menjawab, tapi Prajaka lebih dulu menimpali, “Kesepakatan kami dibuat atas dasar keuntungan kedua belah pihak. Jadi kerugian yang Papi maksud tidak akan ada.” “Coba jelaskan apa untung yang akan kamu dapatkan, Praja. Mami mau dengar,” sela Nyonya Ayu, yang sejak tadi hanya diam menyimak. Seketika Prajaka terdiam. Dia tahu, maminya sedang menyindir. Karena kalau dia mengatakan bahwa rujuk dengan Stevani adalah sebuah keuntungan—itu akan menjadi kesalahan besar. Papinya pasti akan ikut menertawakannya dengan nada sarkas. “Setiap pebisnis yang membangun usahanya dari nol selalu memiliki pemikiran kritis. Kadang peluang bisa jadi kerugian, dan keuntungan pun bisa berbalik merugikan. Kau mungkin tidak tahu itu, karena dibesarkan sebagai pewaris,” sindir Tuan Mahendra pada anak bungsunya. “Ketahuilah, Praja, di hadapan cinta, akal selalu berada di bawah. Begitu pun sebaliknya. Jadi, sepiawai dan sehebat apa pun kau dalam pekerjaan, dalam urusan wanita kau tak lebih dari orang bodoh yang sudah dibutakan.” Tak lagi bisa membela diri, Prajaka hanya bungkam sambil membelai bulu kucing di gendongannya. Sementara Zalima yang duduk di sebelahnya hanya menatap prihatin tanpa bisa berbuat apa-apa. Itu urusan keluarga mereka, dan sebagai orang luar, Zalima tahu diri untuk tidak ikut campur. Namun satu hal yang bisa dia simpulkan dari makan malam ini adalah—semua sindiran yang diarahkan pada Prajaka tidak akan mempan. Karena menasihati orang yang sedang jatuh cinta, sama saja berharap batu bisa berbicara. *** “Selamat pagi, Bu.” Zalima yang baru saja keluar dan menutup pintu kamarnya langsung kaget mendengar suara itu. Dia menatap dengan kening berkerut pada seorang wanita asing yang usianya—mungkin—beberapa tahun lebih tua darinya. “Siapa kamu?” tanyanya heran. “Saya Emily, asisten Ibu yang baru diperkerjakan Pak Prajaka. Hari ini hari pertama saya bekerja.” Secepat ini sudah mendapat asisten? Untuk ke sekian kalinya Zalima dibuat kagum oleh kekuatan uang keluarga Dirgantara. “Baiklah. Karena aku akan pergi ke ruang gym, untuk sementara kau boleh sarapan dulu. Lagipula ini masih terlalu pagi untuk mulai belajar.” “Saya sudah sarapan, Bu. Dan saya tidak keberatan menemani Ibu sampai selesai gym.” “Hanya diam mengawasi di sana? Pasti membosankan sekali. Lebih baik lakukan hal lain saja. Khusus hari ini, karena ini hari pertama, kita akan menyusun jadwal setelah olahragaku selesai.” Emily tak menjawab, hanya mengangguk. Zalima menyimpulkan bahwa itu artinya setuju, tapi begitu dia mulai berjalan menyusuri lorong menuju ruang gym di ujung, langkah kaki lain terdengar mengikuti. Ketika Zalima menoleh dengan sebelah alis terangkat, Emily menjawab tenang, “Saya akan menunggu Ibu sampai selesai.” “Dasar keras kepala,” gerutu Zalima, memutuskan untuk tidak peduli lagi. Di ruang gym, sudah ada Prajaka yang tengah melakukan bench press. Keringat membanjiri tubuhnya, kaos putih tanpa lengan yang dikenakannya terlihat basah. Bukannya jijik, Zalima malah salah fokus. Bagaimana tidak, urat dan otot tangannya menonjol—terlihat kekar dan ... enak untuk dijil—eh, apa?! Tersadar dari pikirannya yang melantur, Zalima cepat-cepat memalingkan wajah dan menggelengkan kepala. Dia mendadak kesal pada diri sendiri, seperti baru pertama kali melihat pria berolahraga. Padahal di tempat gym langganannya dulu, banyak pria yang jauh lebih kekar dari Prajaka. Mungkin ini reaksi normal ketika melihat mantan tampak lebih gagah dari sebelumnya. Perempuan lain di posisinya pun pasti akan bereaksi sama. Jadi, bukan karena tertarik atau muncul lagi perasaan lama—hanya kaget dengan perubahan besar yang dilihatnya. Zalima naik ke treadmill, menekan tombol start dan memulai dengan kecepatan rendah. Awalnya berjalan, lalu jogging ringan, hingga akhirnya berlari. Gerakannya memicu keringat mengucur deras. Anak-anak rambutnya yang terlepas dari cepolan menempel di leher dan pipi, jaket yang dia kenakan pun ikut basah. Tiga puluh menit kemudian, dia turun dari treadmill. Saat berbalik, Emily sudah sigap menyodorkan handuk dan sebotol air mineral. Zalima menerima sambil tersenyum dan mengucap terima kasih—asisten barunya ini rupanya bisa diandalkan tanpa perlu banyak perintah. Ketika Zalima baru saja meneguk airnya, Prajaka yang juga sudah selesai berolahraga berjalan mendekat. Dia menatap Zalima sekilas sambil menyeka keringat di dahi dan lehernya dengan handuk kecil. “Aku belum sempat bilang, pelatihan etika dan tata krama-mu dimulai hari ini. Sabtu malam ada jamuan makan malam bersama klien asing. Itu akan jadi acara sosial pertamamu, karena saat itu aku akan memperkenalkanmu sebagai istriku.” “Malam Sabtu?” Zalima menghitung cepat, lalu matanya membulat. “Empat hari lagi? Menurutmu aku bisa belajar secepat itu?” “Bisa,” jawab Prajaka mantap. “Kau salah satu perempuan paling cerdas yang kukenal. Jadi, tak mustahil menguasainya dalam waktu singkat. Lagipula sikapmu sudah sopan dan terkendali, kau hanya perlu penyempurnaan.” Apa itu pujian? Ah, Zalima jadi urung menyangkal. Dia berdehem kecil dan menghindari tatapan Prajaka—entah kenapa, tiba-tiba dia merasa salah tingkah. “Baiklah. Karena kamu percaya padaku, aku juga akan melakukan yang terbaik untuk jamuan itu.” “Good.” Prajaka tersenyum tipis memuji, lalu menepuk puncak kepala Zalima dua kali sebelum berbalik pergi. Dari arah pintu, dia menambahkan dengan nada santai namun penuh makna, “Semoga sesi belajarmu menyenangkan, Nyonya Dirgantara. Kau akan mendapat reward setiap kali berhasil memerankan sosok istri sempurna seorang Raden Prajaka.” Zalima sempat ingin bertanya reward seperti apa yang dimaksud, tapi karena sosok Prajaka sudah menghilang di balik pintu, niat itu dia urungkan. Dia hanya mengembuskan napas dan kembali menatap Emily yang masih setia berdiri agak jauh dari posisinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN