BAB 19

1335 Kata
Alejandro menarik napas panjang, lalu mengusap kaca jendela yang buram oleh tempias hujan, seolah ingin menyingkirkan kabut yang sama pekatnya dengan pikirannya. Udara dingin merayap hingga ke tulang, membuat tubuhnya kaku, terlebih ketika percakapan barusan masih terasa menggantung di antara mereka. Derasnya hujan di luar seakan memantulkan kegelisahan dalam dadanya. Saat kendaraan terhenti di tengah kemacetan, Alejandro menoleh ragu. Namun, dorongan hati lebih kuat daripada keraguannya. Perlahan ia meraih jemari Natalia, hangatnya kontras dengan udara dingin yang menyelimuti. Ia meremasnya dengan lembut, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang tak sanggup diucapkan. Syukurlah, Natalia tidak menolak. Diamnya justru menjadi jawaban yang menenangkan hati Alejandro. Ia coba-coba mengecup punggung tangannya, dan berbisik lirih, “Saya akan mengatakan semuanya, Nyonya. Setelah itu, terserah bagaimana penilaianmu.” Alejandro menarik napas dalam, mencoba merangkai kata yang selama ini ia pendam. Suaranya terdengar berat saat mulai bercerita tentang awal mula tawaran yang datang dari Victor—sebuah tawaran yang awalnya tampak menggiurkan, namun perlahan berubah menjadi jerat yang mengekang langkahnya. Ia tidak menyembunyikan apa pun, membiarkan Natalia mendengar tiap detailnya. Dengan wajah muram, ia melanjutkan kisah tentang bencana yang menimpa orang tuanya, juga kesulitan besar yang dialami klub bola tempatnya bernaung. Semua itu membuatnya berada di persimpangan yang sulit. Alejandro menuturkan dengan jujur, termasuk tentang bayaran yang diterimanya, meski rasa malu sempat mengganjal di dadanya. Setiap kata terasa berat, namun ia tahu, Natalia berhak mengetahui semuanya. “Uang sudah ditransfer dan langsung saya buat untuk membangun rumah orang tua. Sisanya, akan ditransfer kalau Nyonya hamil.” Natalia menghela napas, menatap tangannya yang berada dalam genggaman Alejandro. “Banyak juga uangnya,” gumamnya pelan. “Maafkan saya, Nyonya.” “Untuk apa minta maaf, kamu bekerja.” “Nyonya, bukan begitu. Tapi—” Natalia melepaskan genggaman Alejandro dan merendahkan kursi, lalu memejam. “Aku ingin istirahat sebentar. Bangunkan aku kalau sudah sampai.” Alejandro hanya bisa menatap Natalia yang berbaring di sampingnya dengan mata terpejam. Ada perasaan tak berdaya yang menyesakkan, seakan semua beban kini menumpuk di dadanya. Kata-kata tentang uang dan bayaran yang diterimanya masih terngiang, membuat wajahnya terasa panas oleh rasa malu. Ia tahu Natalia kecewa, dan kenyataan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada hujan deras di luar sana. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya, terutama ketika ia teringat momen saat menerima uang dari Victor. Bukan karena ia menginginkan jalan pintas, melainkan karena keadaan yang memaksanya. Ia sedang benar-benar kepepet, terlalu banyak kebutuhan mendesak, terlalu banyak beban yang harus segera ia tanggung. Namun alasan itu tidak membuat hatinya lebih ringan—justru semakin menambah luka di dalam dirinya. Alejandro memberanikan diri mengusap pipi Natalia yang halus dan berkata lembut, “Nyonya, maafkan saya.” Natalia terbaring dalam diam, matanya terpejam, namun pikirannya melayang ke mana-mana. Ia sendiri bingung, apa sebenarnya yang harus ia maafkan dari Alejandro? Lelaki itu tidak benar-benar bersalah padanya. Justru dirinya pun tidak lebih baik—sama-sama terjebak dalam sikap yang amoral, sama-sama memelihara luka yang sulit diakui. Lantas, mengapa ada kecewa, mengapa ada sedih? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya. Perasaannya makin kacau ketika bayangan pertemuannya dengan Dianti dan Zaneta kembali menghantam. Kata-kata mereka begitu pedas, menusuk tepat di titik terlemah hatinya. Segala sindiran dan cemooh itu masih terasa membakar telinga, merobek kepercayaan diri yang sudah rapuh sejak lama. Natalia menggertakkan gigi pelan, mencoba menahan getirnya. Ia sadar, mungkin rasa hancur itu bukan semata karena Alejandro, melainkan karena dirinya yang terlalu terbuka pada luka lama. “Nyonya, kalau ingin marah atau memaki, silakan saja. Tapi, jangan diamkan saya.” “Kenapa?” tanya Natalia heran, masih dengan mata tertutup. “Entahlah, saya lebih suka kalau dimarahi daripada didiamkan sama Nyonya.” Natalia membuka mata, lalu tersenyum lemah. “Kamu nggak salah, Alejandro. Aku saja yang sedang melankolis. Tadi di salon sempat bertemu dengan dua orang berengsek dan kami bertengkar.” Sisa perjalanan benar-benar diwarnai oleh gerutuan Natalia. Mulutnya tak henti-hentinya memaki Zaneta dan Dianti, menyebut nama keduanya dengan nada penuh benci. Ada rasa lega yang ia dapatkan dari setiap kata umpatan itu, seolah meluapkan beban yang menyesakkan dadanya. Natalia berharap keras agar tak pernah lagi harus berhadapan dengan dua perempuan yang hanya tahu menyakiti. Di sampingnya, Alejandro terdiam, namun bibirnya justru mengembang tipis. Mendengar Natalia marah-marah ternyata menghadirkan hiburan tersendiri baginya. Ada sisi menyenangkan melihat perempuan itu melampiaskan kekesalan, apalagi ketika bibir mungilnya mencebik dengan gemas. Tanpa sadar, Alejandro melirik ke arah bibir itu, dan perasaan aneh merambati hatinya. Keinginan untuk menciumnya begitu kuat, namun ia menahan diri. Ia tahu, itu bukan hal yang benar. Namun menahan diri di tengah suasana dingin dengan seorang perempuan cantik di sampingnya bukan perkara mudah. Alejandro merasa pikirannya kotor, begitu c***l, karena yang ia inginkan hanyalah mendekat lebih jauh. Dari waktu ke waktu, ia mencari alasan untuk menyentuh Natalia—sekilas menyentuh jemari, menepuk lutut, atau meraih pundaknya seolah tanpa sengaja. Puncaknya, ia memberanikan diri mengusap rambut Natalia yang selembut sutra, jemarinya berlama-lama di sana. Dalam momen berdua seperti ini, Alejandro benar-benar lupa pada kenyataan. Bahwa Natalia adalah istri orang, bahwa seharusnya ia menjaga jarak. Semua itu menguap begitu saja, tertutupi oleh satu keinginan sederhana: mendekap keintiman kecil yang membuatnya sulit berhenti. *** Dua laki-laki bergerak di kegelapan, menyebarkan sesuatu seperti bensin di tempat-tempat tertentu. Mereka sudah menerima bayaran tinggi, jadi harus melakukannya sebaik mungkin. Sebenarnya, pekerjaan ini akan lebih cepat kalau diiakukan beramai-ramai, sayangnya yang membayar mereka justru tidak mau kalau pekerjaan mereka diketahui banyak orang. “Lakukan dengan cepat, tanpa terdeteksi. Aku sudah mengatur orang-orang untuk membantu kalian saat waktunya tiba.” “Cukup kami berdua, Bos?” “Ya, cukup kalian berdua. Tidak perlu orang lain.” “Setelah itu, apa kami harus melakukan hal lain?” “Tentu saja, seperti kesepakatan kita.” Mereka setuju dengan sejumlah uang sebagai bayaran. Uang muka sudah dikirim dan sisanya akan menyusul kalau pekerjaan telah selesai. Sebenarnya, yang mereka Iakukan sangat berbahaya, tapi bayaran yang diterima sungguh lumayan. Membuat mereka tergiur. Terbiasa melakukan kejahatan, untuk kali ini tidak ada bedanya. Sama-sama membuat orang celaka. “Apakah yang kita tanam sudah cukup banyak?” “Sudah, berharap saja malam ini tidak hujan.” “Iya, kalau tidak pekerjaan kita akan sia-sia.” Mereka terus bergerak hati-hati dari satu bangunan ke bangunan lain, menanam serta menempatkan benda-benda aneh pada titik tertentu. Setiap gerakan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Pakaian serba hitam membalut tubuh mereka, ditambah balaclava yang menutupi wajah, membuat keduanya bagai bayangan yang menyatu dengan gelap malam. Namun tiba-tiba, dari ujung bangunan besar itu terdengar suara langkah kaki yang mendekat cepat. Seketika tubuh mereka menegang, saling bertukar pandang tanpa kata. Dengan gesit, keduanya berlari kecil di antara tumpukan kardus berdebu, lalu menyelinap ke bawah meja kosong, menahan napas sambil menunggu bahaya berlalu. “Siapa di sana?” Seorang laki-laki berseragam mendekati mereka. Petugas keamanan itu mengarahkan senter ke arah tumpukan kardus dan memeriksa. Datang satu orang lain dari arah belakang. “Kamu lihat apa?” tanya orang yang baru datang. “Kayak lihat bayangan orang.” “Di tempat gelap begini? Mau apa? Maling?” “Entahlah, sedang aku periksa.” Dari bawah tumpukan kardus muncul seekor kucing sedang mengejar tikus. Keduanya berjengit kaget, lalu saling pandang sambil menghela napas panjang. “Hanya tikus rupanya.” “Dan kucing sialan!” “Ayo, kembali ke depan.” “Tapi, apa kamu mencium sesuatu? Seperti ada aroma aneh di sini?” “Ada, aroma sampah yang tidak dibersihkan. Kenapa truk pengangkut sampah belum datang?” Setelah dua petugas keamanan itu pergi, dua laki-laki yang bersembunyi di bawah meja keluar perlahan. Mereka berbaring di tanah dan bergegas bangkit. Tidak lupa mengambil bungkusan yang mereka bawa. Nyaris saja mereka ketahuan, kalau tidak ada kucing dan tikus sebagai pengalih perhatian. “Sial! Hampir saja!” “Untung saja mereka orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan bubuk mesiu dan bau sampah.” “Ayo, kita selesaikan secepatnya sebelum ada orang lain datang.” Mereka bergerak sigap, menerjang kegelapan dan menyelesaikan pekerjaan. Keduanya dengan cepat menghabiskan sisa benda di tangan. Selesai semuanya, mereka berpencar dan berpisah di ujung jalan. Menunggu perintah selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN