BAB 5

1909 Kata
Natalia beristirahat selama seminggu penuh, untuk memulihkan kondisi tubuh dan juga mentalnya. Victor memanggil seorang psikiater, untuk membantu istrinya mengatasi trauma. Ia tahu rasanya, berada dalam ancaman seseorang dan itu menimbulkan dampak psikologis yang besar. Sebastian datang berkunjung begitu mendapat kabar tentang penyanderaan Natalia. Ingin memastikan anak perempuannya sehat dan sama sekali tidak terluka. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Natalia yang berbaring di ranjang. “Kenapa kamu bisa pergi ke supermarket yang sepi begitu.” Ntersenyum lemah. “Untuk belanja obat, Pa. Kebetulan perut sedang kram.” “Untung saja pengawalmu bertindak sigap. Siapa namanya?” “Alejandro.” “Ya, Alejandro. Papa tadi bertemu dengannya di luar, sudah mengucapkan terima kasih dan ingin memberinya hadiah, tapi Alejandro menolak.” Natalia tersenyum. “Alejandro pasti mengatakan kalau semua yang dilakukannya adalah bagian dari tugas.” “Kamu menebak dengan benar. Memang begitu yang dikatakannya.” Natalia teringat akan aksi heroik Alejandro dan tanpa sadar ia tersenyum. “Alejandro orang yang sangat berdedikasi, Pa.” “Benar, suamimu sudah memilih pengawal dengan baik. Ngomong-ngomong di mana dia? Kenapa aku tidak melihatnya?” Sebastian celingak-celinguk, mencari keberadaan Victor. “Ada di lantai atas, Pa. Mungkin sedang rapat.” Sebastian menghela napas panjang. Di satu sisi, ia suka punya menantu yang pekerja keras dan ambisius. Victor adalah jenis orang yang tidak akan menyerah sebelum keinginannya tercapai. Namun, saat kondisi Natalia sedang sakit, sebagai suami seharusnya mengesampingkan semua masalah demi merawat istri. Dalam hal ini, Sebastian merasa kecewa dengan Victor. Ia menyembunyikan kekecewaannya, karena tidak ingin melihat anaknya takut. la sangat memanjakan Natalia, dari semenjak istrinya meninggal. Memenuhi semua kebutuhan anaknya, dan memastikan kalau anaknya akan mendapatkan pasangan yang sepadan. Beberapa kali Natalia menjalin hubungan dengan teman sekampus atau satu pekerjaan dan ia menolak. Menganggap mereka tidak cukup baik untuk anaknya. Sampai akhirnya bertemu Victor yang saat itu sedang menjabat sebagai asisten wakil gubernur. Ia melihat potensi dalam diri Victor. Mendorong laki-laki itu ke puncak, membantu dengan segala pengaruhnya hingga akhirnya menjadi gubernur. Sebastian juga yang mendesak Natalia menikah dengan Victor saat kampanye, demi mendapatkan citra yang baik. Terbukti, kalau langkah politiknya saat itu. “Aku akan ke atas menemui suamimu. Sebaiknya kamu istirahat.” Natalia tersenyum. “Iya, Pa.” Sebastian bangkit dengan sedikit mengernyit, berusaha menutupi dari anaknya kalau tulangnya sakit setiap kalau bergerak. Ia tidak ingin Natalia mengkuatirkan keadaannya. Keluar dari kamar, ia meminta Marco memanggil Victor turun. Menunggu sepuluh menit, sang menantu datang bersama dengan dua asistennya. “Pa, sudah datang dari tadi?” sapa Victor. Sebastian mengangguk. “Istrimu sakit dan kamu masih kerja?” Victor menghela napas dan mengangguk muram. “Terpaksa, Pa. Para reporter tidak berhenti menggangguku. Beberapa stasiun TV sedang menunggu untuk wawancara eksklusif dengan Natalia.” “Pastikan kamu menolak mereka. Aku tidak ingin anakku menjadi santapan publik.” “Papa tidak usah kuatir. Sudah aku pastikan itu.” Sebastian mengangguk. “Bukannya kamu bilang kalau kalian sedang program anak? Sebaiknya kamu pastikan istrimu sehat dan tidak tertekan. Agar Natalia segera hamil.” Victor mengangguk. “Baik, Pa. Tenang saja, aku akan menjaga istriku.” Selepas ayah mertuanya pergi, Victor mengajak Tom dan Tim ke ruang kerjanya. Ia menyulut cerutu, membuka jendela, dan mulai mengisap. Bersyukur Sebastian tidak berlama-lama di rumahnya. Kalau tidak, ia bisa terkena serangan jantung karena sikap mertuanya itu. “Bagaimana perkembangannya, Tom?” tanya Victor setelah keheningan sesaat. “Tidak begitu bagus, Pak. Reporter menemukan fakta kalau Nyonya membeli pembalut dan obat anti nyeri. Itu membuktikan kalau Nyonya sedang datang bulan dan program bayi kalian gagal.” “Berengsek! f**k!” Victor memaki keras, hampir tersedak asap cerutu. Ia menatap Tom dengan kemarahan memuncak. “Istriku sedang berjuang melawan perampok, dan mereka hanya peduli soal pembalut? Sialan, benar-benar!” Tim berdehem. “Adolf mengejek kita, mengatakan turut bersedih untuk Nyonya Natalia. Pasti rasanya sakit sekali, ditodong pistol dalam keadaan kram perut karena haid!” Victor kembali memaki, kali ini bahkan menggebrak meja. “Adolf, dia menekanku sekarang. Kalian bantu aku, bagaimana caranya agar bisa mendapatkan bayi. Tidak mungkin aku memungut dari tempat sampah dan mengatakan itu anak kami!” “Mungkin Anda harus istirahat, Pak. Bulan madu dengan Nyonya, siapa tahu saja,” saran Tim. Victor menggeleng. “Bukan ide bagus. Aku memerlukan sesuatu yang lebih cepat daripada itu. Kalau bulan madu bisa membuat Natalia hamil, kami pasti sudah punya anak banyak sekarang.” “Bayi tabung?” saran Tom. Victor mendengkus. “Kalau sampai aku melakukan itu, sekali lagi akan menjadi bulan-bulanan media dan Adolf. Dianggap tidak becus membuat anak.” Tom dan Tim saling pandang dengan muram. Bicara soal anak, adalah topik sensitif yang tidak pernah mendapatkan ujung pangkalnya. Semua selalu kembali ke akar masalah, hubungan antara Victor dan Natalia. “Seandainya, legal secara hukum dan agama, mungkin bisa mencoba membuat ibu pengganti. Barangkali ada yang tidak cocok. Dengan Pak Victor dan Nyonya Natalia.” Tom bergumam pelan karena takut membuat Victor marah, Victor terdiam, memikirkan perkataan Tom. Bisa jadi memang tidak ada kecocokan antara spremanya dengan indung telur Natalia. Ia tidak tahu, apakah teori itu bisa diterima oleh dunia medis, tapi setidaknya membuka pikirannya. Kalau memang dirinya tidak bisa menghamili Natalia, barangkali harus mencari satu orang yang cocok untuk itu. Berbagai teori gila bermunculan di otak Victor. Tentang istrinya, laki-laki tidak dikenal, dan mereka punya bayi untuknya. Dengan begitu, kehadiran si bayi tidak hanya menyelamatkan dirinya, tapi juga karir politiknya. Seharusnya, kalau ia bicara dari hati ke hati dengan Natalia, memohon pengertian dengan sangat, mungkin istrinya akan setuju. Setidaknya, ia harus mencoba lebih dulu. Ini adalah jalan termudah dan tercepat untuk punya anak. Natalia yang bosan terus berbaring di ranjang, berjalan-jalan di sekitar rumah. Ia sudah meminta Camila membawa pekerjaannya ke rumah, mencoba menyelesaikan satu per satu masalah yang tertunda. Camila memprotes tentu saja, mengatakan kalau Natalia harusnya masih istirahat, tapi ia bersikukuh. “Aku bisa mati bosan kalau tidur terus-terusan,” ucapnya pada Camila. Setelah membaca beberapa dokumen sambil berbaring, ia memutuskan untuk mandi matahari sore. Para pelayan bergegas menyongsong saat melihatnya keluar kamar dan ia mengusir mereka semua. “Aku hanya ingin jalan-jalan. Kalian kerja saja, nggak usah pedulikan aku.” Para pelayan tidak bisa melakukan itu, mereka tetap ingin menemani Natalia, meskipun ditolak. Sampai akhirnya muncul Alejandro. Pemuda itu mengatakan, akan menemani sang nyonya berjalan-jalan. Untuk kali ini Natalia tidak keberatan. “Nyonya, apakah masih ada yang luka atau sakit?” tanya Alejandro saat mereka melangkah dijalan setapak yang mengelilingi taman. Natalia menggeleng, berdiri di depan pohon mawar dan mengamati kupu-kupu yang hinggap di atasnya. “Aku baik-baik saja berkat kamu, Alejandro.” “Itu sudah tugas saya, Nyonya.” Natalia tersenyum, menatap Alejandro lekat-lekat. “Aku sudah tahu kalau kamu akan mengatakan itu. Tetap saja aku berterima kasih karena sudah menyelamatkan hidupku.” Mereka berdiri berdampingan menghadap bunga anggrek bulan dalam pot besar. Angin sore bertiup semilir, menerbangkan daun kering, daun gugur, dan juga menyebarkan aroma bunga bercampur debu. Natalia merapikan anak-anak rambutnya, menyadari kalau di wajahnya tumbuh satu jerawat. “Alejandro—” “Iya, Nyonya.” “Kenapa menolak hadiah dari papaku?” Natalia menatap Alejandro lekat-lekat, pemuda itu membalas pandangannya dan untuk sesaat mata mereka terkunci satu sama lain. Alejandro menghela napas panjang, memalingkan wajah Iebih dulu. “Saya terbiasa tidak menerima hadiah dari orang lain.” “Termasuk dari papaku?” “Tidak terkecuali.” Natalia tersenyum. “Bagaimana kalau dariku, apa kamu menerimanya?” Alejandro tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Memang ia tidak pernah ingin menerima hadiah dari orang lain, tapi Natalia berbeda. Perempuan itu adalah majikannya, akan sangat tidak enak hati kalau harus menolak pemberiannya. “Asalkan bukan sesuatu yang mahal, saya akan terima kalau itu dari Nyonya.” Jawaban Alejandro membuat Natalia tersenyum lebar. “Aku akan berunding dengan suamiku, tentang hadiah yang cocok untukmu. Tenang saja, bukan sesuatu yang sangat mahal, tapi akan aku pilih yang berguna untukmu.” Alejandro mengangguk. “Terima kasih, Nyonya.” Mereka berbincang akrab, tidak menyadari Victor yang melihat keduanya dari jendela ruang kerja. Dari awal melihat Alejandro mengawal istrinya, ia sudah merasa kalau pemuda itu bisa diandalkan. Instingnya terbukti benar. Ia mendesah, memikirkan kemungkinan lain. Bagaimana kalau Natalia dan Alejandro bersatu? Tentu bayi yang terlahir akan sangat lucu. Victor memang merasa dirinya sudah gila, tapi tidak mengapa. Ia sanggup menahan kegilaan itu demi karir politiknya. “Tom, kamu bilang sama Alejandro, suruh dia datang ke kantorku besok pagi.” Tom mengangguk. “Baik, Pak.” *** Alejandro tidak tahu, apa masalah yang membuatnya harus menghadap Victor. Seingatnya, ia tidak melakukan sesuatu yang merugikan Gubernur, atau juga melanggar hukum. Ia bekerja dengan sangat baik, dan berusaha untuk tidak membuat masalah. Victor terkenal sering menemui sendiri para pekerja yang akan dipecat. Alejandro bertanya-tanya, apakah dirinya akan dipecat? Pukul sembilan pagi, Alejandro sudah menunggu atasannya di kantor. Hari ini, Natalia mempunyai kegiatan di Iuar saat sore. Ia masih punya banyak waktu, bicara dengan Victor, lalu kembali ke rumah untuk menjemput Natalia. Pukul sembilan lewat lima belas, Alejandro berdiri di dekat meja kerja Victor. Hanya diam, tanpa suara, menunggu apa pun yang ingin dikatakan Victor. Victor tersenyum kecil menatap anak buahnya yang berdiri tenang. Alejandro mirip pohon beringin yang berdiri tak tergoyahkan di dekat meja. Matanya menelusuri tubuh yang tegap dengan wajah tampan. Lebih mirip seorang bintang film daripada bodyguard. “Berapa lama kamu sudah bekerja untukku, Alejandro?” “Dua tahun, Pak.” Pemuda itu menjawab tegas. “Selama dua tahun ini, apakah pernah ada kesulitan dalam bekerja?” “Sejauh ini, tidak ada.” “Bagus, itu bagus. Ah ya, kamu menyelamatkan istriku. Tadi malam Natalia bertanya, bolehkan memberimu hadiah. Tentu saja, aku mengijinkan.” Victor bangkit dari kursi, menghampiri Alejandro, dan menepuk- nepuk pundaknya dengan hangat. Tersenyum lebar, seolah apa yang dilihatnya membuat senang. “Alejandro, apa kamu siap mendengarnya? Aku punya tugas khusus untukmu. Hanya kamu yang bisa melakukan ini. Terlebih setelah kamu menyelamatkan istriku. Apa kamu siap?” Alejandro mengangguk mantap. “Saya akan berusaha, Pak.” “Aku tahu kamu akan berusaha. Ada imbalan yang sangat besar kalau kamu berhasil melakukannya. Kalau tidak salah, orang tuamu berhutang banyak sekali pada rentenir?” Mata Alejandro berkilat, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk kecil. “Kamu juga punya klub sepak bola anak-anak. Kalian terancam bubar. Kenapa? Tidak ada donatur dan pihak perangkat desa ingin membangun lapangan menjadi area bermain anak?” Untuk kali ini wajah Alejandro tidak dapat menyembunyikan kesedihan, meski begitu tetap tidak mengatakan apa pun. Di balik kesedihan, terselip rasa heran karena Victor menyelidikinya. Apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki ini? “Tugas ini sangat berat, membutuhkan komitmen dan keteguhan. Juga kerahasiaan yang sangat tinggi. Apa kamu mampu?” “Saya akan coba, Pak.” “Kalau berhasil, aku akan melunasi hutang keluargamu, memberikan subsidi untuk klub bola, dan juga memberikan tempat latihan untuk anak-anak itu.” Alejandro menahan napas, ingin mendengar kelanjutan perkataan sang majikan. Penasaran, pekerjaan apa yang mempunyai gaji begitu besar dan membuatnya layak menerima imbalan. “Alejandro, apa kamu siap mendengarnya?” “Iya, Pak.” Kali ini, Alejandro mengangguk mantap. Hatinya harap-harap cemas. “Tugasnya sangat mudah. Kamu tahu istriku, bukan? Natalia. Bagaimana menurutmu, apakah dia cantik?” Alejandro mengedip sesaat membayangkan perempuan cantik dan lembut yang adalah nyonya majikan. “Semua orang mengatakan istriku cantik, sayang sekali kami tidak punya keturunan karena satu dan lain hal. Yang aku minta darimu hanya satu, Alejandro. Bercintalah dengan istriku dan buat dia hamil!” Alejandro terdiam, menatap Victor dalam keheranan. Ia tidak tahu, apakah salah dengar atau memang Victor yang bicara dengan ide gilanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN