BAB 18

1331 Kata
Rumah berlantai tiga itu tampak sunyi, seolah menyembunyikan riuh di balik dinding megahnya. Dari kejauhan, cahaya lampu temaram di ruang makan memantulkan siluet keluarga yang tengah berkumpul. Para pelayan sibuk mondar-mandir, menata piring porselen dan menyusun hidangan beraneka rupa di atas meja panjang. Sofia menatap penuh tanya; jumlah makanan kali ini jauh melampaui biasanya, seolah menyambut sesuatu yang penting. “Siapa yang mau datang, Pa?” tanyanya. Sang papa mendongak dari atas ipadnya. “Temanmu.” Sofia ternganga. “Hah, siapa?” Sofia menatap sekeliling meja makan, mencari jawaban dari wajah-wajah keluarganya. Namun tak seorang pun menoleh, seakan keheranannya hanya bergema di kepalanya sendiri. Papa larut dalam berkas-berkas pekerjaannya, sementara Mama masih sibuk mengomeli adiknya yang tampak malas bersiap. Keningnya berkerut semakin dalam. Tidak ada undangan, tidak ada kabar. Lalu, untuk siapa hidangan sebanyak ini? Sesaat, nama Alejandro terlintas. Tapi hatinya buru-buru menolak. Kekasihnya itu bukan pria yang menyukai kejutan. Alejandro selalu menghargai keteraturan, setiap langkahnya terencana. Jadi, siapa yang akan datang? Memikirkan Alejandro membuat hati Sofia berdenyut dengan rasa perih yang sulit ia kendalikan. Ia melangkah pelan menuju jendela besar kamarnya, membiarkan pandangan matanya tertuju pada tirai hujan yang jatuh deras dari langit kelabu. Bunyi rintik hujan yang menabrak kaca seakan menjadi latar dari kegelisahan hatinya. Sudah beberapa hari ia tidak bertegur sapa dengan Alejandro, semenjak pertengkaran terakhir yang membuatnya patah hati. Bukannya berusaha menghubungi, Alejandro justru menghilang, tanpa kabar, tanpa permintaan maaf. Padahal, satu pesan singkat dengan kata “maaf” saja sudah cukup baginya untuk luluh. Namun kenyataan yang ia hadapi begitu jauh dari harapannya. Alejandro selalu mengutamakan hal lain—keluarganya, klub bola yang ia cintai, semua tampak lebih penting dibanding dirinya. Sofia tahu, ia bukan gadis yang menuntut banyak, tetapi apakah salah jika ia merasa kecewa? Mereka sudah cukup lama berpacaran. Ia sudah siap menata masa depan bersama, membicarakan pernikahan, membangun rumah tangga. Sayangnya, Alejandro seolah tidak peka, tidak mengerti apa yang ia rindukan. Tak heran, orang tuanya semakin lantang menentang hubungan ini. Mereka melihat bagaimana Sofia berjuang sendirian, sementara Alejandro tidak pernah benar-benar berusaha. Dan di balik derasnya hujan, Sofia bertanya dalam hati, apakah cintanya masih layak diperjuangkan? “Sofia, ada apa? Melamun?” Anina menegur anak gadisnya yang berdiri di dekat jendela. Sofia menoleh, menatap mamanya. “Siapa yang mau datang, Ma?” tanyanya. “Nanti kamu juga tahu.” “Teman Papa?” “Yah, bisa dibilang begitu?” Anina berlalu begitu saja, meninggalkan Sofia dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Semakin ia mencoba menebak, semakin besar rasa penasarannya tentang siapa yang akan datang malam ini. Mama dan papa bersikeras menyembunyikan identitas tamu misterius itu, membuat Sofia kesal sekaligus gelisah. Ia berdecak, lalu kembali menatap jendela yang dipenuhi butir hujan, seakan mencari jawaban di balik tirai air yang jatuh tanpa henti. Pikirannya kembali melayang pada Alejandro. Apakah kekasihnya itu sudah pulang? Apa yang sedang ia lakukan di tengah cuaca buruk seperti ini? Sofia menggenggam tangannya sendiri, menahan keresahan. Yang ia butuhkan hanya sebuah pesan singkat, secuil kabar bahwa ia masih dipikirkan. Namun Alejandro tetap bungkam, dan diamnya semakin membuat hati Sofia resah. Suara bel yang nyaring membuat seisi rumah tersentak, seakan memecah keheningan yang sempat tercipta. Seorang pelayan bergegas menghampiri pintu, sementara Ruben menutup iPadnya dengan tenang, lalu bangkit berdiri. Langkahnya mantap menuju ruang tamu, meninggalkan Sofia dan anggota keluarga lain yang masih menunggu dengan rasa ingin tahu. Sesaat kemudian, terdengar percakapan riuh disertai tawa, suara yang begitu jelas hingga menembus dinding ruang makan. Sofia menoleh, dan seketika tubuhnya menegang. Dari pintu masuk, ia melihat sang papa melangkah masuk bersama seorang pria tinggi berkacamata. Wajah itu begitu familiar, membuat hatinya spontan mengeluh dalam diam. Sebelum ia sempat menyembunyikan keterkejutannya, suara Ruben menggema lantang, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang justru membuat Sofia semakin tidak tenang. “Sofia, ada tamu istimewa kita, Noah.” Laki-Iaki bernama Noah adalah anak partner bisnis Ruben. Tentu saja, sebagai orang tua mereka menginginkan anak-anak mereka berteman. Namun, satu hal yang pasti bagi Sofia adalah, orang tuanya terutama sang papa jelas mengharapkan kalau dirinya dan Noah lebih dari teman. Itu terlihat jelas dari sikap orang tuanya. “Apa kabar, Noah. Silakan duduk!” Anina menyambut antusias. “Kabar baik, Tante. Terima kasih undangan makan malamnya.” Ruben melambai ke arah anaknya. “Sofia, kemari, Nak. Sambut Noah.” Sofia melangkah dengan enggan, menyadari terjebak dalam permainan orang tuanya. Ia tidak tahu kalau Noah akan datang. Kalau semisalnya diberi kabar, tentu saja akan memilih untuk pergi. Sayangnya, ia harus tetap tinggal karena tidak mungkin menentang orang tuanya. “Apa kabar, Sofia?” Noah menyapa sambil tersenyum. Sofia menghela napas, mengesampingkan rasa enggan dan mencoba untuk tetap tersenyum ramah. “Noah, kabar baik.” Noah duduk di samping Sofia, dan sepanjang makan malam mencoba untuk memperlihatkan kepeduliannya pada gadis itu. Sayangnya. Sofia hanya bersikap sewajarnya karena hati dan pikirannya penuh dengan Alejandro. *** Kendaraan itu terus merayap pelan di antara deretan mobil yang berhenti mendadak, seakan kota telah ditelan badai. Hujan turun tanpa henti, derasnya seperti ember raksasa yang ditumpahkan dari langit. Angin menderu membawa suara gesekan ranting, sementara di beberapa titik, pohon tumbang menutup sebagian jalan. Air menggenang hingga menutupi trotoar, membuat ban kendaraan terendam dan memercik liar setiap kali dipaksa bergerak. Di luar sana, lampu jalan berkelip lemah, berjuang menembus kabut hujan yang semakin menebal. Pendar kuningnya memantul di genangan air, menciptakan bayangan bergetar yang menambah kesan muram. Suasana terasa begitu basah dan menusuk dingin, seolah udara malam meresap masuk ke pori-pori kulit. Bahkan di dalam kendaraan, kehangatan sulit ditemukan, jendela berembun, udara lembap, dan rasa sepi yang perlahan menyelusup. “Kenapa mendadak kamu yang datang?” Alejandro melirik Natalia. “Sopir sakit kepala. Dia mengirim pesan pada Marco. Kebetulan hanya ada aku yang standby.” “Oh, benarkah? Kenapa nggak bilang saat mau pergi?” “Mungkin takut.” “Aneh.” “Banyak orang bersikap aneh kalau dihadapkan pada atasan mereka. Bisa jadi merasa masih bisa menahan sakit, tapi kenyataannya memaksakan diri.” Natalia terdiam, membiarkan kata-kata Alejandro menggantung di udara seperti gema yang sulit diabaikan. Pandangannya menembus jendela, menyaksikan derasnya hujan yang semakin menutupi jalanan macet. Bunyi klakson bersahut-sahutan, wiper mobil bergerak cepat, namun pikirannya justru melayang jauh. Ponselnya bergetar—Camila menanyakan posisinya. Dengan singkat ia menjawab bahwa ia masih di jalan. Namun dari Victor, suaminya, tak ada satu pun kabar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Kehampaan itu menusuk lebih dalam daripada hujan yang membasahi seluruh kota. Natalia menghela napas panjang, menyadari sesuatu yang selama ini diabaikan: mereka sudah lama saling acuh, hanya saja baru kini ia benar-benar merasakannya. Perhatian yang dulu hangat, kini berganti dingin, nyaris tak tersisa. “Nyonya, ada apa?” Alejandro menegur pelan, melihat Natalia melamun. “Alejandro, berapa Victor membayarmu untuk bercinta denganku? Aku pernah tanya dan kamu nggak mau jawab.” Alejandro tersentak, menginjak gas secara perlahan. Tidak ingin menjawab pertanyaan Natalia. Entah kenapa rasa enggan menyelimutinya. “Aku tahu kamu pasti malu menyebutnya. Aku hanya ingin tahu, karena Victor mengatakan kalau aku tidak hamil bulan ini, kamu harus mencobanya lagi. Omongannya seolah kamu terlibat dalam kontrak yang panjang denganku.” Alejandro menangkap nada muram yang meluncur dari bibir Natalia, membuat hatinya ikut tercekat. Tatapannya terarah pada wajah perempuan itu, ada rasa tidak enak yang sulit ia sembunyikan. Sesungguhnya, bukan karena ia tak ingin berbicara, melainkan karena ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Kata-kata yang ingin keluar seolah terbelit rasa malu yang menekan. Ia membayangkan reaksi Natalia—apakah akan iba padanya, atau justru menertawakannya? Alejandro tidak sanggup menahan kemungkinan itu. Kebenaran yang ia simpan terasa terlalu berat untuk diucapkan, apalagi di hadapan Natalia yang matanya kini penuh tanda tanya. Diamnya menjadi tameng rapuh, meski di dalam hati ia tahu, cepat atau lambat, rahasia itu harus terungkap. “Nyonya, apakah kamu marah kalau saya nggak bilang?” Natalia menggeleng. “Nggak, itu hak kamu. Tapi, aku juga berhak tahu. Karena apa yang kita lakukan sekarang, melibatkan kita berdua. Kamu dan aku, Alejandro. Dalam hal ini, suamiku adalah dalang yang menggerakkan kita. Apa salahnya kita jujur satu sama lain?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN