BAB 6

1367 Kata
Tanpa bertanya lebih dulu, Alejandro memutar kemudi ke arah sebuah supermarket tua yang berdiri di pinggir jalan. Tempat itu tampak muram dan sepi, jauh dari hiruk pikuk pusat kota. Hanya ada beberapa mobil tua yang terparkir di depannya, sedangkan cat dinding gedung mulai pudar, kaca jendela berdebu, dan papan nama di atas pintu terlihat kusam. Di sekitar area itu, berdiri bank kecil dan beberapa toko sederhana, namun kondisinya tidak jauh berbeda—lengang, nyaris tanpa pengunjung, seperti sebuah kawasan yang ditinggalkan perlahan oleh waktu. Di dalam hati, Alejandro bertanya-tanya bagaimana bisnis di kawasan ini masih mampu bertahan. Deretan toko dan supermarket itu seakan hidup segan mati tak mau, menunggu giliran untuk benar-benar gulung tikar. Ia bahkan sempat mengira, mungkin hanya ada segelintir orang setia yang masih berbelanja di sini. Namun, naluri seorang pengawal membuatnya tak mudah lengah. Sepi bukan berarti aman, justru bisa jadi sebaliknya—membuat setiap langkah terasa lebih berhati-hati. Dengan gerakan tenang, Alejandro memarkir mobil di sisi paling dekat pintu masuk. Matanya menyapu keadaan sekitar, memastikan tidak ada yang mencurigakan. Udara di sekitar supermarket itu terasa berbeda, terlalu hening untuk sebuah sore. Sesaat ia merasakan firasat yang tak enak, seolah keheningan tersebut menyimpan sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas pelan, bersiap mengikuti Natalia masuk, sembari tetap menyimpan kewaspadaan penuh. “Aku rela memberikan apa pun, membayar berapa pun, asalkan bisa menikah dengan Natalia.” Semua teman-teman Victor mengucapkan kata-kata itu sambil bergurau, tapi bagi laki-laki itu, pernyataan mereka tak ubahnya sedang mengejeknya. “Karir politikku dan juga jabatanku naik, karena usaha dan kerja kerasku sendiri. Tidak ada hubungannya dengan Natalia.” Percuma bagi Victor mencoba menjelaskan pada orang-orang, karena telinga mereka sudah dipenuhi dengan gosip dan prasangka. Tidak ada satu pun yang benar-benar mendengar klarifikasinya. Selama empat tahun, ia membuktikan diri sebagai suami yang penuh perhatian, bahkan berhasil membuat publik mengaguminya dengan predikat pasangan paling romantis di kota. Semua tahu, citra itu bukan hanya sekadar cinta, tetapi juga strategi. Natalia adalah kartu truf yang selalu ia gunakan untuk memastikan setiap langkahnya menuju kemenangan, baik dalam bisnis maupun politik. Namun, kali ini persoalannya lebih rumit. Topik tentang anak, yang selama ini kerap ia hindari, kembali mencuat dan berpotensi menjadi batu sandungan. Victor tahu, jika ia lengah, isu ini bisa meruntuhkan citra yang susah payah ia bangun. Karena itu, ia memutuskan untuk mengendalikan situasi, memastikan masalah ini tidak menjelma krisis. Baginya, langkah berikutnya bukan hanya tentang keluarga, melainkan tentang posisi yang lebih mentereng di lingkaran kekuasaan. “Kenapa diam, Alejandro?” Alejandro mengedip bingung. Seumur hidup, baru kali ini mendengar satu ide gila yang terlontar dari mulut seorang pejabat. “Pak, candaan Anda sama sekali tidak lucu. Apalagi menyangkut istri Anda sendiri.” Victor menggeleng. “Aku tidak pernah bercanda, Alejandro.” “Tapi, Pak. Nyonya Natalia itu istri Anda.” “Kamu benar itu, dan semua orang tahu.” “Bukankah sama saja seperti merendahkan beliau?” Percuma bagi Victor memberi penjelasan, sebab telinga orang-orang sudah dipenuhi gosip dan prasangka. Tidak ada yang benar-benar peduli pada klarifikasinya. Empat tahun pernikahan, ia berhasil menjaga citra sebagai suami penuh perhatian, bahkan dijuluki pasangan paling romantis di kota. Namun, semua tahu, itu bukan hanya soal cinta—melainkan strategi. Natalia adalah kartu truf yang selalu ia gunakan untuk memastikan setiap langkah menuju kemenangan, baik di bisnis maupun politik. Kali ini, persoalan anak menjadi tantangan berbeda. Isu yang selalu ia hindari justru berpotensi menghancurkan reputasi yang dibangun susah payah. Victor sadar, ia harus mengendalikan situasi agar tidak berubah menjadi krisis. Baginya, ini bukan semata urusan keluarga, melainkan soal mempertahankan posisi dan meraih jabatan yang lebih tinggi di lingkaran kekuasaan. “Kita hidup di kota yang modern, dengan penduduknya yang berpendidikan tinggi. Tapi, pola pikir masyarakat sangat kuno. Mereka menganggap kalau pernikahanku tidak sempurna tanpa anak. Padahal, anak bukan tujuan utama menikah. Kamu tahu itu, Alejandro?” Alejandro tidak mengatakan apa pun, tidak mengerti pula dengan tujuan pembicaraan ini. Kenapa ia harus dilibatkan dalam masalah rumah tangga sang gubernur? Bukan tanggung jawabnya kalau mereka tidak punya anak. Lagipula, kenapa perkara anak harus mencari bantuannya? Victor dan Natalia adalah suami istri. Bukankah lebih bagus kalau mereka berusaha berdua? “Kamu bingung, Alejandro?” ucap Victor tenang. “Sejujurnya, aku pun sama. Tidak mengerti dengan pola pikir orang-orang itu. Apakah dikiranya mereka aku nggak mau punya keturunan? Tentu saja aku mau. Masalahnya, empat tahun menikah dan belum ada anak, itu bukan kemauan kami.” Alejandro mengangguk samar. “Empat tahun belum lama, Pak. Kalian masih bisa mencoba.” Victor tersenyum. “Memang, sayangnya ada banyak alasan kenapa kami tidak kunjung punya anak. Masalahnya bukan hanya di aku atau istriku, tapi kami berdua.” “Konsultasi ke dokter, Pak. Program bayi tabung mungkin.” “Alejandro, kamu lupa satu hal. Jabatanku tinggal satu tahun lagi, dalam waktu singkat ini belum tentu program yang kami jalani berhasil, termasuk bayi tabung.” Alejandro masih tidak mengerti, kalau memang Gubernur dan istrinya tidak ingin program bayi tabung, kenapa mereka mengatakan pada publik soal program ingin punya bayi? Alejandro mengingatnya sekarang, yang bicara adalah Victor dan bukan Natalia. Berita itu pula yang membuat Natalia diburu oleh banyak reporter. “Saat kamu menyelamatkan Natalia, ada banyak saksi mata yang melihat kalau istriku sedang membeli pembalut dan obat penghilang rasa sakit. Setelah itu rumor menyebar, kalau apa yang kami katakan tentang program anak itu bohong. Natalia sama sekali tidak hamil.” “Bukannya program anak memang butuh waktu, Pak?” “Memang, bagi orang normal seperti kita. Tapi, bagi para lawan politik dan juga orang-orang di luar sana, kami dianggap berbohong dan terakhir, bahkan mengatakan kalau Natalia mandul.” Alejandro menghela napas panjang, menahan diri untuk tetap terlihat tenang meski rasa jengah mulai menguasai. Ia duduk bersandar, mendengarkan kata-kata Victor yang tak henti-hentinya berputar di sekitar ambisi dan rencana licik. Namun, di dalam hati, ia sudah menutup telinga. Semua ucapan itu hanya omong kosong baginya, tidak ada satu pun yang layak dipertimbangkan. Ia tahu persis, apa pun tawaran dan iming-iming yang datang dari seorang gubernur, tidak akan mampu menggoyahkan pendiriannya. Alejandro bukan pria yang mudah dibeli. Meniduri istri orang demi keuntungan adalah garis merah yang tidak akan pernah ia lewati. Bagi Alejandro, harga diri jauh lebih mahal daripada sekadar uang atau kedudukan. Dan sekali ia menginjakkan kaki ke jalan amoral itu, maka selamanya ia akan kehilangan dirinya sendiri. Ingatannya tertuju pada Natalia. Perempuan yang punya kecantikan luar biasa dan sikap lembut menenangkan. Di balik itu, Natalia menyimpan ketegasan. Alejandro yakin, kalau perempuan itu tidak akan setuju ide gila suaminya. Tidak akan ada perempuan waras yang ingin tidur dengan laki-laki lain, terlebih seseorang dengan kepribadian anggun dan baik seperti Natalia. “Pak, sudah bicara dengan Nyonya masalah ini? Saya yakin, beliau tidak akan setuju.” Victor mengangkat bahu. “Alejandro, urusan istriku biar menjadi bagianku. Yang aku tanyakan padamu adalah, apakah kalau istriku setuju berarti kamu mau?” Alejandro menggeleng tegas. “Tidak, saya tidak akan melakukan itu.” “Benarkah? Meski untuk orang tuamu?” “Mereka bisa mencicil hutang dengan cara lain.” “Lalu, bagaimana dengan klub anak-anak itu? Kamu tidak kasihan dengan mereka? Kamu tidak mau anak-anak itu punya tempat yang layak untuk latihan?” Untuk sesaat Alejandro dilanda kebimbangan. Bayangan tentang lapangan dan juga tempat yang lebih layak untuk latihan anak-anak, sangat menggodanya. Anak-anak yang dilatihnya, rata-rata dari keluarga kurang berada. Dengan satu tempat yang layak, anak-anak itu akan punya tempat latihan, sekaligus tempat tinggal. Mereka tidak perlu lagi keluyuran dijalan hanya untuk tidur. Rumah Alejandro tidak cukup besar untuk menampung anak-anak itu. Mereka datang dan pergi setelah latihan, dan sebagian besar justru anak yang tidak punya keluarga untuk dituju. Alejandro menghela napas panjang, menepiskan pikiran kotornya. “Tetap tidak, Pak. Terima kasih atas tawarannya.” “Alejandro, ini untuk kebaikanmu.” “Saya akan cari cara lain untuk anak-anak itu.” Victor terdiam, menatap tidak puas pada laki-laki muda di depannya. Tidak berdaya karena semua tawarannya ditolak. Tanpa daya akhirnya ia membiarkan Alejandro pergi. “Sudahlah, anggap aku tidak pernah menawarkan ini padamu, Alejandro. Padahal kalau kamu bersedia berarti sudah menyelamatkan rumah tangga dan juga karir politikku.” Alejandro mengangguk, bersiap untuk pergi. Saat ujung kakinya hendak keluar dari pintu, ia membalikkan tubuh, dan menatap Victor. “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN