07. Kehidupan Istri Kontrak Dimulai

1983 Kata
Pagi pertama sebagai istri kontrak Prajaka, Zalima habiskan di rumah utama keluarga Dirgantara. Dia ikut sarapan bersama para kerabat yang belum pulang, menjadi pusat perhatian sekaligus sasaran empuk orang-orang yang kepo pada kehidupan pribadinya. “Bisnis keluargamu di bidang apa? Soalnya ini pertama kalinya kami menerima anggota baru yang latar belakangnya belum jelas,” tanya Serly, sepupu Prajaka dari pihak papinya. Sambil memotong roti bakar jadi bagian kecil, dia melirik Zalima sekilas—tanpa sedikit pun raut bersahabat. “Aku percaya om dan tanteku selektif dalam memilih menantu. Karena kamu diterima, berarti kamu lolos penilaian mereka.” “Sama Prajaka juga udah kenal berapa lama? Hebat deh bisa bikin dia jatuh cinta semudah itu, padahal beberapa bulan lalu dia baru diselingkuhi mantan istrinya,” timpal Amel, sepupu Prajaka yang lain. Para orang tua tak ikut sarapan bersama mereka. Di taman belakang ini, meja panjang khusus disiapkan untuk para sepupu Prajaka yang sebaya—katanya supaya obrolan lebih nyambung dan tidak tumpang-tindih dengan topik para orang tua. Zalima menahan diri untuk tidak mendesah. Sebutir anggur hijau sudah dia pegang, tapi urung dimakan. “Keluarga saya lebih banyak berkecimpung di dunia pendidikan, bukan bisnis, Mbak. Kami nggak punya darah pengusaha seperti keluarga Dirgantara,” jawabnya tenang. Dia memilih sarapan buah saja—karena, jujur saja dia sedang tak berselera. “Soal kenapa saya diterima jadi menantu keluarga ini, sebaiknya tanyakan langsung pada yang bersangkutan. Mungkin, bagi mereka, ada sesuatu dari diri saya yang dianggap pantas bersanding dengan Kak Praja.” Jawaban terakhir Zalima membuat Serly tertawa sarkas. Yang lain hanya saling pandang, dan suasana yang semula ramai langsung meredup. “Hal menarik, ya?” Serly mengangkat dagu sedikit lalu meletakkan pisau dan garpu di sisi piring. “Kalau boleh jujur, kau kalah jauh dibanding Stevani. Andai wanita itu tak berselingkuh, mungkin dialah menantu sempurna keluarga Dirgantara.” “Ah, sangat disayangkan sekali, ya. Tapi sekarang kalian nggak perlu khawatir, saya nggak punya riwayat berkhianat. Mungkin gelar menantu sempurna keluarga Dirgantara bisa disematkan pada saya selanjutnya.” “Percaya diri banget,” decak Windi, adik bungsu Serly. “Keluarga kita dan Mbak Zalima itu di level yang berbeda. Kamu bakal kesulitan mengimbangi, bahkan mungkin beradaptasi pun susah.” “Ini cuma masalah waktu. Lagi pula saya cepat belajar.” Zalima menyunggingkan senyum miring. “Cepat atau lambat, kalian pasti akan mengakui dan menerima saya sebagai istri Kak Praja.” Baru saja Amel hendak membuka mulut untuk menyahut, Prajaka datang dan duduk di sebelah Zalima. Dia sengaja terlambat, agar terlihat meyakinkan sebagai pengantin baru yang bangun kesiangan setelah melewati malam pertama. Padahal sebenarnya, dia tadi menerima telepon dari Stevani—mantan istrinya—yang gelisah memikirkan pernikahan mereka kemarin. “Kenapa tidak membangunkanku lebih awal, hm?” tanya Prajaka lembut, dengan tatapan yang dibuat seolah mabuk cinta pada Zalima. “Kamu kelihatan pulas banget, jadinya aku nggak tega.” Zalima menimpali dengan nada manja, bahkan mengangkat tangan untuk mengusap pipinya. “Sekarang mau sarapan apa? Biar aku ambilin. Kamu sih datangnya telat, padahal obrolan kami tadi lagi seru. Iya ‘kan, Mbak Serly?” Alih-alih menanggapi, Serly menandaskan jus jeruknya dan berdiri. “Aku sudah selesai.” Dia beranjak meninggalkan taman, diikuti Amel dan Windi beberapa detik kemudian. Kini hanya tersisa Prajaka, Zalima, dan dua sepupu lain dari pihak maminya Prajaka, yang sejak tadi lebih banyak diam dan fokus sarapan. “Ada apa? Kenapa mereka pergi padahal aku baru datang?” tanya Prajaka heran. Zalima mengangkat bahu, lalu mengambil dua lembar roti bakar, mengolesinya dengan selai cokelat, dan meletakkannya di piring Prajaka. “Sarapan roti aja, ya. Kamu kelamaan jawabnya.” “Apa pun pilihanmu, aku makan. Makasih, Za,” balasnya, lalu mengecup kening Zalima singkat. Bagi yang melihat, itu pemandangan wajar. Hari pertama menjadi suami-istri—ibarat madu—masih kental dan manis. Tapi bagi Zalima, tindakan Prajaka di luar dugaannya. Dia memang menduga akan ada pelukan, ciuman—entah di pipi atau bibir—tapi tak menyangka akan secepat ini, tanpa aba-aba. Maka, sambil berusaha menguasai diri dari rasa terkejut, Zalima menoleh dan memaksa kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Sama-sama,” ujarnya pelan. Ketenangan akhirnya bisa Zalima rasakan setelah Serly dan antek-anteknya pergi. Dia kini bebas memakan anggur tanpa intervensi berbagai macam pertanyaan dari orang-orang kepo itu. Sementara Prajaka mulai menikmati roti sambil mengobrol ringan dengan dua sepupunya yang tersisa. Namun obrolan itu tidak berlangsung lama; lima menit kemudian keduanya beranjak karena sudah selesai sarapan. “Duluan, Kak,” pamit mereka sopan pada Prajaka dan Zalima. Zalima membalas dengan anggukan singkat—sedikit tak menyangka kalau ternyata dirinya tidak ikut dimusuhi oleh keduanya. Begitu mereka tak lagi terlihat, Zalima buru-buru menatap Prajaka dengan ekspresi serius. “Jadi, kapan kita pergi dari rumah ini? Aku udah nggak sanggup diinterogasi hampir dua puluh empat jam.” Tawa Prajaka langsung pecah. Dia sampai harus meneguk air putih untuk meredamnya. Setelah menyeka bibirnya dengan tisu, dia menatap balik Zalima. “Nanti malam, atau paling lambat besok. Tapi tenang saja, aku sudah minta orang-orang memindahkan barang-barangmu dari apartemen ke rumah kita.” Rumah kita, ya? Kedengarannya manis sekali—sayangnya, realitanya tidak semanis itu. “Kalau bisa secepatnya aja. Jujur, aku nggak betah kumpul sama keluarga besarmu. Mereka berpotensi bikin aku ceroboh ngomong.” “Tenang, Za. Setelah mereka pulang, semuanya akan aman. Kau bisa kembali fokus memikirkan aktingmu selama tiga bulan ke depan.” Zalima lalu menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas dan mengangguk pelan. “Percayakan saja soal itu padaku. Aku pasti melakukannya dengan baik.” “Ya, aku percaya,” sahut Prajaka. Tatapan mereka bertaut cukup lama, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk kembali menuntaskan sarapannya. *** Di hari kedua, akhirnya Zalima bisa bernapas lega. Mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi Prajaka mulai meninggalkan halaman besar kediaman utama keluarga Dirgantara, membawa mereka menuju rumah yang akan ditinggali selama tiga bulan ke depan. Kabarnya, rumah ini baru saja dibeli—khusus untuk ditempati bersama Zalima. Ah, menyenangkannya jadi orang kaya. Ingin sesuatu tak perlu banyak berpikir, cukup keluarkan uang, suruh orang lain mencarikan, lalu beres. Sementara dirinya? Butuh jadi janda enam—menuju tujuh kali—baru bisa mengantongi uang hampir satu miliar. Hidup memang tidak adil. “Em, jadi ...” Sebelum melanjutkan, Zalima sempat melirik sopir di depan. Begitu yakin pria tua itu fokus ke jalan, barulah dia berani bertanya, “Kudengar rumah Stevani ada di sebelah kita. Apa kamu sengaja memilih yang berdampingan supaya kalian mudah bertemu?” Prajaka, yang sejak tadi bersandar sambil memejam dengan tangan terlipat di d**a, langsung membuka mata dan menoleh. Beberapa detik dia hanya menatap Zalima, lalu mengangguk pelan. “Keamanan di sana cukup ketat. Para tetangga tidak suka mencampuri urusan orang lain. Tempat itu ideal untuk memperbaiki hubungan kami tanpa menarik perhatian.” “Tapi setelah pernikahan ini berakhir, kamu tetap akan go public dengan Stevani, kan? Jadi apa bedanya orang-orang tahu sekarang atau tiga bulan lagi? Tujuanmu melakukan pernikahan kontrak ini ... jujur, aku masih belum paham.” “Kamu tidak perlu tahu lebih jauh,” potong Prajaka datar. “Ini urusan antara aku dan Stevani. Jangan ikut campur terlalu dalam.” Seperti ada yang mencubit lengan Zalima mendengar nada dingin itu. Ah, dia kebablasan bicara. Tanpa sadar, pertanyaan yang seharusnya dia simpan malah meluncur begitu saja. “Maaf,” ujarnya akhirnya, meringis kecil. “Aku sudah terlalu lancang.” “Kumaafkan kali ini. Tapi jangan ulangi lagi.” Selesai berkata begitu, Prajaka kembali memejam dan membiarkan Zalima terdiam sendiri. Sisa perjalanan mereka hanya diisi keheningan. Lima belas menit kemudian, mobil berbelok masuk ke sebuah kompleks perumahan bergaya elegan, lalu berhenti di depan bangunan dua lantai dengan satu mobil HR-V merah terparkir di carport-nya. Zalima sempat mengira rumah itu milik Stevani, makanya dia memilih diam ketika mesin mobil dimatikan dan Prajaka turun lebih dulu, setelah dibukakan pintu oleh sopirnya. Namun rasa bingung muncul saat pintu di sampingnya juga dibukakan. Alih-alih turun, Zalima melayangkan tatapan penuh tanya pada Pak Haris, sopir pribadi Prajaka. “Ini rumah yang akan ditempati Bapak dan Ibu Zalima,” jelas Pak Haris sopan. “Silakan masuk duluan, Bu. Barang-barangnya biar saya yang bawakan.” “Ah, begitu. Saya kira ini rumah Stev—” “Apa yang kau lakukan, Zalima? Ayo turun, aku akan memandumu melihat-lihat isi rumah ini,” potong Prajaka dari depan, menyela kalimatnya. Mau tak mau Zalima segera turun. Setelah berterima kasih pada Pak Haris, dia buru-buru menyusul Prajaka. Dia menyeimbangkan langkah mereka saat pria itu menaiki anak tangga, melewati teras, lalu membuka smart lock pintu rumah. Lantai satu terdiri dari kamar utama, dua kamar tamu, satu kamar untuk ART, ruang tengah, ruang tamu, perpustakaan, ruang makan, dan dapur. Di lantai dua, ada dua kamar tambahan, satu ruang kerja, tempat gym, serta mini bioskop. Setelah tur singkat itu, Prajaka membawa Zalima ke salah satu kamar di lantai dua—katanya, kamar itu disiapkan untuk Zalima selama mereka tinggal di sana. “Orang-orangku sudah menyiapkan semuanya, termasuk menyusun barang-barangmu yang diambil dari apartemen,” ujar Prajaka sambil membuka pintu. “Kalau kau tidak suka dekorasinya, nanti bisa diubah sesuai keinginanmu. Besok dua ART baru mulai bekerja untuk bersih-bersih dan memasak. Kau bebas memerintah mereka sesuai kebutuhanmu.” Zalima mengamati sekeliling kamar dan mengangguk-angguk kecil. “Oke, semuanya sudah cukup bagus,” gumamnya pelan. “Kalau tidak ada pertanyaan, silakan beristirahat atau lakukan apa pun yang kau mau. Pukul tujuh malam nanti, bersiaplah. Kita akan makan malam di rumah Stevani.” Belum sempat Zalima menjawab, Prajaka sudah lebih dulu mengangguk dan melangkah pergi. Suara pintu yang tertutup dari luar menjadi penanda kepergiannya. Mulut Zalima yang tadi sempat terbuka langsung tertutup kembali. Dia berdehem pelan, merasa canggung karena ditinggal begitu saja. “Mode aktingnya sudah berakhir. Berhenti bersikap seolah kalian dekat, Za,” gumamnya pada diri sendiri. *** Pintu rumah terbuka tak lama setelah bel ditekan sekali. Dari dalam, muncul Stevani Ayudya Poernomo dengan gaun tidur satin yang membalut sempurna di tubuhnya. Wajahnya bersih tanpa makeup, hanya bibirnya yang mengilap oleh lip serum, sementara rambut pendeknya dibiarkan terurai begitu saja. “Akhirnya kamu datang,” sambutnya dengan senyum yang begitu hangat. Dia kemudian memeluk Prajaka singkat, mencium pipinya, dan saat hendak beralih ke bibir, Prajaka lebih dulu memalingkan wajah—membiarkan Stevani kehilangan sasarannya. “Aku datang bersama Zalima,” ujar Prajaka datar sambil menoleh ke belakang. Saat itu juga Zalima sadar, dia baru saja menyaksikan adegan tersebut dengan ekspresi yang sulit dikendalikan—alis berkerut dalam, bibir tertekuk ke bawah. Buru-buru dia memperbaiki mimiknya, memaksakan senyum selebar mungkin hingga matanya menyipit. “Um, hai,” sapanya kaku sambil melambai pelan. “Kupikir kau datang sendiri. Ternyata aku salah.” Ekspresi Stevani langsung berubah. Dia sedikit menjauh dari Prajaka, tapi tetap berdiri di hadapannya. “Kenapa dia ikut? Makan malam ini kusiapkan khusus untuk kita berdua saja.” “Hanya malam ini dia ikut. Setelah ini, dia tidak akan berada di antara kita lagi. Dia tidak akan mencampuri urusan apa pun.” “Benarkah?” Meski bertanya, tatapan Stevani jelas penuh keraguan. “Sebagai tameng, apa dia bisa dipercaya?” “Berhenti meragukan pilihanku, Stev. Ingat tujuan dari pernikahan kontrak ini,” ujar Prajaka, suaranya sedikit menurun tapi tegas. Zalima akhirnya ikut menimpali. Dia mulai kesal karena terus diragukan oleh mantan istri Prajaka, padahal wanita itu belum pernah melihatnya bekerja. Terlebih, ini baru hari kedua. “Saya nggak akan meyakinkan dengan kata-kata lagi. Tindakan saya yang akan berbicara. Awasi saja selama tiga bulan ke depan. Kalau hasilnya nggak sesuai harapan, silakan lakukan apa pun yang kamu mau pada saya.” Kalimat itu sukses membungkam Stevani. Dia tak lagi mengeluh atau melontarkan protes. Hanya mendengkus singkat, lalu menarik tangan Prajaka, menggenggamnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Zalima otomatis mengikuti di belakang, meski dalam hati dia sangat enggan melangkah lebih jauh. Karena setiap kali berada di antara keduanya, Zalima selalu bergidik merinding. Ada saja pemandangan yang membuatnya ingin mengernyitkan kening—dan diam-diam mencibir dalam hati atas tingkah mereka itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN