05. Bertemu Mantan Istri Prajaka

1813 Kata
Sambil menenteng tumbler di tangan kiri karena baru pulang dari tempat gym, Zalima mendorong pintu Indomaret dengan siku—karena tangan kanannya tengah sibuk menggenggam ponsel. Tapi baru melangkah dua tapak ke dalam, gerakannya mendadak terhenti. Sebuah notifikasi pop-up muncul di layar. Transfer lima puluh juta rupiah. Dari Prajaka. Apa maksudnya ini? Membayar sisa kontrak, kah? Tapi dalam perjanjian, sisa pembayaran baru akan dilunasi setelah kontrak mereka berakhir. Prajaka juga menyetujui hal itu sejak awal. Jempol Zalima bergerak hendak membuka aplikasi w******p, namun belum sempat disentuh, pesan dari pria itu lebih dulu masuk. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengeklik dan membacanya. Kak Praja: [Beli kebutuhanmu untuk pernikahan kita pakai uang itu. Kalau kurang, tinggal bilang ke aku.] Spontan Zalima mendengkus kecil. Dia mengunci layar ponsel, mendongakkan kepala, lalu melanjutkan langkahnya masuk—tanpa niat membalas. Betapa royal dan murah hatinya seorang Prajaka. Dari dulu hingga sekarang, sifat itu tak berubah sedikit pun. Membuat Zalima tak sengaja kembali mengingat masa lalu, meskipun dia sangat tidak suka mencampuradukkan kenangan dengan masa kini, apalagi masa depan. Dulu, saat mereka masih pacaran, Prajaka suka memberi hadiah—dan tentu saja bukan barang murah. Tak hanya benda, uang pun pernah dia beri. Katanya, untuk jajan. Tapi karena Zalima tak nyaman menerima begitu saja, dia sering menolak. Namun, ada masa di mana penolakan bukan lagi pilihan. Setelah kehilangan seluruh keluarganya dalam kecelakaan besar, hidup Zalima berubah drastis. Dari yang semula berkecukupan, menjadi serba pas-pasan. Biaya kuliah yang tak sedikit memaksanya menerima uluran tangan Prajaka, walau dengan hati yang berat. Zalima tahu, dia tak akan pernah bisa melupakan kebaikan pria itu. Prajaka adalah penopangnya di masa-masa paling sulit, bahkan sempat jadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan—di tengah duka dan krisis ekonomi yang nyaris membunuhnya secara perlahan. Tapi setiap orang punya masanya. Sekuat apa pun menggenggam sesuatu, pada akhirnya akan terlepas juga—cepat atau lambat. Seperti kebanyakan kisah remaja menuju dewasa, hubungan mereka pun berakhir. Bukan karena orang ketiga, sesederhana sudah tak lagi sejalan dan terlalu sering berbeda pendapat. Waktu itu mereka masih muda, dan jalan hidup masing-masing masih panjang. Prajaka memilih mengejar cita-citanya, sementara Zalima belajar melepaskan. Mereka berpisah baik-baik—meski tetap saja, yang namanya perpisahan selalu menyakitkan. Zalima sempat terpuruk, kehilangan arah setelah hubungan mereka berakhir. Tapi lambat laun, dia berhasil bangkit ... meski dengan cara yang tak bisa dibilang biasa. Hingga terbentuklah sosok Zalima yang sekarang. Jadi, rasanya seperti déjà vu—menerima uang dari Prajaka lagi, meskipun dengan alasan yang jauh berbeda. Apakah saat ini Zalima merasa tak enak hati? Tersinggung? Tidak sama sekali. Seperti yang pernah dia katakan pada Prajaka: sekarang, yang dia punya hanyalah harga. Uang yang diterimanya pun bukan cuma-cuma. Zalima menawarkan jasa, dan dia dibayar. Tak ada yang dirugikan—karena mereka menjalankan ini sebagai kerja sama. Bisnis. Kembali pada tujuannya masuk ke Indomaret, Zalima segera mengambil keranjang belanja dan melangkah menuju rak berisi aneka mi instan. Matanya memindai satu per satu varian rasa, lalu mulai membandingkan—mana yang lebih enak, produk dari perusahaan Prajaka atau merek lain? Beberapa menit berlalu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia memilih varian goreng dan mengambil sepuluh bungkus sekaligus, untuk stok. Tak lupa mengambil beberapa es krim, lalu beranjak ke kasir dan membayar semua belanjaan. Tas belanja lipat berwarna netral turut dia beli—agar lebih praktis dibawa pulang. Zalima keluar dari Indomaret dengan tentengan di tangan. Dia berencana memesan bubur ayam sesampainya di apartemen, untuk sarapan. Namun ketika berjalan menuju lift, ponsel di saku jaket training-nya tiba-tiba bergetar. Nama Prajaka muncul di layar begitu ponsel dia keluarkan. Tanpa pikir panjang, Zalima langsung menerima panggilan itu—khawatir ada hal penting yang ingin disampaikan pria itu. “Halo,” ucap Zalima singkat. “Zalima, soal uang yang kutransfer tadi, apa nominalnya terlalu kecil? Memang rencana pernikahannya digelar sederhana, tapi mungkin kebutuhanmu lebih banyak dari yang kuperkirakan.” “Oh, itu cukup,” jawab Zalima. “Nggak banyak barang yang ingin kubeli dengan uang itu. Malah sepertinya kelebihan. Nanti kukembalikan setelah—” “Jangan dikembalikan,” potong Prajaka tenang. “Itu semua untukmu. Selama menikah, kau juga akan mendapat nafkah dariku. Setelah ijab, aku akan memberimu kartunya.” “Hm, baiklah,” balas Zalima, mengangguk-angguk kecil—meski dia tahu, anggukannya itu takkan terlihat. “Akan kugunakan sebaik mungkin. Dan akan kukembalikan kalau memang waktunya tiba.” “Ya. Selain itu,” sambung Prajaka, “aku ingin memberitahu ... besok malam kita akan makan bersama Stevani. Dia ingin mengenalmu lebih dulu, sebelum pernikahan.” “Stevani ... mantan istrimu?” tanya Zalima, alisnya sedikit terangkat. “Iya.” “Baik. Nanti katakan saja tempat dan waktunya. Aku pasti datang menemui kalian.” “Ya.” Panggilan pun berakhir beberapa detik kemudian. Zalima menurunkan ponsel dari telinga, memandangi layarnya hingga perlahan meredup dengan sendirinya. Bertemu mantan istri Prajaka, ya? Ah ... sepertinya dia harus melakukan sedikit riset terlebih dahulu sebelum pertemuan itu. Dengan begitu, dia bisa menentukan sikap—akan seperti apa dirinya nanti di hadapan wanita itu. *** Stevani Ayudya Poernomo, anak perempuan satu-satunya dari keluarga Poernomo. Keluarganya terkenal karena merupakan pemilik salah satu stasiun TV terbesar di Indonesia. Sementara Stevani sendiri bekerja di bidang Creative Director media dan hiburan. Itulah sebagian informasi yang didapat Zalima dari internet. Di antara pencarian namanya tadi, terselip satu artikel tentang berita perselingkuhan yang beberapa waktu lalu sempat Zalima baca. Dan sampai saat ini pun dia tak bisa menebak apa alasan Stevani menyelingkuhi Prajaka—padahal Prajaka jelas lebih tampan dan lebih kaya dibandingkan pria yang jadi selingkuhannya. Lebih mengherankannya lagi, mau-maunya saja Prajaka kembali lagi pada wanita yang terbukti nyata tidur dengan laki-laki lain. Apa tidak terbayang-bayang nanti, seandainya mereka benar-benar rujuk? Kalau Zalima sih jelas akan jijik—sekali pun dia masih memiliki rasa dengan orang yang pernah menyakitinya seperti itu. Ah, tapi ... bukan urusannya juga. Zalima harus kembali fokus pada tujuan dan perannya—hadir di antara mereka sebagai istri kontrak, hanya sampai tiga bulan saja. Dan malam ini adalah malam pertemuannya dengan Stevani. Zalima bahkan sampai harus memastikan penampilannya di kaca spion mobil—apakah dirinya sudah cukup anggun, apakah gaun yang dikenakan sudah pas, dan make up tipisnya rapi, supaya tidak kelihatan kebanting saat berdiri di hadapan wanita itu. Sebab Zalima yakin, Stevani bukan tipe yang menyembunyikan penilaian. Dia akan terang-terangan mengkritik kalau dirasa penampilannya tidak sesuai standar minimal yang layak bersanding dengan seorang Prajaka. Setelah merasa cukup puas, Zalima akhirnya turun dari mobil. Dia memasuki sebuah restoran bintang lima, dan diantar salah seorang pelayan menuju lantai teratas setelah menyebutkan reservasi atas nama Raden Prajaka Bumi Dirgantara. Setibanya di salah satu ruang privat, pelayan yang mengantar Zalima pun undur diri. Dia sempat mengucapkan terima kasih sebelum pelayan itu benar-benar pergi. Dalam satu embusan napas singkat, Zalima mengangkat tangan dan mengetuk pintu dua kali. Setelah itu, dia langsung mendorongnya hingga terbuka—masuk tanpa menunggu dipersilakan. Tatapannya pertama kali tertuju pada Prajaka, baru kemudian beralih menatap wanita di sampingnya—Stevani Ayudya Poernomo. Kira-kira tadi mereka sedang apa? Kenapa Stevani begitu menempel pada Prajaka? “Kau sudah datang? Duduklah,” ujar Prajaka, menyadarkan Zalima dari lamunan, sambil memberi isyarat dengan dagunya ke arah kursi di depannya. Zalima mengangguk singkat, lalu segera duduk di kursi yang dimaksud. Dia meletakkan tasnya di purse stool, berdampingan dengan tas milik Stevani. Perbedaan kualitasnya kentara—brandnya beda, harganya juga beda. Tapi Zalima tak merasa kalah kelas. Dia tetap bersinar memakai apa pun karena percaya diri dan tahu cara menghargai barang-barangnya. “Perkenalkan, ini Zalima Cahyaning, yang akan menjadi istri kontrakku selama tiga bulan ke depan,” kata Prajaka, memulai percakapan. “Dan Zalima, ini Stevani, mantan istriku.” Zalima menoleh pada Stevani. Senyumnya tipis, sopan. Dia juga mengulurkan tangan, tapi yang didapat malah lirikan penuh penilaian dan buang muka dari Stevani—perhatiannya langsung beralih ke Prajaka. “Dia benar-benar profesional, ‘kan, Sayang? Tidak ada niat terselubung seperti ingin memoroti uangmu, atau nanti bakal mengancammu dengan membongkar pernikahan kontrak ini ke publik?” “Ya. Kau bisa mempercayainya.” “Apa kau juga sudah periksa latar belakangnya?” “Anggap saja sudah. Tenanglah, Vani. Aku tidak sembarangan memilih orang. Kalau aku memilih Zalima, artinya aku tahu apa yang kulakukan. Seharusnya kau percaya dan berhenti meragukan pilihanku.” Seketika wajah Stevani cemberut. “Aku hanya khawatir ...” “Satu-satunya yang perlu kau khawatirkan adalah sikapmu. Dan tolong, perbaikilah apa yang sudah terjadi. Aku memberimu kesempatan kedua, jadi gunakan itu sebaik mungkin. Kemudian ingatlah, di depan publik, kita seharusnya tidak begini. Yang orang-orang tahu kita ini mantan suami-istri.” Bersamaan dengan itu, Prajaka berusaha melepaskan belitan lengan Stevani dari lengannya. Tapi saat Stevani menolak, Prajaka pun tidak memaksa. Dia memilih kembali membiarkannya. Zalima yang sejak tadi jadi penonton sekaligus pendengar, berdeham pelan untuk meredam tawa geli yang hampir lolos. Untung masih bisa ditahan, sebelum akhirnya dia ikut bersuara. “Kalau sampai saya nggak profesional, saya siap mengembalikan uangnya beserta ganti rugi dua kali lipat. Jadi, kamu nggak perlu khawatir,” ucap Zalima masih dengan senyum tipisnya. “Fokus saja pada rencana kalian. Saya juga akan fokus pada peran saya.” Ekspresi Stevani makin menunjukkan ketidaksukaannya pada Zalima. “Di mana kau menemukan wanita ini, Praja? Apa tidak bisa diganti dengan yang lain saja?” “Kau tidak perlu tahu. Pertemuan ini hanya untuk mengenalkannya padamu, bukan untuk meminta pendapatmu soal kelayakannya.” Tak bisa berkata apa-apa lagi, Stevani akhirnya berdecak kecil dan menyandarkan kepalanya ke bahu Prajaka. Terlihat lengket. Orang yang tak tahu kisah mereka pasti akan mengira mereka masih pasangan. Serasi, bahkan terlihat manis. Tapi bagi Zalima, yang tahu kebenarannya, pemandangan itu terasa ganjil. Besar kemungkinan inilah yang akan sering dia lihat selama tiga bulan ke depan. Baiklah, berarti sekarang saatnya belajar beradaptasi. Agar nanti, wajahnya tidak terlalu jujur menampilkan isi hati. “Rileks saja. Stevani bukan bermaksud meremehkanmu. Dia hanya waspada,” kata Prajaka menjelaskan, entah karena merasa perlu, atau sekadar mengisi keheningan yang mendadak muncul di antara mereka. “Oh, tentu. Aku sangat paham soal itu. Jangan khawatir.” Zalima mengulum senyum sambil mengangguk kecil. “Kita memang nggak boleh gampang percaya. Reaksinya tadi sangat wajar.” Prajaka turut tersenyum mendengar tanggapannya. “Syukurlah kalau kau mengerti.” Tak lama kemudian, pelayan datang membawa beberapa hidangan dan menu minuman. Salah satunya wine, yang dituangkan ke gelas masing-masing. Tapi karena Zalima tidak kuat alkohol, dia menolak dengan halus saat pelayan hendak mengisi gelasnya. Dia cukup dengan air putih saja. Lagi pula, selepas ini dia masih harus menyetir. Selama makan malam berlangsung, obrolan hanya terjadi sesekali. Zalima lebih banyak jadi pengamat—melihat bagaimana Stevani sangat perhatian, dan Prajaka yang terlihat menerima, tapi tidak sepenuh hati. Bagi Zalima, semua ini terasa seperti tontonan yang aneh. Tapi karena bukan ranahnya—bukan pula urusannya—dia merasa tak berhak berkomentar. Maka dia memilih bersikap acuh dan fokus menikmati steak yang rasanya begitu enak, hingga tiap gigitan membuatnya memejamkan mata dan mendesah pelan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN