Pagi menjelang siang, akad nikah berlangsung lancar—terlalu lancar, hingga terdengar seperti naskah yang telah dihafal dengan sempurna.
Prajaka mengucap kabul dalam satu tarikan napas. Nama “Zalima Cahyaning, binti almarhum Rakha Nugraha” keluar dari bibirnya tanpa ragu, seolah nama itu bukan nama yang asing baginya.
Zalima menghela napas diam-diam. Dia tahu ini hanya kontrak. Tapi tetap saja, mendengar namanya disebut pria itu dalam sebuah janji suci membuat hatinya terasa ... ganjil.
Suasana di sekeliling mereka begitu tenang dan terkendali. Dari pihak Prajaka, yang hadir adalah keluarga besar dan beberapa teman dekatnya. Sementara dari pihak Zalima, hanya Arumi yang datang. Mau bagaimana lagi? Tidak banyak yang dekat dengannya. Om dan tantenya sudah lama menjauh—mereka merasa malu karena punya keponakan yang berkali-kali menikah dan bercerai.
“Kamu nggak hamil duluan, kan? Soalnya pernikahan ini terlalu tiba-tiba.”
Pertanyaan itu datang dari salah satu tante Prajaka—dari pihak ayahnya—tak lama setelah prosesi ijab selesai dan mereka menerima ucapan selamat. Zalima hampir saja kelepasan mendengkus, tapi syukurlah dia masih sempat menahan diri.
“Enggak, Tante. Saya nggak hamil duluan.”
“Kami menikah karena saling menyukai,” timpal Prajaka dengan senyum tipis. Tak hanya itu, dia juga merangkul pinggang Zalima—membuat Zalima dengan luwes ikut beradaptasi, memberi usapan ringan di punggung tangan Prajaka yang bertengger manis di pinggangnya. “Dan kami bukan anak muda lagi, Tante. Jadi lebih baik segera diresmikan daripada terlalu lama berpacaran.”
“Tapi apa nggak terlalu cepat? Memangnya kamu udah tahu bibit-bebet-bobot istri kamu?”
“Iya, sudah. Malah setelah tahu semua itu, aku jadi makin kagum dan tambah suka padanya.”
Zalima sampai menoleh, menatap wajah suami—sementaranya—cukup lama. Dalam diam, dia memuji akting Prajaka. Pria ini, dari dulu memang selalu pandai dalam berkata-kata. Wajar saja kalau jawabannya terdengar serius, juga tulus. Dan ... tak dipungkiri, Zalima sedikit berdebar karenanya.
“Ya ampun, Praja. Jangan sampai rasa suka bikin kamu nggak belajar dari pengalaman. Buktinya Stevani, yang kamu kencani selama dua tahun—bahkan keluarganya juga kenal baik dengan keluarga kita—masih bisa selingkuh. Apalagi wanita yang ...” Tatapan Tante Maria berpindah, memindai Zalima dari atas kepala sampai ujung kaki. “... baru kamu kenal beberapa bulan. Mana dari pihak keluarganya yang datang cuma satu orang.”
“Kehadiran istriku sudah cukup. Karena yang kupilih bukan silsilah atau status, tapi dirinya.”
Kata-kata itu meluncur mulus dari bibir Prajaka, dan anehnya, terdengar terlalu tulus untuk sebuah kebohongan.
Tante Maria berdecak pelan mendengarnya. “Hati-hati dengan ucapanmu. Tante nggak mau dengar lagi pernikahanmu gagal untuk kedua kalinya, dengan alasan apa pun itu. Nanti jadi berita heboh lagi dan berimbas pada perusahaan serta keluarga.”
Prajaka tak menanggapi. Tentu saja, karena kegagalan itu jelas akan datang juga. Mengiyakan kata-kata Tante Maria pun bukan pilihan tepat, sebab kebohongannya akan terlalu terang. Maka yang dia lakukan hanyalah kembali menarik kedua sudut bibirnya dalam senyum sopan, menatap Tante Maria dengan hormat tanpa sedikit pun rasa kesal.
Sementara itu, Zalima mulai memutar otak mencari celah untuk segera lepas dari situasi tak mengenakkan ini. Apalagi kalau dia perhatikan, selain Tante Maria, masih ada beberapa tante dan sepupu Prajaka yang mencuri-curi pandang—seolah menunggu giliran untuk mengulik topik serupa.
“Sayang, aku lapar,” bisik Zalima manja, seperti gumaman istri baru yang mulai jenuh dengan basa-basi keluarga.
Suaranya halus, tapi cukup jelas untuk mengalihkan percakapan—dan niatnya berhasil. “Temani aku makan, ya? Sebelum akad tadi aku cuma minum segelas matcha. Soalnya takut perutku buncit kalau sarapan, nanti kelihatan jelas dari kebaya yang kupakai.”
“Kenapa baru bilang sekarang, Sayang?” Prajaka menangkap maksud Zalima dengan cepat. “Baiklah, ayo kita makan. Acara ini bisa berakhir kacau kalau pengantinku tumbang.”
Rangkulan di pinggang Zalima pun terlepas, berganti dengan genggaman tangan yang erat dan hangat. Sebelum beranjak dari hadapan Tante Maria, mereka kompak mengangguk singkat—lalu melangkah pergi.
Kepergian mereka diiringi tatapan tajam dari Tante Maria. Tapi untungnya tidak berlangsung lama, karena Bramantya dan istrinya menyapa dan otomatis mengalihkan fokus tante menyebalkan itu.
Setibanya di meja prasmanan yang menyediakan berbagai macam menu makanan, Zalima lebih dulu melepaskan genggaman tangan Prajaka. Sambil memandangi makanan dan memikirkan mana yang akan dia ambil, dia bertanya pelan, “Selain Tante Maria, siapa lagi yang akan menginterogasi kita?”
“Mungkin dua atau tiga orang lagi. Tapi tenang saja, itu dari pihak papi. Sementara dari pihak mami, mereka cukup ramah.”
“Baiklah. Kalau begitu aku isi tenaga dulu, supaya kuat menghadapi mereka,” gumam Zalima sambil mengambil piring.
Kekehan pelan keluar dari mulut Prajaka. Zalima sontak menoleh, satu alisnya terangkat curiga melihat pria itu tertawa.
“Ada yang lucu?” tanyanya datar.
“Ada. Jawabanmu barusan terdengar lucu.”
“Receh sekali selera humormu.”
“Bukankah dari dulu memang begitu?”
Zalima mengembuskan napas. “Sudah kubilang, kan? Jangan bawa-bawa masa lalu ke masa sekarang. Itu nggak ada hubungannya dengan pernikahan kontrak kita.”
“Oke, oke. Aku minta maaf.” Prajaka mengangkat kedua tangan, ekspresinya geli tapi menurut. “Nikmati makanmu, Zalima. Aku mau pergi sebentar. Kalau ada yang mencariku, katakan saja aku lagi di toilet.”
“Ya. Tapi jangan lama. Jangan biarkan aku sendirian di kandang singa ini.”
“Tentu. Aku akan kembali sebelum kau dilahap para singa itu.”
Setelah Prajaka meninggalkannya, Zalima mengambil piring dan meminta koki mengisinya dengan berbagai potongan buah lebih dulu sebelum berpindah ke makanan utama. Beberapa menit kemudian, kemunculan Arumi di sampingnya membuatnya spontan menghela napas lega.
“Gue kira lo tante atau sepupunya Prajaka,” dengkusnya sambil melirik ke samping.
“Takut lo sama mereka?” tanya Arumi geli.
“Nggak, sih. Cuma kalau bisa, gue milih menghindar aja. Takut kepleset lidah pas jawab pertanyaan tajam mereka.”
“Emang, sih, mereka kelihatan nafsu banget pengin ngulik hubungan lo sama Kak Praja. Mereka ngerasa ada yang nggak beres di balik pernikahan intimate ini.”
“Intuisi orang kaya itu tajam-tajam semua, ya.”
“Jelaslah,” balas Arumi sambil ikut mengambil piring. “Mereka nggak mau sembarangan orang masuk. Mereka juga akan menilai, orang ini bakal bawa untung atau malah jadi kerugian. Jadi, penting banget buat mereka cari tahu dulu.”
“Tapi keluarga inti Praja cukup welcome sama gue, ya. Meskipun gue nggak tahu motif mereka gampang nerima gue itu apa.”
“Apa jangan-jangan mereka mau lo—”
“Hai, lagi ngobrolin apa? Seru banget, kayaknya.”
Kedatangan Sekar membuat ucapan Arumi terhenti. Dia menatap Zalima, menggigit bibir bawahnya sambil meringis pelan, semacam permintaan maaf karena nyaris keceplosan di hadapan kakak kedua Prajaka itu.
“Biasa, Mbak. Obrolan seputar pengantin baru.” Zalima langsung menanggapi, tertawa kecil. “Sahabat saya ini ‘kan belum nikah, jadi penasaran banget.”
“Eh, Mbak Sekar ke sini nyariin Praja, ya? Dia tadi ke toilet sebentar,” lanjutnya.
“Nggak, kok. Aku mau makan sekalian gabung sama kalian. Mumpung anakku lagi sama daddy-nya, jadi aku cukup bebas sekarang.” Tatapan Sekar berpindah-pindah dari Zalima ke Arumi, sambil mulai mengambil piring. “Nggak apa-apa ‘kan kalau aku gabung?”
“Nggak apa-apa banget, Mbak,” jawab Zalima.
“Iya, gabung aja, Mbak. Siapa tahu obrolan kita nyambung,” timpal Arumi.
Mereka lalu menuju salah satu meja kosong dan menempati kursi yang tersedia. Zalima dan Arumi duduk berdampingan, sementara Sekar duduk tepat di hadapan Zalima. Meskipun masing-masing sibuk dengan makanan mereka, obrolan tetap mengalir lancar.
“Kalian udah lama temenan?” tanya Sekar sambil menyuap sepotong steak.
“Iya, mungkin hampir sepuluh tahun,” jawab Arumi lebih dulu.
“Awet juga. Apa setiap pernikahanmu, cuma Arumi yang datang sebagai perwakilan keluarga?” tanya Sekar, kini menatap Zalima.
Zalima menelan buah melon yang baru saja dikunyahnya, lalu mengangguk. “Ya, kecuali pernikahan pertama dan kedua. Waktu itu om dan tante saya datang, karena beliau yang jadi wali nikah saya. Tapi untuk pernikahan-pernikahan selanjutnya, semuanya pakai wali hakim.”
“Ada alasan khusus mereka nggak datang lagi? Sibuk, atau ... karena hal lain?”
“Anggap aja sibuk,” sahut Zalima singkat.
Menyadari topik itu cukup sensitif, Arumi cepat-cepat mengganti arah pembicaraan. “Keluarga Dirgantara besar juga ya, Mbak. Halaman rumah aja seramai ini padahal nggak ada undangan dari orang luar.”
“Begitulah,” jawab Sekar sambil tersenyum. “Dari pihak papi dan mami memang banyak saudara. Jadi nggak heran anak dan cucunya juga banyak.”
“Kelihatannya juga kompak dan akur.”
“Ya ... kelihatannya memang seperti itu.”
Tawa kecil Sekar menyelip di akhir kalimatnya. Zalima dan Arumi sempat saling pandang penasaran, tapi tak ada yang melanjutkan pertanyaan. Mereka kembali fokus ke makanan masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Prajaka kembali. Dia menunggu Zalima selesai makan, lalu mengajaknya bergabung bersama mami dan papinya, yang tampak asyik mengobrol dengan para om dan tantenya. Prajaka melakukan itu demi mendekatkan Zalima dengan keluarga besarnya, agar pernikahan mereka tampak realistis. Meskipun kalau dipikir-pikir lebih jauh, banyak hal dalam semua ini terasa janggal.
***
Pukul sepuluh malam, Zalima dan Prajaka akhirnya bisa masuk ke kamar. Setelah membersihkan riasan, mereka bergantian menggunakan kamar mandi—yang ukurannya, mungkin seluas kamar di apartemen milik Zalima.
Tanpa sempat mengagumi interior kamar tidur suami kontraknya itu, Zalima memutuskan langsung merebahkan diri begitu selesai dengan rangkaian skincare malam. Dia sampai mendesah lirih saat punggungnya bersentuhan dengan lembutnya sprei ranjang king size milik Prajaka.
“Maaf kalau lancang, tapi boleh ‘kan aku ikut tidur di tempat tidur malam ini?” tanyanya begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Matanya masih terpejam karena tak punya tenaga lebih untuk sekadar membukanya. “Khusus malam ini saja kita berbagi. Nanti setelah pindah, barulah kamar kita terpisah.”
“Tak masalah. Gunakan sebanyak yang kau mau. Aku akan tidur di sofa.”
Kalimat itu langsung membuat kelopak mata Zalima terbuka. Jelas, dia tak nyaman mendengar jawaban itu.
“Apa cukup menampung tubuhmu? Kamu pemilik kamar ini, nggak seharusnya tidur di sofa.”
Prajaka menyisir rambut yang sudah mengering dengan jari-jarinya, lalu berjalan memutar ke sisi ranjang yang kosong, mengambil satu bantal, dan berpindah ke sofa panjang di sudut ruangan.
“Mungkin tidak sepenuhnya menampung tubuhku, tapi tak apa. Aku tetap bisa tidur.” Setelah menaruh bantal, Prajaka pun berbaring. Kedua tangannya terlipat di depan d**a, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar. “Tidurlah, Zalima. Kau sudah bekerja keras hari ini.”
Mulut Zalima sempat terbuka, hendak menjawab, tapi dia urungkan. Dia hanya menarik bedcover dan menutupi setengah tubuhnya.
“Hm. Aku akan tidur. Selamat malam, Praja.”
“Ya.”
Sekitar tiga jam kemudian, Zalima terbangun karena ingin buang air kecil. Setelahnya, saat kembali ke kamar, langkahnya terhenti sesaat melihat Prajaka yang tertidur tanpa selimut.
Tanpa pikir panjang, dia mengambil selimut cadangan, lalu perlahan menutupi tubuh Prajaka hingga sebatas d**a.
Gerakannya pelan, nyaris seperti menaruh benda yang berharga. Dia bahkan sempat membenarkan lipatan di sisi bahu, tanpa alasan yang jelas—kecuali satu: ingin memastikan pria itu tidur dengan nyaman.
Aneh. Ini bukan cinta. Tapi rasanya juga bukan cuma formalitas. Namun, Zalima tak langsung kembali ke ranjang. Dia justru berdiri cukup lama, memandangi wajah pria itu dalam diam. Impulsif. Entah kenapa.
Barulah sekitar tujuh menit kemudian dia kembali berbaring. Dan sebelum kantuknya kembali datang, satu hal muncul di benaknya:
Tiga bulan ke depan ...
Akan berakhir seperti rencana, atau justru membawa kejutan yang sama sekali tak terduga?
***