BAB 7

1331 Kata
Alejandro mengangguk pelan, langkahnya mantap menuju pintu. Tepat saat ujung kakinya melewati ambang, ia berhenti. Tubuhnya berbalik, sorot matanya menusuk tajam ke arah Victor, seakan memberi peringatan tanpa suara. Sesaat hening, namun ketegangan terasa memenuhi ruangan. “Pak, boleh saya tanya sesuatu?” Victor mengangguk. “Iya. tanya saja.” “Kenapa saya? Di antara banyak pekerja Anda, kenapa saya?” Victor tersenyum lebar. “Karena kamu yang paling memenuhi syarat untuk menjadi papa anakku, Alejandro. Apa saja syaratnya? Cukup hanya aku yang tahu.” Alejandro tidak lagi bertanya. Ia melangkah keluar dari ruangan Victor dengan pikiran yang kalut. Tawaran pekerjaan dengan imbalan uang besar itu masih bergema di kepalanya, tetapi baginya sama sekali tidak masuk akal. Ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan materi, dan integritas adalah salah satunya. Saat menyusuri lorong panjang gedung itu, beberapa staf menyapa ramah. Alejandro membalas dengan anggukan singkat, menjaga wibawa sekaligus jarak. Seorang perempuan muda berseragam bahkan sempat berani mengedipkan mata padanya. Itu bukan hal baru—ketampanannya memang sering jadi perhatian. Namun sikapnya yang pendiam, tegas, dan tidak banyak bicara justru membuat para perempuan semakin penasaran. Meski begitu, Alejandro tetap menjaga diri; hatinya bukan untuk permainan singkat. Di ujung lorong, matanya menangkap sosok Natalia yang berjalan bersama Camila. Perempuan itu tersenyum lembut, membuat Alejandro merasa lega. Setidaknya, luka-luka Natalia sudah mulai sembuh, dan itu memberinya sedikit ketenangan di tengah pikirannya yang kusut. “Alejandro, apa Marco sudah memberitahumu? Kita akan kunjungan ke panti asuhan.” Camila berkata padanya. Alejandro mengacungkan jempol. “Sudah.” “Oke, dua jam lagi kita berangkat.” Sementara Camila berbincang ringan dengan Alejandro, Natalia hanya menunggu dengan sabar, senyumnya tetap terjaga meski pikirannya melayang entah ke mana. Begitu percakapan usai, ia melanjutkan langkah bersama Camila menyusuri lorong. Alejandro, yang berdiri di belakang, sempat menatap punggung Natalia dengan helaan napas panjang. Ada desir halus yang tidak bisa ia kendalikan, seolah hati dan pikirannya saling berperang. Seandainya Natalia bukan istri orang, mungkin ia sudah merengkuhnya tanpa ragu. Wajah cantik dan senyum menawan itu memang godaan yang sulit diabaikan. Namun, Alejandro masih punya nurani—ia tahu batas yang tidak boleh dilanggar. Sesaat kemudian Natalia masuk ke ruang kerja suaminya. Di sana, Victor sibuk dengan telepon di tangannya, berbicara cepat dan penuh tekanan. Natalia membolak-balikkan dokumen yang menumpuk di atas meja, memperhatikan laporan-laporan yang belum tersentuh. Kesibukan Victor semakin padat, apalagi dengan jadwal kampanye yang disusun Tom dan timnya. Pemilihan memang masih setahun lagi, tetapi mereka sudah mulai bergerak, membuat setiap hari terasa semakin penuh dan melelahkan. Bagian Atas Formulir Victor menutup telepon dan tersenyum pada istrinya. “Sayang, malam ini kosongkan jadwalmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” “Mau ke mana kita?” tanya Natalia. “Tempat makan yang baru buka. Restoran milik keluarga Tom. Kita harus mencobanya.” “Harus malam ini?” tanya Natalia. Victor mengusap bahu istrinya. “Iya, harus malam ini. Selain itu, ada hal penting yang aku ingin bicarakan denganmu.” “Hal penting? Kenapa nggak bicara di rumah?” “Karena aku ingin suasana yang berbeda, biar nggak terlalu tegang.” Natalia ingin membantah permintaan suaminya. Malam ini enggan untuk pergi ke mana pun, karena semenjak peristiwa penyerangan itu, ia lebih suka di rumah karena merasa lebih aman. Namun, karena suaminya sangat berharap, ia mengangguk kecil. Tidak ingin mengganggu suaminya lagi, ia pergi ke ruangannya sendiri, mendengarkan pemaparan Camila tentang rumah yatim piatu yang akan dikunjunginya. Sore, saat matahari mulai meredup. Natalia pergi dikawal Marco, Alejandro, dan tiga orang lainnya. Di dalam rombongan ada Camila, dua orang kameramen dan fotografer kantor, serta satu sopir. Demi memastikan keselamatan Natalia tetap terjaga, Alejandro memutuskan untuk jadi sopir. Tidak ada percakapan sepanjang jalan, hanya suara Camila yang terdengar. Perempuan itu menerima panggilan terus menerus. Kebanyakan adalah televisi, radio, atau surat kabar yang ingin wawancara dengan Natalia dan Camila menolak mereka semua. Natalia sendiri tidak bereaksi apa-apa terhadap percakapan asistennya. Ia membiarkan Camila mengambil keputusan. Sesekali matanya menatap spion dan bersirobok dengan pandangan Alejandro. Mereka bertukar pandang, lalu mengalihkan tatapan dengan cepat. Panti asuhan yang mereka kunjungi terletak di pinggiran kota. Menampung sekitar 50 puluh anak dari berbagai usia. Natalia meninjau tempat tidur, ruang makan, dan mendengarkan pengurus panti bicara tentang kebutuhan anak-anak. “Yang paling kami butuhkan sekarang adalah s**u bayi, Nyonya. Karena sekarang, ada sekitar dua puluh bayi dan stok s**u sudah menipis.” Natalia mengangguk, meminta Camila mencatat dan berjanji akan mengirim s**u secepat mungkin. Tiba di kamar bayi, Natalia mengamati setiap box di mana ada satu makhluk mungil di sana. Sebagian tidur, bermain, ada pula yang sedang menyusu. Seorang bayi perempuan berambut ikal menarik perhatian Natalia. Ia meraih bayi dari dalam box dan menimangnya. Tanpa sadar, mendendangkan lagu lembut. Photographer memotret dengan cepat adegan itu. Alejandro berdiri terpaku, matanya mengikuti setiap gerakan Natalia yang begitu lembut mengusap rambut halus si bayi. Sentuhan penuh kasih itu membuat sang bayi terlelap dengan damai dalam pelukannya. Alejandro merasakan sesuatu yang hangat menyeruak di dadanya, rasa kagum sekaligus takjub yang sulit ia bendung. Sinar matahari sore menembus kaca jendela, jatuh tepat pada wajah Natalia, menambah pesona yang sudah lebih dulu memikat hatinya. Senyum lembut perempuan itu seolah menyinari seluruh ruangan, membuat Alejandro kehilangan kata. Baginya, pemandangan itu adalah gambaran kesempurnaan—Natalia, seorang istri dan calon ibu yang begitu memesona. Selesai kunjungan ke panti asuhan, Natalia diantar pulang karena harus siap-siap pergi dengan suaminya. la tidak tahu restoran macam apa yang akan dikunjunginya. Memilih gaun malam warna biru dengan panjang semata kaki, dan berlengan pendek. Untuk perhiasan, cukup memakai sepasang anting dan juga cincin pernikahan yang selama empat tahun melekat dijari manisnya. Victor tidak pulang. Suaminya berkata akan menunggunya di restoran. Natalia berharap bisa pergi ke sana tanpa pengawalan yang ketat dan suaminya setuju. “Minta Alejandro mengantarmu. Hanya dia.” Tanpa berpikir macam-macam, Natalia menyetujui permintaan suaminya. Membiarkan pengawal lain beristirahat, ia pergi ke restoran hanya ditemani Alejandro. Seperti biasanya, saat hanya berdua dengan Alejandro, Natalia memilih untuk duduk di depan. Ia memutar radio, mendengarkan siaran secara acak sampai akhirnya terdengar lagu-lagu cinta. “Kamu pasti berpikir kalau selera lagu-laguku kacangan?” Natalia membuka percakapan pertama mereka. Alejandro menggeleng. “Tidak, Nyonya. Mendengarkan lagu cinta adalah salah satu cara untuk membuat bahagia.” “Benarkah? Teori dari mana itu? Baru dengar.” “Teoriku.” Keduanya saling pandang, lalu tergelak bersamaan. Obrolan mengalir seru tentang penyanyi lagu cinta idola masing-masing. Natalia terobsesi ingin pergi nonton festival musik, tapi sadar diri tidak mungkin melakukannya karena posisinya. “Seandainya bisa pergi, hal pertama yang aku lakukan adalah minum bir dan menari bebas.” Alejandro menatap heran. “Belum pernah minum bir sebelumnya?” Natalia menggeleng. “Belum pernah, papaku sangat ketat dalam memberi aturan antara yang boleh dilakukan dan tidak. Minum bir, nonton festival musik, ke diskotik, adalah hal yang dilarang.” Alejandro menghela napas panjang, menyadari betapa jemu dan terikatnya kehidupan Natalia sebagai anak dari keluarga berpengaruh. Setiap detail hidupnya, mulai dari cara berbicara, berpakaian, hingga sikap di depan publik, telah diatur dan diarahkan oleh sang ayah. Tidak ada ruang bagi Natalia untuk memberontak atau sekadar menuruti keinginannya sendiri. Ia tumbuh menjadi sosok yang anggun, berkelas, dan nyaris tanpa cela, namun di balik itu ada bayangan tekanan yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Alejandro dapat melihat, di balik senyum tenangnya, Natalia menyimpan kerinduan akan kebebasan yang tak pernah benar-benar dimilikinya. Di sisi lain, Victor sudah menunggu di depan restoran dengan penuh antusias. Senyumnya merekah begitu melihat istrinya turun dari mobil. Namun, yang lebih mengejutkan baginya adalah ketika menyadari Natalia tampak nyaman duduk di samping Alejandro—sesuatu yang tidak akan pernah ia lakukan bersama pria lain. Pemandangan itu menimbulkan campuran rasa senang sekaligus cemburu dalam diri Victor. Ada kebanggaan, tetapi juga kekhawatiran, karena ia tahu betul istrinya jarang sekali menunjukkan ketenangan sedemikian rupa di dekat laki-laki lain. “Ayo, Sayang. Kita masuk.” Alejandro memberikan kunci mobil pada petugas parkir, bergabung bersama pengawal yang lain untuk mengiringi langkah Victor dan istrinya. Saat suami istri itu masuk ke ruang WIP, mereka tetap di luar untuk berjaga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN