“Terima kasih karena telah menyetujui proposal kami, Mr. Marvin. Kami benar-benar beruntung karena berhasil mendapat kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan Anda,” ucap seorang pria dengan senyum lebar sembari menyalami tangan Axellion. Wajah pria itu bahkan tak bisa menyembunyikan perasaannya yang terlampau besar saat ini.
“Anda layak mendapatkannya,” balas Axellion membuat senyum pria itu semakin lebar.
Setelah Jay memberi Axellion mengenai data perusahaan yang mengajukan proposal padanya tempo hari, Axellion memutuskan untuk menerima kedua proposal tersebut dari dua perusahaan yang berbeda tersebut. Dan hari ini, ia baru saja selesai menandatangani kontrak kerja sama untuk kedua perusahaan itu.
“Apa jadwalku selanjutnya?” tanya Axellion pada Sarah, salah satu sekretarisnya, saat mereka hendak kembali ke ruangan Axellion.
“Setelah makan siang nanti, Anda memiliki janji bertemu dengan Mr. Smith dari SJ Corporation,” jawab Sarah yang hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Axellion.
“Di mana Jay?” tanya Axellion.
“Mr. Curtis sedang istirahat di cafe depan perusahaan, Sir. Dan Beliau berpesan agar Anda ... tidak meneleponnya dalam satu jam ke depan,” jawab Sarah ragu.
“Kenapa?” tanya Axellion dengan kerutan di keningnya.
“Mr. Curtis tidak memberitahukan alasannya, Sir,” jawab Sarah.
“Hubungi dia dan suruh ke ruanganku sekarang. Kalau dia menolak, katakan padanya kalau akan memotong gajinya selama tiga bulan ke depan jika dia tidak berada di ruanganku dalam waktu sepuluh menit,” pinta Axellion.
“Baik, Sir,” ucap Sarah patuh.
Setelahnya, Axellion masuk ke dalam ruangannya, sementara Sarah kembali ke tempatnya untuk melaksanakan perintah Axellion untuk menyuruh Jay segera menemui Axellion. Meski ia merasa sedikit bingung dengan kedua pria itu.
Tidak ada seorang pun di perusahaan ini yang tidak tahu bahwa mereka berdua memiliki hubungan yang sangat dekat. Tapi, kenapa Axellion selalu menyuruh mereka untuk menghubungi Jay? Bukankah akan lebih baik jika mereka langsung menghubungi satu sama lain tanpa harus melalui perantara yang akan membuat hubungan mereka semakin jelas?
Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh seluruh karyawan Marvin Corporation sejak menyadari hubungan spesial di antara Axellion dan Jay beberapa tahun yang lalu.
-------
“Kenapa kau memanggilku? Bukankah sudah kubilang untuk tidak menggangguku selama satu jam ke depan?” kesal Jay setelah menutup pintu agar kedua sekretaris Axellion yang berada di luar tidak bisa mendengar kemarahannya pada sang bos.
“Setelah makan siang nanti, aku memiliki jadwal temu dengan seseorang,” jawab Axellion mengabaikan kekesalan Jay.
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanya Jay.
“Kau harus menemaniku pergi menemuinya,” jawab Axellion.
“Apa karena itu kau mewajibkanku berada di sini dalam waktu sepuluh menit?” tanya Jay tak habis pikir, ditambah Axellion yang mengangguk sebagai jawaban. “Demi Tuhan! Pertemuanmu masih ada tiga jam dari sekarang!” serunya.
“Maka dari itu, aku ingin memberitahumu untuk bersiap-siap,” ucap Axellion sabar. “Lagi pula, bagaimana bisa kau beristirahat sementara bosmu sedang sibuk bekerja?” sindirnya.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Kau ‘kan, memang sedang melakukan pekerjaanmu sendiri dan aku hanya bekerja saat kau memberiku pekerjaan,” elak Jay.
“Memangnya pekerjaan apa yang kau lakukan sekarang?” tanya Axellion dengan sebelah alis terangkat.
“Beristirahat untuk menunggu perintahmu selanjutnya,” jawab Jay.
“Dan sekarang aku memerintahkanmu untuk bersiap-siap. Karena, dalam tiga jam ke depan, kau harus menemaniku pergi,” pinta Axellion.
“Orang macam apa yang harus bersiap-siap selama itu? Aku bahkan sudah siap kalau kau mau pergi sekarang,” dengus Jay.
“Tidak salah aku memilihmu jadi asisten pribadiku. Kau sangat pandai dalam bersilat lidah,” puji Axellion seraya tersenyum kecil.
“Aku akan menganggap itu sebagai pujian,” ucap Jay. “Baiklah. Kalau tidak ada lagi yang mau kau katakan, aku akan pergi melanjutkan pekerjaanku menunggumu,” lanjutnya. Tapi, baru saja ia hendak beranjak dari ruangan Axellion, langkahnya seketika terhenti saat Axellion kembali memanggilnya.
“Ada apa lagi?” kesal Jay seraya membalikkan badannya.
“Kau di sini saja. Aku bosan sendirian,” pinta Axellion.
“Memangnya apa yang bisa kulakukan di sini? Hanya melihatmu bekerja tanpa melakukan apa-apa?” tanya Jay.
“Kau bisa sibuk dengan duniamu sendiri seperti yang biasa kau lakukan,” ucap Axellion.
“Tidak mau. Lagi pula, bukankah kau selalu mengeluh saat melihatku bersantai ria di ruanganmu?” sindir Jay.
“Kali ini, aku tidak akan melakukannya,” ucap Axellion.
“Sudah kubilang kalau aku tidak mau. Aku akan pergi dan kembali dalam satu jam ke depan,” tolak Jay.
“Duduk,” pinta Axellion saat Jay hendak beranjak.
“Tidak mau,” tolak Jay tanpa menghentikan langkahnya.
“Duduk, Jay Curtis,” pinta Axellion membuat langkah Jay seketika berhenti.
Selama beberapa saat, Jay hanya berdiri di tempatnya sebelum menghela napas kasar kemudian berbalik dan duduk di sofa dengan sangat terpaksa. Ia akui kalau Axellion memang selalu memaklumi sikap kasarnya. Tapi, jika pria itu telah menyebut namanya lengkapnya, itu artinya Axellion benar-benar tidak ingin dibantah dan ia harus menuruti pria itu.
Di saat Jay terlihat sangat kesal, Axellion tersenyum tipis di tempatnya melihat kepatuhan Jay. Setelah sukses menahan Jay di ruangannya, barulah Axellion melanjutkan pekerjaannya.
“Axel,” panggil Jay tiba-tiba yang dibalas gumaman oleh Jay. “Ada yang ingin kutanyakan,” ujarnya.
“Sejak kapan kau minta izin untuk bertanya?” sindir Axellion.
“Tapi, ini sedikit privasi,” ujar Jay.
“Tanyakan saja. Lagi pula tidak ada privasi di antara kita berdua,” pinta Axellion membuat Jay menggerutu dalam hati mendengar ucapan Axellion. Namun, ia menelan kekesalannya untuk pertanyaan yang akan ia tanyakan saat ini.
“Sebenarnya, sudah lama aku ingin menanyakan ini padamu,” ucap Jay. “Axel, kau ... apa kau benar-benar ... gay?” tanyanya hati-hati membuat Axellion seketika berhenti membaca dokumen di hadapannya. Ia lantas menatap Jay yang juga tengah menatapnya menunggu jawaban dengan harap-harap cemas.
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” tanya Axellion membuat Jay menghela napas panjang setelah menahan napas selama beberapa saat.
“Jangan bertanya balik. Jawab saja berdasarkan naluri priamu. Apa kau benar-benar gay atau tidak?” kesal Jay.
“Sepertinya kau sudah termakan doktrin Mama,” ucap Axellion seraya menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian lanjut membaca dokumen yang sempat tertunda tadi.
“Benar, ‘kan? Itu hanya ketakutan Aunty, ‘kan? Kau bukan gay, ‘kan? Kau masih normal, ‘kan? Kau masih tetap sahabatku yang normal, ‘kan?” tanya Jay beruntun untuk memastikan kekhawatirannya.
“Sudah berapa lama kita berteman? Kau masih meragukanku?” tanya Axellion balik.
“Sudah kuduga,” ujar Jay seraya menghela napas lega. “Kupikir kau benar-benar gay karena selalu menempel padaku,” lanjutnya.
“Apa itu artinya tadi kau berusaha menghindar dariku? Kau takut kalau aku menyukaimu?” tebak Axellion tepat sasaran.
“Sedikit. Doktrin Aunty benar-benar sangat dahsyat untuk otakku yang terlampau polos,” jawab Jay. “Tapi, sekarang aku lega karena ternyata kau masih normal,” ujarnya membuat Axellion menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.
-------
“Sudah kubilang kalau aku tidak mau, Dad. Aku lelah dan ingin beristirahat,” tolak Claire manja saat Jack memaksanya untuk makan siang bersama.
“Hanya sebentar, Baby. Kau hanya perlu duduk di sana untuk menemani Daddy,” ujar Jack di seberang telepon.
“Memangnya siapa pria itu? Apa dia lebih tampan darimu? Kalau tidak, aku tidak akan mau pergi,” tolaknya lagi dengan berbagai alasan.
“Tidak mau. Pokoknya aku tidak mau pergi,” tegas Claire bahkan sebelum Jack membalas ucapannya. Dengan kesal, ia pun memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.
“Aku bingung, kenapa Daddy suka sekali menjodohkanku dengan anak rekan kerjanya dengan dalih makan siang? Aku ‘kan, mau menikah dengan pria yang kucintai dan yang mencintaiku,” gerutu Claire. Ia lantas mendengus kesal sembari melempar ponselnya ke atas sofa yang berjarak cukup jauh dari tempat tidurnya membuat Ruby yang melihatnya tercengang.
‘Bagaimana bisa dia melempar ponsel mahal itu seperti barang murahan?’ batin Ruby.
“Ruby,” panggil Claire yang membuat lamunan Ruby buyar.
“Y, ya, Miss?” tanya Ruby sembari melanjutkan pekerjaannya membersihkan meja rias Claire.
“Apa kau pernah jatuh cinta?” tanya Claire sembari merapatkan selimut ke tubuhnya.
Ruby lantas tersenyum mendengar pertanyaan yang sudah berkali-kali ia dengar itu. Ia pun menjawab, “Aku tidak memiliki waktu untuk itu, Miss. Masih banyak hal penting yang harus kupikirkan.”
Mendengar jawaban Ruby, Claire segera merutuki dirinya. Ia lupa kalau kedua orang tua Ruby sudah meninggal dan dia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya yang hidup sebatang kara di dunia ini.
“Maafkan aku,” gumam Claire menatap nanar pada Ruby.
“Kau tidak perlu meminta maaf. Lagi pula, aku juga belum ingin memikirkan masalah itu. Perjalananku masih cukup panjang untuk menemukan cintaku,” ujar Ruby mencoba menutupi suaranya yang hampir bergetar. Karena, bohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak merasa sedih saat ini.
“Kau benar,” ucap Claire kemudian terkekeh. “Tapi, aku penasaran. Apa selama ini tidak ada pria yang menyatakan perasaannya padamu?” tanyanya.
“Tidak ada,” jawab Ruby sembari menggelengkan kepalanya.
“Benarkah? Kenapa? Padahal kau lumayan cantik. Kau juga baik. Kenapa tidak ada pria yang tertarik padamu?” tanya Claire seraya bangun dari posisi baringnya.
“Cantik dan baik saja tidak cukup untuk menjadikan seorang wanita sebagai kekasihmu. Lagi pula, siapa yang mau menjadikan wanita miskin sepertiku sebagai kekasih?” gurau Ruby.
“Jangan bicara seperti itu!” bentak Claire seraya bangun dari posisi tidurnya yang membuat Ruby lumayan terkejut. Ternyata, ucapan yang Ruby anggap gurauan justru ditanggapi dengan serius oleh Claire.
“Tidak ada yang pantas menilai kemampuan seseorang. Kau memang tidak punya uang, tapi kau memiliki hati yang sangat besar,” ujarnya.
‘Aku tahu dia bermaksud baik ingin menenangkanku. Tapi, kenapa aku merasa seperti disambar oleh kenyataan?’ batin Ruby.
“Tidak bisa. Pokoknya, mulai sekarang kau harus mengubah pola pikirmu itu!” seru Claire. “Berhenti berpikir kalau kau hanya wanita miskin. Mulai sekarang, kau harus berpikir kalau adalah wanita yang memiliki banyak kelebihan dibanding wanita lain di luar sana,” pintanya.
‘Memiliki kelebihan dibanding wanita lain? Bagaimana kau bisa menyuruhku berpikir seperti itu kalau ada kau yang jelas-jelas sangat jauh di atasku?’ batin Ruby.
“Terima kasih. Tapi, maaf. Aku tidak bisa melakukan itu. Bagaimanapun, aku sadar akan posisiku. Dan aku juga tidak ingin berharap lebih tinggi. Karena kenyataannya, hal itu hanya akan membuatku semakin dalam terjatuh,” tutur Ruby.
“Aku tidak tahu kalau kau selalu berpikiran dangkal seperti itu,” sarkas Claire membuat Ruby membatu di tempatnya.
“Dengarkan aku, Ruby,” ujar Claire.
“Kau itu cantik. Kau baik. Kau juga menarik. Jangan selalu berkecil hati dengan mengatakan hal-hal buruk seperti tadi. Karena, kau tidak tahu bagaimana cara orang-orang memandangmu. Kau bisa saja mengatakan hal-hal buruk tentang dirimu, tapi bagaimana dengan orang lain? Mereka mungkin saja melihatmu dari sisi lain yang tidak bisa kau lihat. Kau pasti memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain,” tuturnya.
“Jadi, mulai sekarang berhenti merendahkan dirimu sendiri. Itu sangat tidak bagus untuk didengar. Mengerti?” pintanya.
Selama beberapa saat, Ruby membisu setelah mendengar ucapan Claire. Ia pikir, Claire akan memarahinya atau bahkan langsung memecatnya ketika melihat wanita itu terlihat kesal karena ia selalu melawan ucapannya. Tapi, ternyata ia salah.
“Terima kasih, Miss,” gumam Ruby seraya mengulas senyum tulusnya.
“Apanya yang terima kasih? Harusnya kau sudah melakukan itu sejak dulu. Siapa yang tahu kalau kau melakukan itu sejak lama, mungkin saja sekarang kau sudah memiliki kekasih atau bahkan sudah menikah,” ujar Claire membuat Ruby terkekeh.
“Aku tidak bercanda,” ucap Claire dengan ketegasan di setiap katanya.
“Iya, aku tahu,” ujar Ruby.
Setelah percakapan tersebut, keduanya pun membisu. Ruby melanjutkan pekerjaannya, sementara Claire kembali berbaring di tempat tidur empuknya bersama selimut tebalnya.
“Ruby,” panggil Claire menatap langit-langit kamarnya.
“Ya, Miss?” tanya Ruby menatap Claire tanpa menghentikan tangannya yang tengah bekerja.
“Kau mau jadi temanku?” tanya Claire.
“Teman?” tanya Ruby balik seraya berbalik ke arah Claire yang juga tengah menatapnya.
“Ya,” jawab Claire. “Di rumah ini, hanya kau pelayan yang usianya di bawahku. Jadi, aku merasa nyaman saat berbincang denganmu dari pada pelayan-pelayan lain yang usianya lebih tua dariku,” jelasnya.
“Tapi, jangan pikir aku tidak punya teman lain di luar sana. Aku tidak semenyedihkan itu. Sebenarnya aku punya banyak teman, kau tahu?” seru Claire yang kemudian kembali terdiam.
“Meski begitu, meski aku memiliki banyak teman di luar sana, tapi aku merasa seperti tidak punya teman satu pun. Karena, aku tahu kalau mereka hanya berteman dengan uangku, bukan diriku. Andai bukan karena uangku. Mana mau mereka berteman dengan wanita manja sepertiku?” ungkapnya lalu terkekeh.
“Lucu bukan? Aku sadar kalau aku ini hanya wanita manja yang tidak tahu apa-apa, tapi aku sama sekali tidak mengubah sikapku,” gumamnya menyindir dirinya sendiri.
“Kalau begitu, kenapa kau mau berteman dengan mereka jika tahu kalau mereka hanya memanfaatkanmu?” tanya Ruby mengabaikan kalimat terakhir Claire.
“Aku tidak suka pergi sendiri. Aku butuh teman yang bisa kuajak keluar untuk hang out, Jadi, aku terpaksa masih berteman dengan mereka,” jawab Claire.
“Kau bisa pergi hang out bersama Mrs. Smith,” ujar Ruby.
“Terkadang, kami memang pergi belanja dan hang out bersama. Tapi, selera kami sangat jauh berbeda yang membuat kami sering mengalami pertengkaran kecil. Maka dari itu, aku lebih sering keluar dengan teman uangku,” ungkap Claire.
“Jadi, bagaimana? Kau mau atau tidak? Setidaknya kau bisa membuatku tidak mati kebosanan saat berada di rumah,” tanyanya, menatap Ruby yang sejak tadi hanya membisu di tempatnya.
“Tidak ada alasan untuk menolak,” jawab Ruby seraya tersenyum yang juga dibalas senyuman oleh Claire. “Jangan lupa untuk mengenalkanku juga dengan isi dompetmu,” guraunya yang membuat Claire tertawa terbahak-bahak dengan sindiran Ruby.
-------
Love you guys~