Area dapur begitu ramai karena Bi Asih dan Bi Ina sibuk menyiapkan bahan, sementara Zalima duduk di salah satu kursi bar, memperhatikan mereka sambil menyebutkan menu yang harus dimasak untuk malam nanti. Dia bukannya tidak ingin membantu, tapi baru saja memotong sawi kailan dan hendak mencucinya, Bi Asih langsung melarang. Katanya, jangan mengotori tangan. Kalau sampai Prajaka tahu Zalima ikut memasak, mereka bisa dimarahi.
Selama tinggal di sini, Prajaka memang berpesan pada ART-nya agar melayani Zalima sebaik mungkin. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah tangga. Kodrat menantu keluarga Dirgantara, kata Prajaka, adalah mengatur, memberi perintah, dan arahan—sementara orang lainlah yang dibayar untuk mengerjakan.
“Kak Praja seingatku nggak picky eater, jadi harusnya nggak apa-apa kalau menunya nanti nasi hainam, beef black pepper, tom yum, sama tumis kailan saus tiram,” kata Zalima, menyebutkan beberapa masakan Asia modern yang terlintas di pikirannya. Dia juga meminta pendapat dua wanita yang sibuk mondar-mandir di hadapannya. “Kalau ditambah pangsit goreng sama sambal bawang, cocok nggak, Bi?”
“Cocok, Bu,” jawab Bi Ina sambil memotong daging. Sesekali dia menatap Zalima agar tetap sopan ketika diajak bicara. “Untuk minuman sama makanan penutupnya, Ibu mau dibuatkan apa? Atau kami saja yang menentukan kalau Ibu bingung memilihnya?”
“Es teh lemon sama mango s**o, gimana?”
“Perpaduan yang menyegarkan, Bu. Dua-duanya nggak bikin eneg setelah makan makanan utama yang gurih.”
Zalima menjentikkan jarinya pelan. “Baiklah, itu semua yang harus disiapkan buat nanti malam. Semangat masaknya ya, Bibi-bibi sekalian. Maaf nih aku nggak ikut bantu, cuma nontonin sama ngerecokin kalian dengan kecerewetanku.”
“Nggak apa-apa, Bu. Dengan ngasih tahu kami harus masak apa saja sudah sangat membantu,” kata Bi Asih, tersenyum tipis.
Sekitar satu jam Zalima berada di dapur, tapi begitu melihat jam di ponsel menunjukkan pukul setengah lima, dia memutuskan untuk beranjak dan bersiap-siap. Butuh waktu lumayan lama untuk mandi dan berdandan, mengingat yang datang malam ini adalah teman-teman Prajaka. Dia harus terlihat anggun dan menyenangkan—setidaknya cukup untuk membuat suaminya tidak malu memamerkannya sebagai istri.
***
Ada empat orang yang datang malam itu—tiga laki-laki dan satu perempuan, yang ternyata istri salah satu dari mereka. Prajaka memperkenalkan satu per satu kepada Zalima, dan, surprisingly, mereka semua ramah. Bahkan sempat meminta maaf karena tidak bisa hadir di pernikahan waktu itu.
“Ada perjalanan dinas di Kuala Lumpur, dan istriku ikut juga. Kedatangan kami malam ini untuk klarifikasi sekaligus memberi selamat,” ujar Wiliam, teman alumni satu kampus dengan Prajaka. Istrinya, Naura, yang duduk di sebelahnya, mengangguk membenarkan.
Setelah itu, Naura menyerahkan sebuah paper bag yang langsung disambut Zalima dengan senyum manis. Entah apa isinya, dia tak tahu, tapi satu hal yang bisa dipastikan, dia menghargai pemberian itu.
“Makasih banyak,” ucapnya tulus.
Dua teman Prajaka yang lain lalu memberikan buket bunga dengan jenis berbeda—white lily dan peach rose. Aromanya yang lembut membuat Zalima tak tahan untuk tidak menghidunya.
“Ini indah sekali. Makasih banyak, Joseph dan Abimana.” Raut bahagia jelas terpancar di wajahnya. Dia tidak berpura-pura; memang benar, Zalima selalu menyukai bunga, jenis apa pun itu.
Sebelum bertemu mereka, sempat terlintas kekhawatiran di benaknya—bagaimana jika teman-teman Prajaka tidak menyukainya? Dari Stevani ke dirinya, perbedaan mereka terlalu jauh. Tapi ternyata kekhawatiran itu tak beralasan. Zalima diterima tanpa harus berpura-pura sopan, anggun, atau beretika berlebihan.
“Sama-sama. Syukurlah kalau kau menyukainya. Bunga itu cocok sekali denganmu,” ujar Abimana tanpa segan. Pandangannya sempat beralih ke Prajaka sebelum menambahkan dengan nada menggoda, “Zalima, kalau butuh hiburan, hubungi aku, ya. Aku pemilik salah satu club terbesar di kota ini. Kau akan jadi tamu VIP kami tanpa harus jadi pelanggan tetap.”
“Bro, istriku tidak suka kebisingan dan alkohol,” tukas Prajaka sambil berdecak.
Berlawanan dengan ucapan suaminya, Zalima justru tertawa kecil dan mengangguk santai. “Tentu. Terima kasih banyak atas tawarannya.”
Setelah perkenalan yang hangat itu, mereka berpindah ke ruang makan. Beragam menu telah tersusun rapi di atas meja. Zalima mempersilakan mereka menikmati hidangan, sambil berkata jangan sungkan memberi tahu jika ada yang kurang. Semua ini disiapkan khusus untuk mereka—dan kalau mereka tidak puas, Zalima merasa telah gagal menjamu teman-teman suaminya dengan baik.
***
Zalima baru saja bersiap tidur setelah beberapa menit lalu menyelesaikan panggilan video dengan Arumi. Namun, dua ketukan di pintu membuatnya mengurungkan niat memejamkan mata. Dia mengembuskan napas singkat, menyibak selimut, lalu turun dari ranjang dengan langkah lebar.
Tanpa berpikir pun, Zalima tahu siapa yang mengetuk. Hanya saja, yang membuatnya bertanya-tanya adalah—ada urusan apa Prajaka menemuinya tengah malam begini? Setahunya, pertemuan dengan teman-temannya tadi berjalan lancar, dan dia sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.
Setelah memutar kunci sekali, Zalima menekan hendel dan menarik pintu. Tepat saat itu, Prajaka menoleh. Tubuhnya yang tinggi menjulang membuat Zalima harus mendongak sedikit untuk menatapnya.
“Ada apa?” tanyanya, berusaha fokus pada mata Prajaka tanpa melirik ke bagian tubuh lain. Sulit rasanya, mengingat pria itu hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana training senada—proporsinya pas sekali, sesuai dengan seleranya.
Sebelum menjawab, Prajaka mengeluarkan sesuatu dari saku celana, lalu menyodorkannya. “Ambillah. Kartu yang sebelumnya kuberikan untuk uang bulananmu. Kalau yang ini khusus untuk menunjang peranmu sebagai istri kontrak.”
“Seperti apa contohnya?” Zalima menerimanya, kebingungan jelas tergambar di wajahnya.
“Ikut berbagai pelatihan. Mami barusan meminta nomormu dariku. Kalau beliau menghubungi, tanyakan apa saja yang perlu kau pelajari dan minta rekomendasi tutor terbaik darinya.”
“Apa harus?”
“Ya. Karena sebagai istriku, kau akan sering tampil di lingkungan sosial elite. Menjaga citra keluarga besar dan memahami etika kehidupan kelas atas adalah hal yang harus kau pelajari melalui pelatihan.”
Ah, paham. Karena latar belakang mereka yang berbeda jauh, Prajaka ingin Zalima beradaptasi agar tidak dipandang rendah oleh orang-orang. Tujuannya bukan untuk merendahkan, tapi agar Zalima bisa diterima di dunianya.
“Baiklah. Aku akan lakukan seperti yang kamu inginkan.”
Prajaka mengangguk singkat—puas. Dari dulu Zalima memang tidak sulit diarahkan, apalagi untuk hal-hal positif. Disuruh belajar, dia tidak menolak, karena tahu itu juga untuk kebaikannya sendiri.
“Tidak ada lagi yang ingin kukatakan. Beristirahatlah, kau sudah bekerja keras hari ini,” ujar Prajaka kemudian.
“Ya, kamu juga. Selamat malam, Praja.” Zalima menampilkan senyum kecil sebelum mundur selangkah dan menutup pintu perlahan.
***
Pemandangan di ruang makan Minggu pagi membuat Zalima urung bergabung untuk sarapan. Tanpa pikir panjang, dia langsung berbalik sebelum Prajaka dan Stevani sempat menyadari keberadaannya.
Bi Ina yang kebetulan berpapasan dengannya di lorong, menatap heran. “Ada apa, Bu?” tanyanya bingung.
“Nggak ada apa-apa, Bi. Aku cuma baru ingat kalau punya janji sarapan bareng sahabatku.”
“Oh, kirain tadi terjadi sesuatu.”
Zalima menggeleng pelan. “Nggak, kok. Titip pesan ke Bapak, ya. Aku keluar sampai siang. Kalau dia butuh aku, telepon aja.”
“Baik, nanti akan saya sampaikan.”
Zalima kemudian melangkah menuju kamar di lantai dua. Dia mengambil kunci mobil dan ponsel, lalu turun lagi dengan langkah cepat.
Sekitar dua puluh menit kemudian, dia sudah sampai di apartemen Arumi. Sahabatnya itu bahkan belum mandi, masih dengan rambut berantakan dan mata setengah terbuka saat Zalima menekan bel pintu.
“Katanya ketemuan nanti siang. Ini mah pagi, lo ganggu gue yang mau malas-malasan aja,” gerutu Arumi sambil menyeret langkah menuju ruang tamu.
“Nggak jadi. Di rumah ada Stevani, gue males banget liat mereka. Makanya kabur ke sini.”
“Selagi mereka nggak nge-seks di depan lo, cuekin aja. Lo nyonya di rumah itu, jangan mau kalah sama mantan istrinya.”
“Masalahnya ...” Zalima menjatuhkan diri ke sofa, menatap Arumi sambil manyun. “Dia nyonya yang asli. Status gue cuma sementara.”
“Mau gue kasih tips supaya lo bisa jadi nyonya yang asli?”
“Apaan, sih? Nggak jelas lo, Rum! Sama Kak Praja ‘kan gue kerja. Di luar itu, kami nggak ada hubungan apa-apa.” Meski berusaha terdengar acuh, ada sedikit rasa penasaran yang terselip di suaranya. Dia diam sejenak, lalu menatap Arumi. “Apa tipsnya?”
Senyum nakal muncul di wajah Arumi. Dia menyipitkan mata, lalu memutar telunjuk di depan wajah Zalima. “Penasaran juga, ‘kan, lo?”
“Buruan jawab, ih!”
Arumi melangkah mendekat, lalu mencondongkan tubuh dengan ekspresi serius. “Buka kancing celananya, turunkan resletingnya, tarik boxernya, dan kulum kejantanannya.”
“Arumi sialan!!!”
Tawa Arumi langsung pecah. Dia berlari menghindar dari lemparan bantal yang diarahkan Zalima, kemudian kabur ke kamar dan mengunci pintu. Di dalam sana, dia masih terdengar tertawa geli, sementara Zalima terus mengomel kesal.
Dia benar-benar tidak menyangka kalimat sefrontal itu keluar dari mulut Arumi—yang, setahunya, masih perawan seratus persen. Atau ... jangan-jangan sudah tidak lagi? Makanya jadi se-blak-blakan begitu. Jangan-jangan Mas Adjie sudah—
Bunyi notifikasi chat memotong lamunan Zalima. Dia segera meraih ponsel, membuka kunci layar, dan melihat satu pesan baru dari nomor tak dikenal. Dia mengekliknya.
+628xxxxxxxxxx: [Ning, ini Mami Praja. Nanti malam kalau tidak ada jadwal lain, mampirlah ke rumah utama. Kita makan malam bersama.]
Ning?!
Alis Zalima langsung berkerut. Mengapa Nyonya Ayu memanggilnya dengan nama kecil itu? Selain orang-orang terdekat, seharusnya tak ada yang boleh menggunakan nama tersebut.
Nama itu ... terlalu istimewa. Terlalu sarat kenangan yang seharusnya dia lupakan. Bagi orang lain mungkin hal sepele, tapi bagi Zalima, panggilan itu membawa beban yang sulit dijelaskan.
Dengan perasaan tak nyaman, dia mengetik balasan singkat.
Zalima: [Nggak ada, Mi. Baik, kami akan ke rumah utama nanti malam. Dan tolong, panggil saya Zalima saja.]
Pesan terkirim. Dia lalu melempar ponselnya ke ujung sofa, berharap Nyonya Ayu tidak membalas lagi. Karena kali ini—Zalima benar-benar malas menjelaskan alasan di balik keengganannya dipanggil Ning.
***